Dengan demikian, Dawkins tidak bisa lagi menjadikan big brain sebagai solusi atas moral super niceness. Yang terjadi adalah kebalikannya. Oleh karena itu, Yesus – dengan perumpamaan good Samaritan ini – telah menolak big brain sebagai solusi ultimat sejak 2.000 tahun lalu. Thesis Dawkins gagal dengan sekali pukul. Layu sebelum berkembang.
.
Sang ‘Sesuatu’ – Yang Transenden: Sebagai Sumber Moralitas
Telah saya kutipkan di atas, bahwa dalam wawancaranya dengan The Guardian, Dawkins menyebutkan Yesus adalah seorang guru moral yang agung, dan juga sangat pintar. Menurutnya, seseorang yang sepintar Yesus pasti akan menjadi atheist bila saja dia mengetahui apa yang telah kita ketahui pada saat ini.
Mungkin dalam pendapatnya itu, apabila Yesus datang untuk yang kedua-kalinya, maka Dia akan lebih mirip seorang Dawkins si atheist, yang heran mengapa masih saja ada orang-orang yang percaya kepada Tuhan; dari pada seorang al-Masih yang sedang menggenapi janji-janjiNya. Padahal Yesus yang sama ini, pada 2000 tahun lalu adalah juga Yesus yang mengajarkan dan memberi contoh moralitas dengan standard yang sangat tinggi – bahkan seorang Dawkins pun sampai menyebut-Nya sebagai human SUPER niceness – justru karena adanya sang Bapa di sorga, kepada siapa perbuatan itu dipersembahkan.
Jadi, bukankah Yesus yang ini adalah Yesus yang percaya bahwa moralitas semacam itu memang pantas dijalankan karena adanya ‘SESUATU yang TRANSENDEN’ di luar dunia ini. Ada sesuatu yang supernatural dari dunia natural ini dan percaya bahwa hidup ini tidaklah berakhir di kuburan, tetapi ada dunia lain yang mungkin berbeda?
Orang Yahudi diajari bahwa karakter Allah adalah KUDUS. Kudus artinya Dia suci dan terpisah dari segala ciptaan. Terpisah dari segala ciptaan artinya Dia itu transenden secara absolut. Dan karena Dia itu terpisah dari ciptaan yang telah jatuh ke dalam dosa, maka hanya Dialah satu-satunya yang bisa menjadi titik rujukan moralitas.
Namun sayangnya, walau Dawkins mengutip perkataan Yesus, dia tidak melanjutkan kutipannya tentang ajaran Yesus tersebut sampai tuntas ke ayatnya yang terakhir, sebelum dia mengambil kesimpulan yang asal-asalan dalam wawancaranya dengan The Guardian tersebut. Sebab pada ayat-ayat lanjutannya – masih di pasal yang sama dari yang Dawkins kutip – Yesus memberitahu MENGAPA perbuatan super niceness seperti itu layak untuk diperjuangkan:
“Karena DENGAN DEMIKIANLAH kamu menjadi anak-anak BAPAMU (‘God the Father’) yang DI SORGA, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.
Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?
Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti BAPAMU yang di sorga adalah SEMPURNA." (Matius 5.45-48).
Apakah bisa saya katakan bahwa Mr. Dawkins hanya mau menyantap dan menikmati makanan yang enak itu, tetapi tidak mau membayar harganya? Atau Dawkins ingin membangun istana yang tinggi dan megah tetapi lalai untuk membangun fondasinya? Kita akan lihat dalam pemaparan berikutnya.
.
10 Perintah Allah
Dalam dunia Judeo-Christian, 10 perintah Allah adalah tonggak dari moralitas. Hukum ini telah mempengaruhi cara-pandang dan cara pikir bangsa-bangsa tentang moralitas serta mempengaruhi budaya dan kehidupan mereka. Musa, ketika berada di Gunung Sinai dan menerima 10 Perintah Allah, maka Perintah itu dimulai dengan kata-kata yang memberi landasan otoritas: “Akulah TUHAN, Allahmu…” Dan setelah pernyataan itu, barulah dimulai urutan perintah demi perintah dari yang pertama sampai kepada yang ke-sepuluh, yaitu setelah hukum itu mendapatkan landasan otoritasnya.