Mati adalah lonceng terakhir dari sebuah ujian dimana hasil kehidupan Yesus kini dapat dinilai. Sebelum mati, penilaian tidaklah adil untuk dapat dilakukan. Dengan mati di kayu salib, Yesus membuktikan bahwa hukum dosa dan maut itu salah – karena PREMIS hukum itu sejak Adam adalah bahwa manusia adalah makhluk berdosa, menjadi salah karena oleh satu orang bernama Yesus – sehingga hukum itu tidak bisa lagi dipakai sebagai alat pengadilan Ilahi atas diri manusia. Sebab, bila hukum dosa dan maut tetap menjadi alat pengadilan manusia, tidak ada satu orangpun yang akan bisa lolos. Itu berarti semua manusia akan hidup terpisah dari yang Ilahi (neraka) selama-lamanya.
Tetapi Kristus telah menjadi korban penebus salah yang ultimate – sekali dan selamanya. Hukum dosa dan maut menjadi tidak berkuasa lagi. Dia telah mengalahkan dosa dan maut. Oleh karena itu, kini Dia-lah yang menjadi hakimnya – mengadili hati tiap-tiap manusia.
Bila manusia mengetahui betapa dalamnya kasih Allah yang seperti itu sehingga berupaya membebaskan manusia dari kesalahan yang dibuatnya sendiri – selama-lamanya, dengan cara menyerap seluruh hukuman atas seluruh karakter salah dari manusia ke dalam DiriNya sendiri. Ditanggungnya segala rasa, kesakitan, kepahitan, pengkhianatan, kesedihan, kengerian, penghinaan, kesepian – supaya segala yang mengerikan itu tidak berlanjut sampai kepada kekekalan.
Di atas kayu salib semua paradox atas natur Ilahi diselesaikan bagi seluruh manusia. Bagi saya itu menggetarkan hati. Bila anda mentaati Yesus dengan sukarela karena tergetar dengan apa yang dilakukanNya bagi anda, maka itulah yang dikehendakiNya: Keputusan sukarela dari kehendak bebas anda dan saya, sebagai kebalikan dari keputusan sukarela Adam yang menolak Allah di Taman Eden.
“One of the cardinal distinctions of the Judeo-Christian worldview versus other worldviews is that no amount of moral capacity can get us back into a right relationship with God. Herein lies the difference between the moralizing religions and Jesus’s offer to us. Jesus does not offer to make bad people good but to make dead people alive.” (Ravi Zacharias)
Jadi itulah yang dilakukan Yesus yang membuatNya membedakan diri dengan agama dan worldviews lainnya. Semua agama yang lain berpusat pada kesolehan moral dari para pengikutnya sendiri, sedangkan Kekristenan yang asali berpusat pada kesolehan Yesus. Agama mengatakan, “inilah yang harus kamu lakukan supaya kamu benar di hadapan Allah dan memperoleh hidup;” Tetapi Yesus mengatakan, “inilah yang telah Aku lakukan supaya kamu benar di hadapan Allah dan memperoleh hidup.”
Oleh karena itu pengajaran Yesus tidak bisa dipandang hanya sebagai “satu lagi ajaran tentang kebaikan” seperti apa yang diajarkan oleh agama manapun (tanpa penebusan). Ada hal yang lebih mendasar daripada sekedar kebaikan di permukaannya.
Sebab bila kekristenan hanya dipandang sebagai satu lagi ajaran yang baik, maka kekristenan tidaklah ada artinya apa-apa. Dunia tidak pernah kekurangan nasihat yang baik YANG SAMA selama empat ribu tahun terakhir ini. Sedikit tambahan tidak akan ada bedanya.
Jadi, DOSA dan MATI adalah nasib yang seharusnya diterima manusia: terpisah dari hadirat BAPA – lalu ada Penebusan dan Pembenaran oleh Yesus – Pengudusan oleh Roh Kudus – dan ada HIDUP di hadirat BAPA, maka lahir Rasa syukur dan Penyembahan – yaitu Ketaatan karena telah diampuni. Itu adalah urut-urutan yang ditawarkan oleh para nabi dan digenapi oleh Yesus kepada semua manusia yang kurs-nya adalah binasa. Dia telah menaklukkan hati dan kehendak bebas (free will) manusia. Tanpa paksaan – kesempatan kedua.
Peter Singer (atheist) memberikan analisa yang fair terhadap kebaikan dalam agama. Dia mengatakan bahwa orang-orang beragama beramal dan menyumbangkan uang mereka karena mengharapkan Tuhan untuk membalasnya dengan rizki yang melimpah serta untuk mendapatkan tiket ke syurga. Bagi dia, HAL INI ADALAH SELFISH. Dan menurut saya fair enough. Artinya, dari sudut teori evolusi, perbuatan baik dan amal umat beragama itupun adalah juga ‘pertukaran kepentingan’ dari selfish gene dan bukan suatu ketulusan, karena ada yang ingin dia dapatkan untuk memuaskan nafsu selfish gene-nya.
Tetapi justru itulah yang sedang dikritik dan disampaikan oleh Yesus. Dia mengkritik agama yang semacam itu. Sebab pengajaran dalam agama self-righteous adalah orang-orang bisa menjadi baik oleh karena upaya dirinya sendiri. Padahal Taurat (peraturan agama) telah membuktikan bahwa manusia adalah sampah. Di dalam pandangan Allah Yang Kudus, semua manusia telah berdosa dan kotor, oleh karena itu mereka memerlukan kasih karunia supaya dapat diselamatkan. Makanya, ketika agama mengatakan: “lakukanlah ini, lakukanlah itu,” justru Yesus mengatakan: “sudah selesai.” Dia telah menyelesaikan dan menebus nature keberdosaan manusia di kayu salib.
C.S. Lewis menyarikannya untuk anda:
“The Christian does not think God will love us because we are good, but that God will make us good because He loves us.”