“Biasa aja Keles! mereka mungkin lagi gelar wayang golek”
“Tapi gue bingung, apa dimari ada perkampungan?”
“Di bukit seperti ini ada perkampungan? Kalo di Puncak Bogor gue nggak heran…ini???”
“Dasar si Baper! Mungkin aja ada perkampungan, coba tengok! Jalan setapaknya aja rapih…ini pasti jalan menuju perkampungan”
Kami bertiga sepakat untuk mengambil sebuah keputusan. Namiun, suasana hati sudah campur aduk nggak karuan, tidak mudah bagi kami untuk membuat sebuah keputusan dalam suasana seperti ini. Tetapi waktun-pun terus berjalan tidak serta-merta berhenti menunggu kami berembug beroleh satu keputusan, pergerakan waktu dirasa semakin cepat berputar, alih-alih lambat bertindak maka kesempatan menemukan titik terang akan sirna.
“Begini deh! Bagaimana kalau kita ke-arah suara gamelan itu?”_”Siapa tahu itu adalah jalan keluar bagi kita”
“Tapi aku kuatir...”
“Ssstt! Kagak pake baper cin! Positif thinking!” sambil menutup mulutnya dengan telunjuk, ia mengingatkan salah seorang diantara mereka.
“Baiklah, terserah aja deh...aku ikut apa kata kalian”
“Kita sepakat yah! Fix nih! Kita ambil arah jalan ketempat dimana suara gamelan itu berbunyi”
Atas kesepakatan bersama, kami melanjutkan perjalanan dengan tujuan menuju suara gamelan itu. Sesampainya di per-tiga-an, kami berhenti untuk memastikan arah yang mana, ke-kiri ataukah ke-kanan?. Telinga benar-benar kami pasang dengan seksama, karena bunyi gamelan itu sayup-sayup terbawa oleh angin dan agak terganggu oleh keramaian dedaunan serta serangga hutan lainnya.untuk lebiih memastikan akhirnya, kami berpencar satu orang berdiri ke-arah kiri, yang satu di kanan dan seorang lagi menuju ke depan. Dengan serius kami memasang pendengaran, dengan menempelkan telapak tangan di kuping, masing-masing mulai mendengarkan apa yang masuk ke dalam pendengaran.