Nadia memahami kondisiku, lalu tidak melanjutkan menceramahiku. Dia paham, aku butuh waktu sejenak.
Saat pulang sekolah, ibuku menatapku khawatir karena murung saja.
"Kia? Kamu kenapa nak? Kok murung gitu?" Ibuku bertanya khawatir.
"Nggak ada." Jawabku singkat.
"Bu, kalau Kia misalnya ada orang yang sakit terus Kia ngomongin dia itu namanya ngejek nggak?" Aku bertanya polos pada ibuku.Â
Ibuku diam sejenak, lalu menatapku penuh perhatian.
"Tergantung, tapi kalau bisa jangan ngomongin orang begitu. Tidak semua orang akan mengerti Kia ngomongnya hanya untuk berpendapat atau mengejek. Kalau orangnya marah, Kia harus segera minta maaf. Nggak baik loh bertengkar lama-lama." Ibuku menasehatiku.
Aku hanya menatapnya, lalu mengangguk. Setelah mendengar perkataan ibu, aku jadi merasa makin bersalah. Aku buru-buru ke kamar. Aku memang tidak pernah bilang ke orang tuaku kalau aku ada masalah. Mereka tidak ada hubungannya. Biasanya aku hanya bertanya seperti tadi. Perkataan ibu terngiang-ngiang di kepalaku tidak mau hilang. Ibu, Kia harus apa? Kia takut..
Waktu terus berlalu terasa sangat lambat dan menyiksa. Aku tidak kunjung meminta maaf. Aku terlalu takut untuk hal itu. Setiap kali melihat Azka di sekolah, aku langsung bersembunyi. Padahal sudah lewat satu minggu. Nadia berkali-kali menyuruhku minta maaf, aku selalu menjawab "nanti" meskipu tidak tau kapan pastinya.
Hari terus berganti, dan sekarang kembali menjadi hari Sabtu. Saat tiba di sekolah, sekali lagi aku bertemu Azizah. Kami jalan bersama ke kelas. Aku sudah tidak terlalu tertekan hari ini. Aku bisa ngobrol santai dengannya. Saat tiba di kelas, Azizah menatapku sejenak, lalu berkata dengan suara pelan.
"Kia, gimana kalau kita ke tempat Azka. Minta maaf. Ana juga mau minta maaf sekalian. Tenang aja, ada ana kok." Azizah tersenyum meyakinkan.