Mohon tunggu...
Baladewa Arjuna
Baladewa Arjuna Mohon Tunggu... -

Think....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jesus for Atheists (4)

3 Januari 2016   19:44 Diperbarui: 4 Januari 2016   09:20 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By: Arjuna Baladewa.

Catatan: Tulisan ini membandingkan argumentasi Richard Dawkins versus argumentasi Yesus. Ini adalah Bagian Ke-4 dari 4 tulisan. Untuk bisa mendapatkan pengertian menyeluruh, saya menyarankan untuk membacanya berurutan. Bagian ke-1 tulisan dapat dibaca DISINI.
------------------------------------

 

Dalam tulisan di bagian KE-TIGA, Yesus mendasarkan argumentasinya pada selfish gene versi Alkitab serta memberi tahu kita mengapa argumentasi Dawkins tentang moral super niceness melalui big brain tidak memiliki landasan yang kokoh untuk dijalankan. Yesus melanjutkan argumentasinya dalam tulisan ini.


.
Dua Kubu yang Ditolak Yesus: Kaum Atheist dan Kaum Agamis

Menurut Dawkins: big brain adalah solusi paling ultimat bagi altruism. Yesus menyangkal. Dia membuktikan bahwa big brain tidak berarti apa-apa bagi altruism. Contoh perumpamaan dari Yesus sendiri tentang ‘orang Samaria yang baik hati(Good Samaritan) menegaskan bahwa big brains itu lumpuh. Bahkan sebaliknya, justru big brain itulah yang membuat kebaikan super niceness tidak bisa mendapatkan bentuknya yang paling murni bila selfish gene –lah yang menjadi pendorongnya.

(lihat penegasan Paulus di Roma 8.7 – NIV; yang telah saya kutip sebelumnya: “The mind (big brain) governed by the flesh (selfish gene) is hostile to God; it does not submit to God's law, nor can it do so.”)

Yesus sudah mengantisipasi ini (perhatikan perumpamaan Yesus tentang ‘good Samaritan’ ini dalam Lukas 10.25-37):
Orang Samaria yang murah hati:

10:25 Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
10:26 Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?"
10:27 Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
10:28 Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup."
10:29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?"
10:30 Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
10:31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.
10:32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.
10:33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.
10:34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.
10:35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
10:36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?"
10:37 Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" (Lukas 10.25-37 – ditulis hampir 2,000 tahun lalu).

Anda bisa lihat. Perumpamaan Yesus ini adalah kebalikan dari apa yang para agamis (para ahli Taurat dan orang-orang Farisi) thesis-kan. Menurut mereka di satu sisi: ‘KASIHI TUHANsudah cukup, tanpa perlu ada ‘kasihi sesama.’ Hanya ritual legalistic mekanis tanpa hati. Tetapi di sisi ekstrim yang lain, Yesus juga menolak argumentasi dari para atheist (humanis): ‘KASIHI SESAMA sudah cukup tanpa perlu ada ‘Kasihi Tuhan’ – sebagai landasan dengan mana ‘kasihi manusia’ bisa berfungsi.

Ini adalah keinginan-keinginan timpang dari 2 sisi ekstrim yang paling berlawanan: PARA AGAMIS (ahli Taurat, orang Farisi dan para penganut self-righteous religion yang lainnya) dan dari PARA HUMANIS (seperti Dawkins and friends). Yang satu hanya ingin BAGIAN PERTAMA-nya saja, tanpa pedulikan bagian kedua. Yang lain, hanya inginkan BAGIAN KEDUA-nya saja, tanpa perlu ada bagian yang pertama.

Dan ….. YESUS MENOLAK KEDUA-DUANYA. Sebab MUSTAHIL.

Yesus tahu itu, karena itu Dia menyindir si ahli Taurat dengan menggunakan figuran seorang imam dan seorang Lewi yang notabene adalah representasi dari orang-orang yang sangat agamis; dan di sisi lain, Yesus menggunakan aktor utama orang Samaria yang bahkan dianggap ‘setengah’ kafir dan inferior oleh orang Yahudi.

Anda bisa lihat dalam perumpamaan Yesus di atas, si imam dan orang Lewi yang sholeh itu memiliki seluruh alasan yang mungkin untuk menolong; sebaliknya, orang Samaria ini memiliki segudang alasan kebencian untuk membiarkan si Yahudi ini tergeletak di jalanan.

(Yohanes): “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” (1 Yoh 4.20-21 – ditulis 95 M)

Yesus menolak pendapat keduanya, baik keinginan Dawkins maupun keinginan dari para ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu. Sebab kedua bagian hukum itu – KASIHI ALLAH dan KASIHI SESAMA – adalah sebagai formula hukum yang HARUS ADA BERSAMA-SAMA: saling bertaut (interlock), saling rambah (overlap), dan saling setara (equal) satu sama lain. Dan bukankah itu adalah sama dengan model manusia-Ilahi yang sedang ditunjukkan oleh YESUS - yaitu DIRINYA SENDIRI? Dimana Yang Ilahi dan yang insani, saling bertaut (interlock) dan saling rambah (overlap) di dalam diri Yesus? Kasih Allah kepada manusia dan kasih manusia kepada Allah – hadir, saling bertaut dan saling rambah di dalam diri Yesus. Oleh sebab itulah maka moral super baik menjadi mungkin.

Imam dan orang Lewi dalam perumpamaan itu, walaupun adalah orang-orang yang sangat agamis sekali, tetapi tidak menggunakan persamaan dalam formula moral hukum Taurat, malah lebih menggunakan ‘big brain’ nya untuk mengambil keputusan. Dan lihat! Big brain alone gagal untuk mendorong tindakan mengasihi sesamamu manusia.

Inilah alasan-alasan 'ngeles-nya' orang-orang ketika big brain dipakai sebagai alat pengambilan keputusan atas moralitas – kasus ‘Orang Samaria yang Baik Hati’ (saya kutipkan dari David Guzik Commentary on the Bible):

(i). Think of all the EXCUSES that they could have used:

- "This road is too dangerous for me to stop and help the man."
- "He might be a decoy for an ambush."
- "I've got to get to the temple and perform my service for the Lord."
- "I've got to get home and see my family."
- "Someone really should help that man."
- "If I'm going to serve at the temple I can't get my clothes bloody."
- "I don't know first aid."
- "It's a hopeless case."
- "I'm only one person; the job is too big."
- "I can pray for him."
- "He brought it on himself, he should have never been alone on such a dangerous road."
- "He never asked for help"

(ii). But all of these are simply excuses. "I never knew a man refuse to help the poor who failed to give at least one admirable excuse." (Spurgeon)

Perhatikanlah, bagaimana rasionalitas dari ‘big brains’ justru sangat terampil untuk membuat excuse sehingga membuat mereka mengambil tindakan yang berlawanan dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang super niceness.
Bahkan atheist dari Kanada, Kai Nielson mengatakan demikian:

“… Pure practical reason, even with a good knowledge of the facts, will not take you to morality.”

Dengan demikian, Dawkins tidak bisa lagi menjadikan big brain sebagai solusi atas moral super niceness. Yang terjadi adalah kebalikannya. Oleh karena itu, Yesus – dengan perumpamaan good Samaritan ini – telah menolak big brain sebagai solusi ultimat sejak 2.000 tahun lalu. Thesis Dawkins gagal dengan sekali pukul. Layu sebelum berkembang.


.
Sang ‘Sesuatu’ – Yang Transenden: Sebagai Sumber Moralitas

Telah saya kutipkan di atas, bahwa dalam wawancaranya dengan The Guardian, Dawkins menyebutkan Yesus adalah seorang guru moral yang agung, dan juga sangat pintar. Menurutnya, seseorang yang sepintar Yesus pasti akan menjadi atheist bila saja dia mengetahui apa yang telah kita ketahui pada saat ini.

Mungkin dalam pendapatnya itu, apabila Yesus datang untuk yang kedua-kalinya, maka Dia akan lebih mirip seorang Dawkins si atheist, yang heran mengapa masih saja ada orang-orang yang percaya kepada Tuhan; dari pada seorang al-Masih yang sedang menggenapi janji-janjiNya. Padahal Yesus yang sama ini, pada 2000 tahun lalu adalah juga Yesus yang mengajarkan dan memberi contoh moralitas dengan standard yang sangat tinggi – bahkan seorang Dawkins pun sampai menyebut-Nya sebagai human SUPER niceness – justru karena adanya sang Bapa di sorga, kepada siapa perbuatan itu dipersembahkan.

Jadi, bukankah Yesus yang ini adalah Yesus yang percaya bahwa moralitas semacam itu memang pantas dijalankan karena adanya ‘SESUATU yang TRANSENDEN’ di luar dunia ini. Ada sesuatu yang supernatural dari dunia natural ini dan percaya bahwa hidup ini tidaklah berakhir di kuburan, tetapi ada dunia lain yang mungkin berbeda?

Orang Yahudi diajari bahwa karakter Allah adalah KUDUS. Kudus artinya Dia suci dan terpisah dari segala ciptaan. Terpisah dari segala ciptaan artinya Dia itu transenden secara absolut. Dan karena Dia itu terpisah dari ciptaan yang telah jatuh ke dalam dosa, maka hanya Dialah satu-satunya yang bisa menjadi titik rujukan moralitas.

Namun sayangnya, walau Dawkins mengutip perkataan Yesus, dia tidak melanjutkan kutipannya tentang ajaran Yesus tersebut sampai tuntas ke ayatnya yang terakhir, sebelum dia mengambil kesimpulan yang asal-asalan dalam wawancaranya dengan The Guardian tersebut. Sebab pada ayat-ayat lanjutannya – masih di pasal yang sama dari yang Dawkins kutip – Yesus memberitahu MENGAPA perbuatan super niceness seperti itu layak untuk diperjuangkan:

Karena DENGAN DEMIKIANLAH kamu menjadi anak-anak BAPAMU (‘God the Father’) yang DI SORGA, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.

Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?

Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti BAPAMU yang di sorga adalah SEMPURNA." (Matius 5.45-48).

Apakah bisa saya katakan bahwa Mr. Dawkins hanya mau menyantap dan menikmati makanan yang enak itu, tetapi tidak mau membayar harganya? Atau Dawkins ingin membangun istana yang tinggi dan megah tetapi lalai untuk membangun fondasinya? Kita akan lihat dalam pemaparan berikutnya.


.
10 Perintah Allah

Dalam dunia Judeo-Christian, 10 perintah Allah adalah tonggak dari moralitas. Hukum ini telah mempengaruhi cara-pandang dan cara pikir bangsa-bangsa tentang moralitas serta mempengaruhi budaya dan kehidupan mereka. Musa, ketika berada di Gunung Sinai dan menerima 10 Perintah Allah, maka Perintah itu dimulai dengan kata-kata yang memberi landasan otoritas: “Akulah TUHAN, Allahmu…” Dan setelah pernyataan itu, barulah dimulai urutan perintah demi perintah dari yang pertama sampai kepada yang ke-sepuluh, yaitu setelah hukum itu mendapatkan landasan otoritasnya.

Bila kita klasifikasikan hukum itu menjadi 2 bagian, maka perintah-perintah di BAGIAN PERTAMA ditujukan dalam hubungannya dengan TUHAN; sedangkan perintah-perintah di BAGIAN KEDUA ditujukan dalam hubungannya dengan sesama MANUSIA. Perbedaan hakiki dari Hukum Taurat Musa dengan Hukum Kasih Yesus hanyalah bahwa Hukum Taurat Musa (Perjanjian Lama) adalah untuk manusia berdosa yang belum ditebus dan Hukum Kasih dari Yesus adalah bahwa hukum itu untuk dijalankan oleh manusia yang telah ditebus dari dosa melalui kematian Kristus (Perjanjian Baru).

Yesus tidak dapat meringkasnya lebih ringkas lagi ke-dua bagian hukum moral itu menjadi hanya satu bagian saja seperti yang Dawkins mau: yaitu menghilangkan BAGIAN PERTAMA: “Kasihi Tuhan Allahmu” – sebab menurut Dawkins, Tuhan hanyalah delusi – sehingga kemudian hanya menyisakan BAGIAN KEDUA: “Kasihi sesamamu.” Jadi, Richard Dawkins menginginkan suatu dunia SUPER niceness yaitu dunia yang sangat bermoral namun tanpa mau mengikut-sertakan TUHAN ke dalam formulanya.

Menurut saya, bila Yesus ada pada saat ini, maka tidak seperti yang diangan-angankan oleh Dawkins bahwa Yesus pastilah seorang atheist; saya berpendapat sebaliknya. Sebab Yesus lebih pintar dari itu. Yesus tidak akan setuju dengan pendapat Dawkins, karena hal itu akan meruntuhkan seluruh argumentasi-Nya sendiri. Dan karena tidak setuju, maka Yesus akan tetap mengatakan bahwa kedua bagian itu adalah sebagai formula hukum yang harus ada bersama-sama: saling bertaut (interlock), saling rambah (overlap), dan saling setara satu sama lain.

Beginilah sabda Yesus – mengulang kata-kataNya yang 2.000 tahun lalu pernah Dia ucapkan:
Jawab Yesus kepadanya:

"KASIHILAH TUHAN, ALLAHMU, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.

Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah:

KASIHILAH SESAMAMU MANUSIA seperti dirimu sendiri.
Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matius 22.37-40)

 

Bila hukum itu kita tuliskan dan ringkaskan menjadi sebuah persamaan sederhana, maka persamaan itu akan menjadi seperti ini:

KASIHI TUHAN = KASIHI SESAMA

 

Saya menyarankan agar formula ini dapat dibaca dan dipahami seperti ini:

“kita MENGASIHI ALLAH justru dengan mengasihi sesama manusia”

– Dan –

“kita mampu MENGASIHI SESAMA MANUSIA justru karena kita mengasihi Allah.”

 

Coba perhatikan. Bila Hukum itu adalah sebuah persamaan, maka apabila anda nihilkan sisi manapun dari persamaan itu, maka anda kan membuat mati sisi-nya yang lain. Bila anda nihilkan KASIHI SESAMAMU pada satu sisi, maka di sisi yang lain, KASIHI TUHANMU menjadi tidak bernilai sama sekali; sebaliknya, bila anda nihilkan KASIHI TUHANMU, maka KASIHI SESAMAMU tidak akan memiliki landasan otoritas apapun untuk dijalankan di dalam dunia materi tanpa Allah. MUSTAHIL.

Tetapi, kemustahilan inilah justru yang sedang coba ditaklukkan oleh para atheists – termasuk Dawkins – sebagai kebalikan dari para penganut ‘self-righteous religion’: yaitu mereka ingin Tuhan itu menjadi tiada atau dinihilkan dari persamaan di atas; sambil tetap ingin moralitas itu tetap ada (kasihi sesamamu). Mereka ingin membangun sebuah moralitas yang mulia tanpa memasukkan Tuhan ke dalam persamaan formulanya. Mereka ingin ada makanan yang lezat tersedia di meja makan, tetapi melalaikan sang juru-masaknya.

Sebaliknya. Begitu pula dengan para agamis itu: mereka ingin hanya mengasihi Tuhan saja, tanpa peduli untuk mengasihi sesama manusia yang mungkin dalam banyak hal dianggap najis dan kafir atau berbeda kualitas dari mereka.Para agamis ini ingin segera berada di surga menerima upah cukai mereka dengan menyembah Allah siang dan malam, tanpa peduli untuk mengasihi sesama manusia di dalam doa dan perbuatan mereka.


.
“What is it that breathes fire into the equation?”

Dalam ketidak-percayaannya akan Tuhan, Stephen Hawking masih mengajukan pertanyaan yang menunjukkan keheranannya – mengapa formula matematika begitu efektif dalam menjelaskan fenomena di alam semesta ini, sehingga dia bertanya:

“What is it that breathes fire into the equations and makes a universe for them to describe?”

Bagi yang percaya tentu menjawabnya: karena adanya sosok Super Cerdas yaitu sang Kebenaran Mutlak sebagai landasan atas segala sesuatu yang cerdas di alam semesta ini.

Untuk kasus Dawkins, maka pertanyaan yang sama juga bisa ditanyakan dalam formula moral dari Yesus: mengapa moralitas (kasihi sesama – hukum kedua) itu memiliki nilai dan mengapa harus dilakukan? Atau dengan meminjam pertanyaan dari Stephen Hawking:

“What is it that breathes fire into the equation and makes morality meaningful?”

Sebelumnya telah kita lihat bahwa naturalism tidak memiliki jawaban yang memuaskan mengapa kita harus melakukan tindakan-tindakan super niceness seperti yang diajarkan dan diminta oleh Yesus untuk kita lakukan? Karena naturalism tidak memiliki jawaban, maka Dawkins juga tidak memiliki jawabannya, atau bisa juga disebut, dia merasa memiliki jawabannya tetapi mati secara prematur. Karena itulah maka proposal paling jenius yang dapat dia berikan hanyalah mencetak kaos dengan tulisan ‘atheists for Jesus’ yang dibagikan kepada sebanyak mungkin orang dan berharap dengan cemas orang-orang itu akan memiliki karakter moral bintang lima seperti yang Yesus miliki. Dan Dawkins mengakui hal itu:

"It is pretty hard to defend absolutist morals on grounds other than religious ones."

Tetapi Yesus – yang Dawkins pakai sebagai endorser-nya itu sendiri – justru memiliki jawaban yang Dawkins tidak punya. Makanya Yesus membuat hukum moral di atas itu menjadi 2 bagian dan kedua bagian itu sama setaranya, saling mengunci dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

C.S. Lewis setuju dengan Yesus. Lewis mengatakan jawabannya, yaitu ketika ke-takjub-an dan ke-ngeri-an pada Yang Kudus (transenden) pada tempat pertama adalah sebagai landasan dan pelindung dari moralitas pada tempat kedua. Korelasi yang tak terpisahkan.

Atau bisa saya katakan begini: bahwa Hukum Kedua “Kasihi sesamamu” (moralitas) hanya akan bisa berjalan bila ada Hukum Pertama “Kasihi Allah” sebagai landasan untuk menjawab pertanyaan mengapa Hukum kedua harus dijalankan. Tanpa Hukum yang pertama, maka moralitas hanyalah resep diatas kertas yang kemudian dijadikan obat, tetapi tanpa pernah ada yang mau menelannya, karena tidak memiliki alasan siapa yang cukup berotoritas untuk mengatakan bahwa itu adalah betul obat dan mengapa harus menelan obat itu.

Saya tidak mengatakan bahwa seorang atheist tidak bisa hidup dengan moral yang tinggi, ataupun mau mengatakan dengan sombong bahwa seorang theist pasti bermoral baik…..tetapi…. saya mau mengatakan bahwa bila konsisten dan jujur dengan cara pandang masing-masing, maka atheism tidak memberikan landasan cukup kuat untuk bisa mengatakan bahwa keserakahan, kejahatan, atau kekejaman itu adalah sebagai sesuatu yang salah dan tidak benar (lihat kasus Jeffrey Dahmer).

Oleh karena itu, atheisme juga tidak memiliki landasan kuat ketika mengkritik dan menghujat – misalnya – apa yang dilakukan oleh para anggota ISIS ketika menembaki orang-orang dan mengorbankan diri dengan cara meledakkan bom di tengah kerumunan dan mati syahid (seperti yang terjadi di Paris, San Bernardino ataupun tempat-tempat lain). Sebab menurut teori evolusi: itu adalah tindakan pengorbanan diri dari orang yang sedang berupaya mempertahankan keberadaan kelompoknya – yang meyakini nilai-nilai abad ke-7 – supaya tidak hilang ditelan peradaban dan kemajuan zaman. Tidak ada landasan bagi atheisme untuk menilai bahwa tindakan itu baik ataupun jahat bila tidak ada patokan absolut atas moralitas. Sebab orang-orang itu akan melakukan cara apapun, bahkan dengan melakukan pengorbanan diri demi upaya survival kelompoknya sesuai apa yang teori evolusi katakan.

Sebaliknya, tanpa Hukum yang kedua, maka Hukum Pertama “Kasihi Tuhan” hanya akan melahirkan fanatisme menyebalkan yang berbahaya, seperti yang seringkali dipertontonkan oleh para agamis – ‘sang polisi kebenaran’ – dari penganut self-righteous religion yang memaksakan pandangannya, tanpa pernah berpikir bagaimana untuk bisa menjadi rahkmat bagi segenap alam (hubungan horizontal). Sebab yang penting bagi mereka hanyalah menyembah Tuhan (hubungan vertical). Bahkan – seolah-olah – tidak masalah menjadi setan-pun, asalkan menyembah Tuhan, maka sorga-lah bagiannya.

Sebab itulah Yesus marah, karena kaum agamis seperti itu melupakan apa yang hakiki:

"Tetapi celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran, tetapi kamu mengabaikan keadilan dan kasih Allah. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan."  (Lukas 11.42)

Mereka berasumsi (seolah-olah) Tuhan adalah sosok narsistik yang lebih ingin disembah ketimbang melihat suatu perbuatan baik yang dilakukan manusia bagi sesamanya. Mungkin adalah kebetulan yang aneh bila di dalam Alkitab, hanya setan-lah megalomania sombong yang mengatakan: “sembahlah aku” (Matius 4.9, bandingkan Yesaya 14.12-14; Yehezkiel 28.12-17). TUHAN tidak pernah mengatakan oleh diriNya sendiri meminta untuk disembah. Penyembahan tidak memerlukan perintah, tetapi hati yang rela dan bersyukur serta takjub. Sebab Tuhan tidaklah berkompetisi dengan ciptaanNya.


.
Yesus-lah Alasannya Mengapa moral super niceness Layak Dilakukan

Dalam theology dan tradisi orang Yahudi, manusia yang telah jatuh ke dalam kuasa dosa hanya bisa menjadi kudus bila telah dilakukan penebusan. Sebab bila anda mengampuni dan menebus seseorang, maka ada harga yang harus dibayar untuk membuat yang dirusak itu baik kembali. Pertama, adalah kesediaan untuk menanggung dan yang kedua adalah kesediaan untuk membayar lunas.

Jadi kalau mobil kesayangan anda dipinjam oleh seorang teman, kemudian menjadi rusak karena teman itu menabrak pohon, maka PENGAMPUNAN TOTAL dari anda artinya anda bersedia menanggung rasa kesal, amarah, sebal, dan lain-lain atas teman anda itu terhadap diri anda sendiri. Kedua, anda harus membayar harga supaya mobil itu bisa diperbaiki dan menjadi baik kembali (pemulihan ciptaan).

Dalam kekristenan pengampunan adalah sesuatu yang berharga dan bukan barang murahan. Sebab dosa adalah sesuatu yang mengerikan, yang tidak bisa dilenyapkan dari kekekalan hanya dengan berucap ‘saya ampuni’ tanpa ada harga yang harus dibayar, tanpa ada pengorbanan apapun. Oleh karena itu Yesus tidak boleh menghindar dari salib bila Dia ingin menebus dan mengampuni dosa manusia. Yesus mati di kayu salib. Artinya Dia bersedia menanggung akibat mengerikan dari dosa dan bersedia membayar lunas dengan kesucian diriNya yang tidak berdosa, sehingga pemulihan hubungan dan pemulihan ciptaan dengan sang Khalik dapat terjadi.

Kalau anda telah melakukan pengampunan total buat orang yang membuat mobil anda rusak. Maka orang itu, kalau tahu diri, dia akan merasa sangat berterimakasih dan bersyukur karena telah diampuni sampai sebegitunya. Itu adalah sikap yang sama seperti orang Kristen terhadap Yesus. Tetapi jauh lebih agung. Sebab itu adalah lambang cintaNya – kepada orang-orang yang berdosa (kasih yang mendahului), yang terhukum binasa.

Oleh karena itulah dalam ritual orang Yahudi, banyak dilakukan korban persembahan di Bait Suci untuk menebus dosa dan kesalahan yang telah mereka perbuat. Sebab bila anda adalah seorang berdosa dan seharusnya mendapat hukuman mati, tetapi kemudian mendapatkan pengampunan dan penebusan atas segala dosa dan hukuman mati anda, maka rasa syukur dan terimakasih akan timbul mengalir dari hati anda oleh karena penebusan seperti itu. Penyembahan dan ketaatan sukarela hanya akan dapat timbul dengan limpah dari rasa syukur dan terimakasih seperti itu.

Namun penebusan korban dari hewan tak bercacat itu bukanlah penebusan ultimate yang dapat menguduskan mereka secara ultimate – cukup satu kali dan untuk selamanya – itu hanyalah lambang dari apa yang akan datang. Dalam argumentasi Alkitab, Allah mau dan ingin mengampuni dosa manusia karena karakter KasihNya, tetapi Dia tidak bisa mengampuninya dengan begitu saja karena karakter KeadilanNya yang menuntut manusia harus menjalani penghakiman dan penghukuman Ilahi. Dan dua karakter paradox tersebut hanya bisa diselesaikan oleh salib Kristus – dimana Allah yang Maha-adil menjalankan keadilanNya dengan menimpakan hukuman atas dosa manusia kepada Yesus; dan Allah yang Mahakasih menunjukkan kasihNya itu dengan tidak menimpakannya kepada manusia tetapi menanggungkannya atas diri Yesus.

Kristen percaya bahwa roh manusia tidaklah hilang ketika mati, tetapi dia tetap ada berlanjut sampai kepada kekakalan. Bila roh manusia itu kekal dan bila dia adalah roh yang berdosa, maka dia akan mengalami penderitaan akibat dari dosa itu juga dalam kekekalan, artinya selama-lamanya. Sebab itu harus ada yang mau menanggung kepahitan dan kesakitan akibat dosa dan kemudian membayarnya lunas, sehingga kuasa hukum dosa tidaklah berlanjut dan menjalar sampai kepada kekekalan.

Tuhan yang transenden dan Mahakuasa tidak mungkin bisa menderita, apalagi mati. Mustahil. Hanya manusia yang bisa. Namun semua manusia telah berdosa sehingga tidak ada satu orangpun yang layak untuk membuktikan bahwa manusia bisa hidup tidak berdosa di bawah hukum Taurat – dan dengan demikian membuktikan bahwa hukum dosa dan maut itu salah dan tidak memiliki kuasa lagi atas manusia sebagai alat pengadilan Ilahi di akhir zaman.

Tetapi seandainya saja Dia nuzul menjadi setara dengan manusia yang bisa menderita dan mati, maka penebusan seperti itu menjadi mungkin. Yesus yang Ilahi, memberi kabar sukacita kepada semesta dengan jelas: Allah mengasihi manusia dan tidak mau mereka jatuh ke dalam kuasa dosa yang bisa memisahkan manusia dengan PenciptaNya. Oleh karena itu Dia nuzul dengan membuktikan bahwa manusia bisa hidup tidak berdosa sampai detik terakhir lonceng kehidupannya dengan mati di kayu salib.

Mati adalah lonceng terakhir dari sebuah ujian dimana hasil kehidupan Yesus kini dapat dinilai. Sebelum mati, penilaian tidaklah adil untuk dapat dilakukan. Dengan mati di kayu salib, Yesus membuktikan bahwa hukum dosa dan maut itu salah – karena PREMIS hukum itu sejak Adam adalah bahwa manusia adalah makhluk berdosa, menjadi salah karena oleh satu orang bernama Yesus – sehingga hukum itu tidak bisa lagi dipakai sebagai alat pengadilan Ilahi atas diri manusia. Sebab, bila hukum dosa dan maut tetap menjadi alat pengadilan manusia, tidak ada satu orangpun yang akan bisa lolos. Itu berarti semua manusia akan hidup terpisah dari yang Ilahi (neraka) selama-lamanya.

Tetapi Kristus telah menjadi korban penebus salah yang ultimate – sekali dan selamanya. Hukum dosa dan maut menjadi tidak berkuasa lagi. Dia telah mengalahkan dosa dan maut. Oleh karena itu, kini Dia-lah yang menjadi hakimnya – mengadili hati tiap-tiap manusia.

Bila manusia mengetahui betapa dalamnya kasih Allah yang seperti itu sehingga berupaya membebaskan manusia dari kesalahan yang dibuatnya sendiri – selama-lamanya, dengan cara menyerap seluruh hukuman atas seluruh karakter salah dari manusia ke dalam DiriNya sendiri. Ditanggungnya segala rasa, kesakitan, kepahitan, pengkhianatan, kesedihan, kengerian, penghinaan, kesepian – supaya segala yang mengerikan itu tidak berlanjut sampai kepada kekekalan.

Di atas kayu salib semua paradox atas natur Ilahi diselesaikan bagi seluruh manusia. Bagi saya itu menggetarkan hati. Bila anda mentaati Yesus dengan sukarela karena tergetar dengan apa yang dilakukanNya bagi anda, maka itulah yang dikehendakiNya: Keputusan sukarela dari kehendak bebas anda dan saya, sebagai kebalikan dari keputusan sukarela Adam yang menolak Allah di Taman Eden.

“One of the cardinal distinctions of the Judeo-Christian worldview versus other worldviews is that no amount of moral capacity can get us back into a right relationship with God. Herein lies the difference between the moralizing religions and Jesus’s offer to us. Jesus does not offer to make bad people good but to make dead people alive. (Ravi Zacharias)

Jadi itulah yang dilakukan Yesus yang membuatNya membedakan diri dengan agama dan worldviews lainnya. Semua agama yang lain berpusat pada kesolehan moral dari para pengikutnya sendiri, sedangkan Kekristenan yang asali berpusat pada kesolehan Yesus. Agama mengatakan, “inilah yang harus kamu lakukan supaya kamu benar di hadapan Allah dan memperoleh hidup;” Tetapi Yesus mengatakan, “inilah yang telah Aku lakukan supaya kamu benar di hadapan Allah dan memperoleh hidup.”

Oleh karena itu pengajaran Yesus tidak bisa dipandang hanya sebagai “satu lagi ajaran tentang kebaikan” seperti apa yang diajarkan oleh agama manapun (tanpa penebusan). Ada hal yang lebih mendasar daripada sekedar kebaikan di permukaannya.
Sebab bila kekristenan hanya dipandang sebagai satu lagi ajaran yang baik, maka kekristenan tidaklah ada artinya apa-apa. Dunia tidak pernah kekurangan nasihat yang baik YANG SAMA selama empat ribu tahun terakhir ini. Sedikit tambahan tidak akan ada bedanya.

Jadi, DOSA dan MATI adalah nasib yang seharusnya diterima manusia: terpisah dari hadirat BAPA – lalu ada Penebusan dan Pembenaran oleh Yesus – Pengudusan oleh Roh Kudus – dan ada HIDUP di hadirat BAPA, maka lahir Rasa syukur dan Penyembahan – yaitu Ketaatan karena telah diampuni. Itu adalah urut-urutan yang ditawarkan oleh para nabi dan digenapi oleh Yesus kepada semua manusia yang kurs-nya adalah binasa. Dia telah menaklukkan hati dan kehendak bebas (free will) manusia. Tanpa paksaan – kesempatan kedua.

Peter Singer (atheist) memberikan analisa yang fair terhadap kebaikan dalam agama. Dia mengatakan bahwa orang-orang beragama beramal dan menyumbangkan uang mereka karena mengharapkan Tuhan untuk membalasnya dengan rizki yang melimpah serta untuk mendapatkan tiket ke syurga. Bagi dia, HAL INI ADALAH SELFISH. Dan menurut saya fair enough. Artinya, dari sudut teori evolusi, perbuatan baik dan amal umat beragama itupun adalah juga ‘pertukaran kepentingan’ dari selfish gene dan bukan suatu ketulusan, karena ada yang ingin dia dapatkan untuk memuaskan nafsu selfish gene-nya.

Tetapi justru itulah yang sedang dikritik dan disampaikan oleh Yesus. Dia mengkritik agama yang semacam itu. Sebab pengajaran dalam agama self-righteous adalah orang-orang bisa menjadi baik oleh karena upaya dirinya sendiri. Padahal Taurat (peraturan agama) telah membuktikan bahwa manusia adalah sampah. Di dalam pandangan Allah Yang Kudus, semua manusia telah berdosa dan kotor, oleh karena itu mereka memerlukan kasih karunia supaya dapat diselamatkan. Makanya, ketika agama mengatakan: “lakukanlah ini, lakukanlah itu,” justru Yesus mengatakan: “sudah selesai.” Dia telah menyelesaikan dan menebus nature keberdosaan manusia di kayu salib.

C.S. Lewis menyarikannya untuk anda:
“The Christian does not think God will love us because we are good, but that God will make us good because He loves us.”

Orang yang telah ditebus mendapatkan ketaatan untuk menjalankan moral super niceness dari HATI YANG RELA. Bukan melalui peraturan mekanis legalistic yang memaksa (dengan pahala dan hukuman) seperti yang diajarkan oleh ritual dan aturan AGAMA dalam upayanya mendapatkan nilai scorecard yang baik untuk sorga, ataupun hanya dengan BIG BRAIN manusia seperti yang diargumentasikan oleh Dawkins, yang terbukti korup. Kedua-dua pandangan ini ditolak Yesus.

Oleh karena itulah setelah mengetahui apa yang dilakukan Yesus, maka semua orang yang menerimaNya juga mendengarkan kata-kataNya. PERUBAHAN HATI. Sukarela. Rasa syukur yang melimpah. Perbuatan baik dan moralitas YANG TULUS mendapatkan landasan pembenarannya.

Perhatikan perkataan Yesus berikut ini:

25:31 "Apabila Anak Manusia (Yesus) datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya.

25:32 Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang, sama seperti gembala memisahkan DOMBA dari KAMBING,
25:33 dan Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya.

25:34 Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan.
25:35 Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan;
25:36 ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.

25:37 Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum?
25:38 Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian?
25:39 Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau?

25:40 Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.

25:41 Dan Ia akan berkata juga kepada mereka yang di sebelah kiri-Nya: Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya.
25:42 Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum;
25:43 ketika Aku seorang asing, kamu tidak memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat Aku.

25:44 Lalu merekapun akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau?

25:45 Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.
25:46 Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal." (Matius 25.31-46)

Saya rasa Yesus sudah dengan gamblang mengatakannya: bahwa Allah ada bersama-sama dengan orang-orang yang lemah, miskin dan menderita (AKU = mereka). Yaitu orang-orang yang seharusnya ter-eliminasi dan dieliminasi bila menggunakan pengertian teori evolusi. Sebab mereka hanyalah beban bagi proses evolusi yang akan melahirkan para ‘manusia dewa’ di masa depan.

Tetapi, mengapa Yesus berkata ‘AKU = mereka?’ Karena hanya melalui Kristus-lah, yaitu Firman Allah yang nuzul menjadi manusia – sang Pengantara, maka Allah Bapa kini dapat merasakan hal yang mungkin selama-lamanya tidak pernah dapat Dia rasakan (rasa sakit, pengkhianatan, kesepian, penganiayaan, kematian). Bila Kristus sebagai manusia dapat merasakan sakit dan penderitaan melalui sesamaNya manusia – seperti yang dikatakanNya dalam ayat-ayat di atas (Yesus = mereka). Maka Allah Bapa kini dapat merasakan sakit dan penderitaan manusia yang seperti itu melalui Kristus.
Dengan demikian, teriakan suara mereka yang miskin dan teraniaya adalah teriakan Yesus dan kegembiraan mereka adalah juga kegembiraan Yesus. Bila itu adalah teriakan Yesus dan kegembiraan Yesus, Allah Bapa dapat merasakannya. Bila Allah Yang Mahakuasa dapat merasakan itu melalui Kristus. Sebaiknya anda jangan coba-coba mengabaikan perkataan dan nasihat Yesus.


.
Hakim Agung Yesus

Sang Logos (Word – Firman; Reason – Hikmat) yang telah menjadi manusia bernama Yesus (Kalimatullah) telah memberikan jawabannya. DiriNya-lah alasan (reason) mengapa hidup ini harus dijalani dengan karakter super niceness seperti yang Richard Dawkins inginkan. Bila Dawkins mengatakan bahwa karakter dari selfish gene adalah ‘sole reason for being’ bagi setiap makhluk yang hidup; maka Alkitab ingin mengatakan Yesus-lah sole reason for being yang sesungguhnya bagi manusia yang lumpuh karena telah takluk oleh selfish gene semenjak Adam dan Hawa.

“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Roma 11.36)

Firman (Logos, Reason, God) itu telah menjadi manusia (Lord), dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” (Yohanes 1.14 – catatan: kata dalam kurung ditambahkan oleh penulis untuk lebih menjelaskan)

Perhatikan pula kata-kata berikut ini:

“Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging (selfish gene) dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.” (Galatia 5.24 – catatan: kata dalam kurung ditambahkan oleh penulis)

“Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging (selfish gene), telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging… “ (Roma 8.3 – catatan: kata dalam kurung ditambahkan oleh penulis)

“Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa (selfish gene) kita HILANG KUASANYA, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa.” (Roma 6.6 – catatan: kata dalam kurung ditambahkan oleh penulis)

“Jadi, saudara-saudara, kita adalah orang berhutang, tetapi bukan kepada daging, supaya hidup menurut daging. Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup.” (Roma 8.12-13)

“Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih. Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging (selfish gene).

Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging – karena keduanya bertentangan – sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki. Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat.

Perbuatan DAGING telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu--seperti yang telah kubuat dahulu--bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.

Tetapi buah ROH ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.” (Galatia 5.13; 16-24)

Yesus telah membuktikan pada BAPA bahwa tidak semua manusia takluk oleh kuasa nafsu kedagingan (selfish gene) – (bandingkan dengan tipe manusia-manusia ini: Adam, Hawa, Kain atau kita semua). DiriNya telah membuktikan hal itu. Dan oleh karena Yesus telah membuktikan bahwa diriNya tidak takluk kepada nature keberdosaan manusia, maka hukum dosa dan maut menjadi tidak relevan sebagai alat untuk mengadili umat manusia. Sebab Hukum dosa dan maut (Hukum kehendak bebas) telah dibuktikan salah oleh Yesus. Dan Karena telah dibuktikan salah, maka hukum itu tidak bisa lagi dijadikan sebagai alat penghakiman. Hak penghakiman sekarang berpindah pada diri Yesus sendiri yang telah menaklukkannya.

Oleh karena itulah Dia disebut sebagai Hakim yang akan mengadili seluruh umat manusia pada akhir zaman. Oleh karena itu Dia menyebut DiriNya adalah satu-satunya JALAN – karena Dia-lah satu-satunya yang akan mengadili seluruh umat manusia.

Jalan satu-satunya kepada BAPA hanya melalui ANAK (Yesus) – MELALUI PENGHAKIMANNYA.

Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14.6 – ditulis hampir 2000 tahun lalu)

“Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak (Yohanes 5.22)

 

Mengapa Allah Bapa yang transenden menyerahkan penghakiman kepada Anak yang imanen sebagai HAKIM bagi seluruh umat manusia?

Sebab, Kristus telah berhasil membalik (The Great Reversal) hukum dosa dan maut menjadi kasih karunia melalui kematianNya (bahasa alkitabnya: mengalahkan dosa dan maut; bdk.1 Kor 15.55-57; Roma 8.2; Yoh 1.17).

Sebab, untuk bisa menghakimi segala dosa serta kengerian yang diakibatkan oleh dosa, maka sang Hakim supaya bisa menghakimi dengan KASIH, harus bisa mengalami dan merasakan segala penderitaan, kepahitan, kengerian, kematian dan semua kesakitan akibat dari dosa. Mustahil Allah bisa. Hanya manusia yang bisa. Tetapi Yesus adalah manusia – karena itu Dia bisa.

Sebab, untuk bisa menghakimi tempat terdalam di hati sanubari setiap manusia atas seluruh hidupnya, maka sang Hakim supaya bisa menghakimi dengan ADIL, harus-lah Maha-tahu. Mustahil manusia bisa. Hanya Allah yang bisa. Tetapi Yesus adalah Yang Ilahi – karena itu Dia bisa.

Sebab, di dalam diri Yesus: Yang Ilahiah dan yang insaniah saling bertaut (interlock), saling berpotongan (intersect) dan saling rambah (overlap) satu dengan yang lain. Karena itu Dia disebut Anak Manusia dan juga Anak Allah. Sebab kasih Tuhan pada manusia dan kasih manusia pada Tuhan, saling bertaut dan saling rambah di dalam kesatuan diriNya, sehingga kasih manusia dengan sesama menjadi mungkin. Demikianlah KASIH dan ADIL ada di dalam diriNya – karena itu Dia menjadi hakim atas seluruh manusia.

Pengadilan Yesus, dengan demikian, bukan lagi pengadilan atas nature keberdosaan manusia – karena dosa yang tidak bisa ditanggung oleh manusia itu, telah ditebusNya – melainkan respons dari kehendak bebas manusia sendiri atas kesempatan kedua yang diberikan oleh Yesus. Suatu pengadilan atas hati.

Oleh Sebab itu, maka segala ritual keagamaan dan perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia yang telah ditebus, bukanlah dipandangNya sebagai alat dan kewajiban untuk menjadi selamat (jangan ada yang memegahkan diri – seolah-olah selamat itu karena usaha ritual agama dan perbuatan baiknya sendiri), melainkan segala perbuatan baik dan puji-pujian itu adalah sebagai ungkapan syukur karena telah diselamatkan oleh Yesus – yang telah menggantikannya – dari hukum dosa dan maut. Bukan sebagai beban kewajiban tetapi sebagai hak dari rasa syukur dan kegembiraan. Perbuatan baik bukanlah sebab tetapi akibat.

Hukum Taurat ataupun hukum-hukum agama manapun hanyalah bukti untuk membungkam semua manusia yang merasa dirinya adalah makhluk suci dan layak berdiri di hadapan Yang-Maha-Kudus. Hukum agama adalah cermin yang menunjukkan betapa kotornya diri manusia berdosa – tetapi cermin itu sendiri tidak bisa membersihkan kekotoran itu. Hukum Taurat dan hukum agama manapun membuktikan bahwa manusia adalah benar makhluk selfish genes yang tidak bisa menolong dirinya sendiri. Oleh karena itu, hukum agama membuktikan dan mendesak semua manusia bahwa mereka membutuhkan seorang penolong – bahasa Alkitabnya: MESIAS.

Pengadilan Yesus adalah pengklasifikasian atas dua kelompok kehendak bebas dan karakter manusia – seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya – kelompok yang ingin tinggal bersamaNya dalam kekudusan yaitu kelompok yang berkata kepada Tuhan: ‘jadilah kehendakMu;’ ATAU kelompok lain yang masih ingin meneruskan nature dan nafsu selfish gene-nya sampai pada kekekalan dan karena itu tetap ingin menjadi Allah atas dirinya sendiri. Dan Dia akan memberikannya pada kita apa yang kita ingini: ‘jadilah kehendakmu.’

“There are only two kinds of people in the end: those who say to God, "Thy will be done," and those to whom God says, in the end, "Thy will be done." All that are in Hell, choose it. Without that self-choice there could be no Hell. No soul that seriously and constantly desires joy will ever miss it. Those who seek find. Those who knock it is opened.” (C.S. Lewis – The Great Divorce).

Yupp granted…Yesus ingin orang-orang melakukan perbuatan super baik. Itu tidak salah. Tetapi lebih dari pada itu – Dia ingin orang-orang pada akhirnya memiliki KARAKTER super baik. Hanya dengan karakter yang baik, maka perbuatan baik dapat hadir dalam bentuknya yang paling baik. Perbuatan-baik adalah akibat, sedangkan karakter-baik adalah penyebab – karakter adalah mesin penghasilnya.

Kita telah lihat bahwa hanya Allah Trinitas yang menyediakan karakter instrinsik BAIK di dalam diriNya secara kekal. Oleh karena itu menjadi semakin serupa dengan karakter Allah Trinitas yang Mahakudus dan Mahakasih adalah alasan bagi setiap manusia mengapa hidup ini memiliki arti dan layak dijalani.

“Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti BAPAMU yang di sorga adalah SEMPURNA.” (Matius 5.48)

Tetapi bukankah BAPA itu kudus dan transenden secara absolut? Sehingga mustahil manusia bisa mengenal DIA? Sebab Ia jauh lebih besar dari apa yang bahkan ada di dalam pikiran paling ideal manusia sekalipun (the greatest conceivable being). DIA tidak TERHAMPIRI.

“Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah;…” (Yohanes 1.18a)

Jadi bagaimana bisa meniruNya supaya kita bisa sempurna bila Dia itu transenden? Namun, bukankah BAPA yang transenden itu telah mengirimkan PUTRA-NYA yang imanen? Yang pernah hidup bersama dengan manusia. Berjalan-jalan di danau Galilea dan berkata: “AKU-lah DIA.”

“Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” (Yohanes 1.18).

The New English Translation (NET) Bible menerjemahkan teks bahasa aslinya (Yunani) demikian:

“No one has ever seen God. The only one, himself God, who is in closest fellowship with the Father, has made God known.” (John 1.18 – NET Bible)

Dan bila benar YESUS adalah DIA, maka kita memiliki satu contoh nyata. Dia-lah rujukan. Dia-lah modelnya:

“… Barangsiapa telah MELIHAT AKU, ia telah MELIHAT BAPA; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami.” (Yohanes 14.9 b – bandingkan: Yes 9:5; Yoh 1:14; 12:45; 2Kor 4:4; Fili 2:6; Kol 1:15; Ibr 1:3 )

“Ia (Yesus) adalah gambar Allah yang tidak kelihatan…” (Paulus - Kolose 1.15)

Jadi ketika Yesus mengatakan bahwa kamu harus sempurna seperti Bapa – padahal tidak seorangpun yang sanggup dan pernah melihat Bapa – maka Dia sebetulnya sedang mengatakan: “Akulah Dia …Yang Sempurna itu….. Oleh karena itu, engkau dapat datang kepadaKu.” Kini, apakah anda mulai memahami mengapa Yesus mengatakan claim-claim super gila menyamakan DiriNya dengan Allah? (Mengampuni dosa, menghakimi umat manusia, dsb).

Bila Yesus adalah betul sosok Ilahiah, maka Dia memiliki kuasa transenden intrinsik dan penebusanNya atas tuduhan hukum dosa (yang tidak dimiliki seorang guru ataupun nabi) yang memberi alasan mengapa manusia harus mendengarkan dan menuruti kata-kataNya. KematianNya dan kebangkitanNya adalah bentuk lain dan paling ultimat dari bukti kebenaran sejarah yang dapat Dia berikan – selain puluhan nubuat yang digenapi dalam kitab-kitab yang telah ada ratusan dan ribuan tahun sebelum Dia lahir (Perjanjian Lama) dan segala mukjizat yang Dia tunjukkan di depan banyak orang.

Oleh sebab itu, DiriNya-lah alasan: bahwa karena tidak ada hidup dan perbuatan manusia selfish gene ini yang benar dan bisa dibanggakan di hadapan Bapa yang begitu Kudus – maka HAI KAUM AGAMIS, janganlah ada yang memegahkan diri dan menjadi sombong. Seolah-olah selamat-nya kamu adalah hasil amal dan ritual keagamaanmu sendiri. Sebab manusia adalah sampah bila tidak ada penebusan Kristus.

DiriNya-lah alasan: sebab big brain belaka ternyata terbukti tidak mampu untuk membuat manusia hidup dengan karakter moral super niceness – maka HAI KAUM HUMANIS, janganlah menjadi sombong seolah-olah bisa menjadi kudus dan baik karena kecerdasan kamu sendiri. Sebab otak pintar yang jahat adalah jauh lebih berbahaya dari pada bom atau kekuatan impersonal yang tidak memiliki otak.

Kedua kelompok ini adalah bagaikan orang-orang yang ingin mengangkat tubuhnya yang tenggelam di dalam lumpur kejahatan dengan cara menjambak dan menarik rambutnya sendiri ke atas. Tidak bisa. Itu adalah spiritual entropy – ‘cosmic bootstrap.’ Tidak ada yang bisa menolong dirinya sendiri. Tidak ada obatnya. Anda butuh seorang PENOLONG. Anda butuh MESIAS. Anda butuh YESUS.

Karena itu dengarkanlah perintah-Nya tentang perichoresis – ‘Tarian Ilahi’:

15:9 "Seperti Bapa telah mengasihi Aku (Yesus), demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu.
15:10 Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.
15:11 Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.

15:12 Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.
15:13 Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.
15:14 Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.

15:15 Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.

15:16 Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.
15:17 Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain." (Yohanes 15.9-17)

JADI, di bagian akhir tulisan ini. Apa jawaban dari dua pertanyaan yang saya tulis di atas:
Pertama, pertanyaan dari Argumentasi Dawkins: "Bisakah kita berbicara moralitas dengan mengeluarkan Tuhan dari persamaan?" TIDAK BISA!

Lalu pertanyaan yang kedua: “What is it that breathes fire into the equation and makes morality meaningful?” YESUS! Sebab nama lain di luar nama itu adalah DELUSI (maaf, ini bukan karena mau menyombong tetapi konsekuensi logis dari paparan saya).

Sekarang, bila TUHAN tidak bisa dikeluarkan dari persamaan moralitas dan bila hanya YESUS yang bisa membuat persamaan itu bisa berjalan. SIAPA YESUS?

Oleh karena itu, sekarang, dengan segala kerendahan hati, apakah boleh saya tawarkan kembali: “Jesus for atheists?”

 

Salam hormat…

Segala kemuliaan bagi Allah Bapa di tempat yang Mahatinggi; dan bagi FirmanNya yang disebut oleh Bapa sebagai ‘AnakNya’ yang telah melayakkan kita untuk hidup dihadapanNya, yang telah ditetapkanNya sebagai Gusti (Lord) – Raja segala raja – atas seluruh alam semesta; dan bagi Roh KudusNya yang memimpin kita untuk menjalani hidup yang tak bercacat di hadapanNya. Amin.

.

 

By: Arjuna Baladewa – Desember Ceria 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun