Setelh dipikir-pikir lagi, 'apa yang akan dia katakan? Aku bilang dahinya sakit? Itu kan pendapat. Aku tidak bermaksud mengejek kali.' batinku membela apa yang aku lakukan. Tidak masalah bukan, mendukung diri sendiri. Meskipun sebenarnya aku merasa sedikit bersalah. Namun egoku melarangku untuk itu.
Bel tanda masuk berbunyi. Teman-temanku sudah masuk ke kelas. Kebanyakan dari mereka masih sibuk berbicara satu sama lain. teman sebanku-ku datang dan langsung duduk di sebelahku.
"Hai Kia!" Nadia, teman yang sebangku denganku itu menyapaku ramah.
"Hmm.. ya." Balasku dengan malas.
"Antum kenapa? Nggak biasanya nggak semangat gini. Biasanya antum pagi_pagi udah jailin orang terus ketawa kek orang kerasukan." Dia berusaha membuatku kesal agar kembali semangat, tapi aku sedang tidak ingin bercanda dulu.
"Nggak kenapa-napa. Eh Nad, nanti pas jam istirahat kita di kelas aja ya." Pintaku dengan suara pelan.
"Kenapa? Biasanya ntum kalau pas istirahat sukanya main di luar. Sekalian main sama Adin kan" Balasnya sedikit bingung.
"Lagi males aja. Eh tau nggak? Tadi masa Ana di teriakin ma adek kelas. Anak kelas tiga sih." Kataku sambil kembali menegakkan badan. Aku ingin mengadu padanya.
"Kenapa?" Tanya Nadia penasaran.
aku langsung menceritakan kejadian tadi padanya. Tidak peduli Ustadzah sudah masuk dari tadi dan mulai mengajar. Setelah selesai, Nadia malah terkikik mendengarnya.
"Antum kenapa sih Nad? Harusnya ntum kasihan kek ke ana, nyuruh sabar atau apapun." Aku cemberut menatapnya.