Mohon tunggu...
Athiyya Mustainah
Athiyya Mustainah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Menggambar, membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Tidak akan Mengejek Lagi, Bu

17 September 2024   17:50 Diperbarui: 17 September 2024   18:23 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Jah, lihat tu ha. Si Azka di dahinya ada uratnya kan."

Aku berkata pelan pada temanku Azizah. Kami sedang berjalan menuju Masjid disebelah sekolahku. Pagi ini semua murid harus muraja'ah di Pelataran Masjid terlebih dahulu sebelum masuk ke kelas. Kebetulan saat baru tiba, aku bertemu Azizah, teman sekelasku. Jadi kami pergi ke Masjid bersama.

Masjid di sekolahku dua tingkat. Yang paling sering dipakai untuk acara-acara seperti haflah (acara di hari jum'at seperti apel pagi) adalah lantai dua Masjid. Lantai satunya khusus kalau ada ceramah atau hanya untuk shalat. Namun,untuk muraja'ah kami memakai Pelataran Masjid.

Saat sedang berjalan menuju Masjid, aku melihat Azka. Adik kelasku itu juga baru tiba. Memang agak terlihat di dahi Azka ada uratnya. Mungkin karena dia itu terlalu putih. Azka itu juga pendek. Tapi entah kenapa banyak adek kelasku yang suka padanya. Mungkin karena putihnya, juga sifatnya yang kalem. Aku tau itu dari adik sepupuku yang kebetulan sekelas dengannya.

"Iya weh." Jawab Azizah sambil mengamati dahi Azka.

"Dahinya kenapa sih? Sakit mungkin ya?" Tanyaku tanpa rasa bersalah.

Aku tidak menyadari orang yang sedang kubicarakan sudah melewatiku. Dan ternyata dia mengengar kalimat terakhirku itu. Dia berbalik, lalu menyoraki kami.

"Woi!" Soraknya dengan ekspresi marah.

Kami berdua kaget, kemudian berbalik dan mendapati Azka berjalan ke arah kami dengan wajah marahnya yang terlihat jelas. Kami pun langsung kabur secepat yang kami bisa. Kami malewati pelataran Masjid dan malah terus ke lantai dua. Khawatir jikalau anak itu masih mengejar. Namun tidakada tanda-tanda di muncul. Napasku terengah-engah karena penat dan panik. Setelah merasa agak aman, baru aku mengajak Azizah kembali ke pelataran Masjid.

Azizah segera duduk di barisan anak kelas 4-A, aku mengikuti di belakangnya. Sialnya, saat baru duduk Si Pendek itu juga baru tiba. Dia langsung menatapku tajam. Aku buru-buru bersembunyi di belakang temanku yang lain dan pura-pusa sedang asik mengobrol dengannya.

"Antum sih Kia. Harusnya antum nggak ngomongin orang pas orang itu di depan ntum!" Azizah berbisik padaku saat Azka tidak melihat ke arah kami lagi. 

"Ya mau gimana lagi. Dianya yang perasa bet." Kataku tidak mau kalah.

Azizah hanya mendengus dan kembali menghafal. Aku melihat sesekali ke arah Azka. Dia sudah duduk anteng di barisan kelas 3-B dan berbicara dengan temannya. Bocah yang satu itu kalau marah ngeri. Apalagi pas dia mengejar, seperti dikejar hantu saja rasanya. Coba saja para fensnya melihat wajahnya tadi, mungkin penggemarnya akan berkurang beberapa.

Aku kembali meliriknya untuk kesekian kalinya. Ternyata dia juga kebetulan sedang melihat ke arahku, wajahnya langsung berubah marah. Dia mengacungkan tinjunya kepadaku. Aku bergidik ngeri dan lanhsung bersembunyi lagi di belakang Azizah.

Setelah giliranku setoran hafalan, aku jadi sedikit melupakan kejadian tadi. Tapi ada yang aneh. Si Azka saat tidak sengaja menatapku langsung bersikap mengancam. Sedangkan saat aku menyuruh Azizah memeriksa apakah dia masih melihat ke arah kami atau tidak, Azka tidak menunjukkan tanda-tanda marah. Bahkan kembali berbicara asik dengan temannya.

'jangan-jangan Azka mengira hanya aku yang membicarakannya? Berarti dia hanya mendengar kalimat terakhirku dong.' Aku menghela napas kesal. Sepertinya sekarang hari sial untukku. Azizah hanya tertawa melihat muka masamku saat aku mengatakan kemungkinan tersebut setelah aku selesai setoran tadi. 

Ya sudahlah. 'Siapa suruh dia baperan banget. Cowok kok mudah banget marah-marah.' Aku berusaha meyakinkan diri sendiri kalau itu bukan salahku. Tapi Azka yang terlalu baperan. Setidaknya, aku bisa sedikit tenang dengan begitu.

Ngomong-ngomong, di sekolahku kami memang memanggil dengan ana antum. Jadi kami terbiasa memangil begitu. bahkan saat tidak di sekolah pun kadang kami masih memanggil antum pada teman yang lain.

Setelah diperbolehkan Ustadzahku kembali ke kelas, aku langsung pergi dengan Azizah. Berharap tidak bertemu ataupun melihat adek kelasku itu lgi.

"Kia, jangan buru-buru. Nanti ana jatuh gimana?" Azizah protes saat aku menariknya dengan cepat. 

"Dari pada kita ketemu lagi tu anak. Ini mah masih lambat dari pas kita kabur tadi. Ntum jan dramatis bana." Ucapku ketus. Moodku buruk hari ini. 

Azizah masih mengomel di belakangku. Tapi akhirnya tenang kembali setibanya di kelas. Aku segera duduk di kursiku dan membaringkan kepala di atas meja. Kupikir tadi Azka akan langsung mengadukanku pada ustadzahnya. 

Setelh dipikir-pikir lagi, 'apa yang akan dia katakan? Aku bilang dahinya sakit? Itu kan pendapat. Aku tidak bermaksud mengejek kali.' batinku membela apa yang aku lakukan. Tidak masalah bukan, mendukung diri sendiri. Meskipun sebenarnya aku merasa sedikit bersalah. Namun egoku melarangku untuk itu.

Bel tanda masuk berbunyi. Teman-temanku sudah masuk ke kelas. Kebanyakan dari mereka masih sibuk berbicara satu sama lain. teman sebanku-ku datang dan langsung duduk di sebelahku.

"Hai Kia!" Nadia, teman yang sebangku denganku itu menyapaku ramah.

"Hmm.. ya." Balasku dengan malas.

"Antum kenapa? Nggak biasanya nggak semangat gini. Biasanya antum pagi_pagi udah jailin orang terus ketawa kek orang kerasukan." Dia berusaha membuatku kesal agar kembali semangat, tapi aku sedang tidak ingin bercanda dulu.

"Nggak kenapa-napa. Eh Nad, nanti pas jam istirahat kita di kelas aja ya." Pintaku dengan suara pelan.

"Kenapa? Biasanya ntum kalau pas istirahat sukanya main di luar. Sekalian main sama Adin kan" Balasnya sedikit bingung.

"Lagi males aja. Eh tau nggak? Tadi masa Ana di teriakin ma adek kelas. Anak kelas tiga sih." Kataku sambil kembali menegakkan badan. Aku ingin mengadu padanya.

"Kenapa?" Tanya Nadia penasaran.

aku langsung menceritakan kejadian tadi padanya. Tidak peduli Ustadzah sudah masuk dari tadi dan mulai mengajar. Setelah selesai, Nadia malah terkikik mendengarnya.

"Antum kenapa sih Nad? Harusnya ntum kasihan kek ke ana, nyuruh sabar atau apapun." Aku cemberut menatapnya.

"Ya salah ntum sih Kia. Siapa suruh antum ngomong itu di dekat orangnya. Tapi kasihan juga cuma antum yang dia marahi. Eh, nggak jadi deh. Emang ntum juga sih yang ngomong begitu duluan, Azizah cuma mengiyakan. Minta maaf deh antum ke Azka. dari pada dia dendam kesumat pada ntum kan." Nadia menyeringai. Puas melihat muka cemberutku. 

Aku mendengus kesal. Nadia bukannya membelaku malah mengatakan aku salah. Harusnya sebagai teman dia mendukungku. Lagian gimana caranya aku minta maaf ke dia. Aku juga bingung salahku apa. Takut juga karena dia marah banget sama aku. Masalahku malah jadi ribet begini. Huhh..

"Kia! Nadia! Perhatikan kalau guru sedang mengajar! Sedangkan kalau merhatiin guru belum tentu pelajarannya dapat, apalagi kalian ngobrol pas Dzah ngejelasin. Lainkali kalau Dzah lihat kalian ngobrol lagi, berdiri di depan!" Ustadzah memarahi kami berdua. Teman-teman yang lain pada melihat ke arah kami berdua. Malu banget rasanya, aku benar-benar sial hari ini.

setelah teguran itu, aku kembali fokus beberapa saat. Sesekali aku mencatat yang ditulis Ustadzah di papan tulis. Menit ke menit berubah menjadi jam. Bel istirahat pun berbunyi. Akhirnya bebas!

Teman sekelasku sudah keluar dari kelas untuk bermain. Sedangkan aku dan Nadia masih di dalam kelas. Azizah yang duduk di bagian tengah kelas berjalan ke arahku dan Nadia. Tersenyum.

"Kia, Nadia, main ke luar yuk. Ana bosan di kelas terus." Azizah mengajak kami keluar kelas.

"Ana nggak." jawabku singkat.

"Ayolah Kia.. Biar rame kalau ada antum. Ya kan Jah?" Ucap Nadia yang sependapat dengan Azizah.

Aku menghela napas pelan. Dua lawan satu. Sia-sia saja kalau aku mau berdebat dengan mereka. akhirnya aku mengiyakannya saja dan main ke luar. Dan apesnya, Si Pendek Baperan itu juga sedang di luar. Tamat sudah riwayatku sebagai kakak kelas yang dekat dengan adek kelas dan juga ramah. meskipun ramah biar bisa mengusilinya suatu hari nanti sih.

"Woi!" Azka kembali memanggilku seperti saat pertama tadi. tidak adakah cara menyapa yang lebih baik di pikirannya? dasar bocah tidak sopan.

aku sedikit gugup awalnya, tetapi berusaha tetap tenang. Azka sudah jalan menghampiriku. Nadia dan Azizah malah berdiri di belakangku. dasar teman tidak tau diuntung!

"Apa?" Aku menjawab pelan, tapi masih bisa terdengar. Aku berusaha memasang muka tenang saat Azka sudah di depanku.

"Apa yang Kak bilang tadi? Kak ngomongin Azka nak." Dia bertanya cepat, menatapku tajam.

"Kak cuma bilang ntum nampak uratnyo se weh. Nggak maksud ngejek juga." Aku berkata ketus agar tidak terlihat seperti sedang gugup.

"Mana ada orang bilang kayak gitu pas ngeliat orangnya." Azka malah semakin curiga.

Aku mendengus pelan. Itu masalahnya, aku kalau ngomong emang suka lupa tempat. Seperti tadi, yang seharusnya tidak aku katakan di dekat orang lain malah aku ucapkan dengan santai. Tapi aku juga tidak mau minta maaf sekarang. Egoku terlalu berat menerima harus meminta maaf, sedangkan aku benar-benar tidak bermaksud mengejeknya.

"Kak cuma bilang pendapat senyo lah. Ndak ado kak nio ngejek ntum gai do. Jan paraso na lah ntum Ka." Kalimat terakhirku agak terdengar seperti merendahkan, tapi aku tidak peduli lagi. 

"tu ha, Kak ngejek Azka. Nanti Ka bilang ke Ustadzah" Azka menatapku galak. Sepertnya dia makin kesal mendengarku.

"Ih pangadu. Cowok kok sukanya ngaduin orang." Aku benar-benar mengejeknya sekarang. Persetan dengan yang akan terjadi nanti. Nadia dan Azizah masih di belakangku, menonton. Begitu pula dengan temannya Azka.

"Serah Ka lah. Manga Kak ngatur. Sia na Kak?" Dia balas mengejekku.

"Diam se ntum Pendek! Lah nuduh orang tadi, terus bilang kayak gitu. Apalah Anak Mama." Aku mendengus tak mau kalah. Tapi entah kenapa aku ngerasa yang aku lakukan itu benar.

"Kak yang diam! Ngejek kok adek kelas. Penakut. pandai cuma ngejek dekkel. Keluar kelas aja harus ditemanin. Apo tu, Penakut." Dia berkata tidak mau kalah.

Mendengar hal itu, emosiku meningkat. Peduli amat nanti dia bakal ngadu ke ustadzah atau tidak. Temanku dan temannya Azka sudah pergi, tidak mau menyaksikan pertengkaran itu lebih lanjut.

"Kau iyo lo nak. Beko paling-paling ngadu ke Ustadzah, terus ngambek. Anak Mama bana eh, nanti nangis." Aku makin merendahkannya.

Azka menatapku tajam sejenak, lalu berlalu saja. Sepertinya muak berdebat. Tapi aku merasa kalau dia hanya ingin mengabaikan perkataanku. Aku paling nggak suka diabaikan. Akupun berjalan ke arahnya dan menginjak kakinya. Dia tersentak kaget. Setelah beberapa saat baru aku lepas kakinya. Dan hal yang tidak ku duga terjadi. Azka menangis, memegangi kakinya. Aku langsung tersadar dengan yang kulakukan. aku langsung panik.

"Azka! Antum kenapa? Ya Allah.." Ustadzah Vani yang dipanggil oleh salah satu teman Azka mendekati kami.\

Aku membeku di tempat. Panik, tentu saja. salah satu anak kelas tiga bilang kalau itu salahku. Ustadzah langsung menatapku.

"Kia! Astaghfirullah.. Kamu apain Azka? Lihat! Kakinya sampai merah begini. Kia kok gitu? Nggak pernah loh Kia jahatin orang gini" Ustadzah langsung menceramahiku sambil mengobati Azka.

Aku masih mematung sambil perlahan melihat ke kaki Azka. Ya ampun! Benaran merah! Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Perasaan aku menginjaknya pelan. Penyesalan pun perlahan-lahan merasuki diriku. Apa yang aku lakukan? Kenapa aku jadi jahat gini sama orang? Aku takut, benar-benar takut. Aku juga malu. Untungnya murid yang lain sudah masuk ke kelas untuk kembali belajar. Kalau tidak aku akan tambah malu. 

Setelah itu, Azka diantar oleh Dzah Vani kembali ke kelas. Aku tertunduk, lalu berjalan pelan kembali ke kelas. Saat ini Ustadzah lebih menikirkan kaki Azka yang memerah, jadi tidak sempat benar-benar memarahiku.

Saat sudah kembali duduk di kelas, Nadia menatapku. Mungkin kecewa? Marah? Atau khawatir? aku tidak tau.

"Kan sudah ana bilang Kia, antum harusnya minta maaf. Pinggirin ego ntum dulu. Kalau nggak nanti antum makin nyesal di masa depan. Kalau antum takut, nanti ana temani. yang penting antum harus minta maaf dulu." Nadia langsung menceramahiku.

Aku tidak menjawab. Dia benar, aku yang salah. Aku harus minta maaf. Tapi aku terlalu takut. Takut tida dimaafkan, takut diabaikan, takut dimarahi, takut dianggap anak nakal. Aku takut memikirkan kejadian terburuk, yaitu Azka mengadu ke orang tuanya. Aku tidak suka orang tuaku tau masalahku. Ini masalahku, tidak perlu orang tuaku ikut campur. Aku takut akan semua yang akan terjadi nanti. Oh ibu, aku menyesal mengejek orang lain!

Nadia memahami kondisiku, lalu tidak melanjutkan menceramahiku. Dia paham, aku butuh waktu sejenak.

Saat pulang sekolah, ibuku menatapku khawatir karena murung saja.

"Kia? Kamu kenapa nak? Kok murung gitu?" Ibuku bertanya khawatir.

"Nggak ada." Jawabku singkat.

"Bu, kalau Kia misalnya ada orang yang sakit terus Kia ngomongin dia itu namanya ngejek nggak?" Aku bertanya polos pada ibuku. 

Ibuku diam sejenak, lalu menatapku penuh perhatian.

"Tergantung, tapi kalau bisa jangan ngomongin orang begitu. Tidak semua orang akan mengerti Kia ngomongnya hanya untuk berpendapat atau mengejek. Kalau orangnya marah, Kia harus segera minta maaf. Nggak baik loh bertengkar lama-lama." Ibuku menasehatiku.

Aku hanya menatapnya, lalu mengangguk. Setelah mendengar perkataan ibu, aku jadi merasa makin bersalah. Aku buru-buru ke kamar. Aku memang tidak pernah bilang ke orang tuaku kalau aku ada masalah. Mereka tidak ada hubungannya. Biasanya aku hanya bertanya seperti tadi. Perkataan ibu terngiang-ngiang di kepalaku tidak mau hilang. Ibu, Kia harus apa? Kia takut..

Waktu terus berlalu terasa sangat lambat dan menyiksa. Aku tidak kunjung meminta maaf. Aku terlalu takut untuk hal itu. Setiap kali melihat Azka di sekolah, aku langsung bersembunyi. Padahal sudah lewat satu minggu. Nadia berkali-kali menyuruhku minta maaf, aku selalu menjawab "nanti" meskipu tidak tau kapan pastinya.

Hari terus berganti, dan sekarang kembali menjadi hari Sabtu. Saat tiba di sekolah, sekali lagi aku bertemu Azizah. Kami jalan bersama ke kelas. Aku sudah tidak terlalu tertekan hari ini. Aku bisa ngobrol santai dengannya. Saat tiba di kelas, Azizah menatapku sejenak, lalu berkata dengan suara pelan.

"Kia, gimana kalau kita ke tempat Azka. Minta maaf. Ana juga mau minta maaf sekalian. Tenang aja, ada ana kok." Azizah tersenyum meyakinkan.

Aku agak ragu pada awalnya. Masih takut untuk memikirkan hal itu. Untungnya Azka tidak mengadukanku ke orang tuanya.

"Ana takut Jah." Jawabku pelan.

"Nggak apa-apa. Masa Kia yang biasanya semangat terus, nggak tau malu, dan kerjaannya ketawa mulu sekarang malah takut. Nggak lucu tau." Ucapnya bercanda.

Aku menatapnya sejenak, berpikir. Akhirnya aku menyetujuinya. Dari pada aku ketakutan nggak jelas terus.

Azizah menyeringai, lalu kami melakukan aktifitas seperti biasa. Nanti pas istirahat baru aku akan minta maaf. Lebih tepatnya kalau dia udah sendirian. Kalau ada temannya aku takut.

Beberapa jam berlalu, bel istirahat berbunyi. Aku gugup sekali. Saat Azka berjalan menuju WC Masjid, aku dan Azizah mengikutinya. baiklah, aku bertekat untuk meminta maaf padanya saat dia keluar. kami menunggunya beberapa saat, dan akhirnya dia keluar dari WC. Saat melihatku, dia langsung memalingkan wajahnya. Aku tidak tahan lagi, aku jadi kembali takut. Hawanya ngeri. Tapi Azizah memegang lenganku agar tidak kabur. akupun memanggilnya dengan suara mencicit.

"A-azka.." 

Dia tidak menjawab, berniat berlalu saja. Aku memberanikan diri berdiri di depannya. Dia menatapku datar. Hening. Tidak ada yang mau berbicara duluan.

"Apo?" akhirnya dia memecahkan keheningan tadi.

"Itu... Kak mau minta maaf." Aku berkata pelan.

"M-maaf kemarin tu Kak ngejek antum, terus injak kaki ntum. Kak nggak maksud gitu.. Maaf Ka." Aku berkata dengan suara bergetar. 

"Ya, Kak juga Ka. waktu itu kak juga ikutan bilang tentang dahi ntum." Azizah ikut meminta maaf.

Terjadi keheningan sekali lagi. Aku menatap Azka perlahan. Tatapannya tidak dingin lagi. Ya Allah.. Kalau bisa aku mau langsung menangis saat ini juga melihatnya. 

"Yo Kak. Azka minta maaf juga ya sama Akak. Azka langsung nuduh Akak ngejek, terus marah-marah." Azka tersenyum. pertama kalinya dia tersenyum padaku!

Aku mengangguk. saat Azka sudah pergi, aku langsung menangis dan memeluk Azizah. Aku tidak tau kenapa aku malah menangis. Azizah mengusap punggungku pelan.

"Udah ih, jangan cengeng. Perkara dimaafin doang kok nangis." Azizah menggodaku sambil tersenyum jahil.

"Biarin weh sesekali ana gini. Ana lagi bangga tau. Tadi ana habis takut banget, tapi akhirnya dimaafin." Aku mengusap air mataku.

Azizah hanya tertawa mendengarnya. Setelah aku kembali tenang, baru kami kembali ke kelas. Kami melewatkan jam istirahat karenaku. Tapi tak mengapa, dari pada aku dihantui rasa bersalah terus. 

Sekarang aku paham. Kita tidak boleh mengejek orang lain. Apalagi menyakitinya. Itu bukan hanya akan berdampak pada orang yang diejek. Tapi juga berdampak pada pelakunya. Mungkin sebagian ada yang seperti aku, takut dengan kesalahaan yang dibuat. mulai sekarang, aku berjanji bu, tidak akan mengejek orang lain lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun