“Nggak juga, tahu dari *bokap, *doi doyan banget nonton wayang golek”
“Kita samperin cin! Cepetan jalannya biar lekas sampai”
Tak berapa lama kami pun tiba dekat rumah yang di maksud. Ternyata tempat ini benar-benar sebuah perkampungan, banyak juga penghuninya. Rumah-rumah panggung pedesaan tempo dulu tertata dengan apik. Suasananya asri tidak seperti di perkotaan yang semrawut tidak karuan. Seperti dugaan awal, di tempat ini sepertinya sedang di adakan pesta, entah pesta apa yang di gelar dan yang jelasnya si empu pesta pastinya orang berada. Dilihat dari rumahnya yang besar dengan arsitektur gaya joglo, berhalaman luas dan kiri-kanan-nya di tumbuhi pohon-pohon besar yang rindang. Di depan rumah tersebut banyak sekali kerumunan masa yang sedang asyik menonton acara wayang golek, gelak tawa terdengar disana manakala lakon punakawan sedang di lakonkan.
“Permisi...Selamat malam”
“Salah salamnya cin!”_”*Sampurasun Para Sawargi sadaya”
“Lampes”
“Maaf kami mengganggu, ini desa apa yah?”
“Gak apa-apa, Parakan Leungit!....*Neng, mau kemana?”
“Kampung Parakan...Kami mau ke Pondok Saladah, masih jauhkah arah kesana?”Sambil mengeryitkan dahi dan menengok kearah rekannya dengan tatapan penuh kebingungan, karena di peta tidak ada nama kampung tersebut.
“Pondok Saladah...Masih jauh dari sini, arahnya lurus ke depan nanti ada perempatan pertama belok kiri...lurus terus ke kanan dari situ kira-kira dua jam perjalanan lagi sampai ke Pondok Saladah”
“_”