"Apa?" Aku menjawab pelan, tapi masih bisa terdengar. Aku berusaha memasang muka tenang saat Azka sudah di depanku.
"Apa yang Kak bilang tadi? Kak ngomongin Azka nak." Dia bertanya cepat, menatapku tajam.
"Kak cuma bilang ntum nampak uratnyo se weh. Nggak maksud ngejek juga." Aku berkata ketus agar tidak terlihat seperti sedang gugup.
"Mana ada orang bilang kayak gitu pas ngeliat orangnya." Azka malah semakin curiga.
Aku mendengus pelan. Itu masalahnya, aku kalau ngomong emang suka lupa tempat. Seperti tadi, yang seharusnya tidak aku katakan di dekat orang lain malah aku ucapkan dengan santai. Tapi aku juga tidak mau minta maaf sekarang. Egoku terlalu berat menerima harus meminta maaf, sedangkan aku benar-benar tidak bermaksud mengejeknya.
"Kak cuma bilang pendapat senyo lah. Ndak ado kak nio ngejek ntum gai do. Jan paraso na lah ntum Ka." Kalimat terakhirku agak terdengar seperti merendahkan, tapi aku tidak peduli lagi.Â
"tu ha, Kak ngejek Azka. Nanti Ka bilang ke Ustadzah" Azka menatapku galak. Sepertnya dia makin kesal mendengarku.
"Ih pangadu. Cowok kok sukanya ngaduin orang." Aku benar-benar mengejeknya sekarang. Persetan dengan yang akan terjadi nanti. Nadia dan Azizah masih di belakangku, menonton. Begitu pula dengan temannya Azka.
"Serah Ka lah. Manga Kak ngatur. Sia na Kak?" Dia balas mengejekku.
"Diam se ntum Pendek! Lah nuduh orang tadi, terus bilang kayak gitu. Apalah Anak Mama." Aku mendengus tak mau kalah. Tapi entah kenapa aku ngerasa yang aku lakukan itu benar.
"Kak yang diam! Ngejek kok adek kelas. Penakut. pandai cuma ngejek dekkel. Keluar kelas aja harus ditemanin. Apo tu, Penakut." Dia berkata tidak mau kalah.