Waktu itu kisaran jam 20.00 disaat hujan rintik-rintik menemani kebersamaan kami, setelah ‘ngaso’ sebentar di warung, kami bertiga sepakat untuk tetap melanjutkan perjalanan. Tinggal kami bertiga yang tertinggal dari rombongan, semua karena kemanjaan kami yang terlalu asik mencari tanaman anggrek hingga akhirnya terpisah dari rombongan.
“Semua karena salah kamu Lil!” Sungut salah seorang dari mereka sambil mulutnya sibuk mengulum permen kojek.
“Salah aku gimana?”
“Ia salah kamu semuanya, coba kalo kita ikutin omongan Uchu….kagak kaya begini deh jadinya”….”Mana udah malam dan hujan lagi, bikin sutres aja, iya nggak Chu?”
“Kebiasan! Udah begini saling salahin. Mendingan kita nikmati aja perjalanan ini dan tetap cool…bisa nggak?” jawab Uchu sambil meminta kedua rekannya tetap tenang.
“Tapi Chu….jujur perasaan aku nggak enak banget nih”_ ”Kepikiran terus sama apa yang diceritakan oleh pemilik warung tadi…nih liat bulu kuduk aku merinding cuy!”
“Itu hanya perasaan dik Viona aja, lagian percaya aja sama tahayul”Canda Uchu ke Viona, Kemudian_“Kamu juga Ulil, jalannya agak cepetan jangan manja biar kita cepat sampai atau bertemu dengan rombongan”
“Iya bos! Siap dilaksanakan”Sambil mengangkat kelima jemarinya membentuk sikap hormat ala tentara dan, berlari kecil mendahului kami. Tak lama kemudian, ia kembali ke arah kami dengan wajah pucat pasi dengan suara terbata-bata dan napas terengah.
“Kenapa Lil?....Kaya habis liat ‘Momo’ aja?”
“Li..li..liat disana!” Tunjuknya, sambil mengarahkan jari telunjuk ke belakang.
Sontak saja perjalanan terpaksa kami hentikan manakala tampak seorang pria tegap berdiri sekitar 100 meter-an dari arah kami. Sorot matanya tajam bak serigala yang sedang mengancam mangsanya, tampak merah menyala pantulan bola matanya pertanda ia tidak main-main. Kaki kami terasa kaku, lidah terasa kelut tidak tahu apa yang harus dilakukan. Rasanya mulut ini sudah menjerit meminta tolong namun, tidak ada suara yang keluar dari rongga ini, seakan tertahan oleh cekikan tangan yang kokoh.