Basyir tertawa, "Hei! Aku memang pengkhianat, Bujang. Sejak hari pertama aku tiba di rumah ini, aku sudah menjadi pengkhianat. Aku selalu membanggakan suku Bedouin, leluhur orang tuaku (hlm 290)
Begitulah Tere Liye menggambarkan kepribadian dari Basyir yang penuh dengan tipu muslihat untuk menanamkan kepercayaan lalu menghancurkan segalanya.
   Secara keseluruhan novel ini mengambil dua lokasi utama yaitu, rumah Samad di pedalaman hutan Bukit Barisan dan markas Keluarga Tong sebagai setting cerita. Sebagai pembuka novel, kisah disajikan dengan mengambil latar perkampungan di pedalaman lereng Bukit Barisan. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.
Kampung kami ini sebenarnya tidaklah seperti desa yang kalian kenal. Kami menyebutnya talang. Hanya ada dua atau tiga puluh rumah panggung dari kayu, letaknya berjauhan dipisahkan kebun atau halaman. Jika hendak memanggil tetangga, kalian bisa membuka jendela Iantas berteriak sekencang mungkin (hlm 3).
Kutipan tersebut merupakan narasi pengarang secara langsung mengenai kampung halaman si tokoh Bujang. Terlihat jelas bahwa kehidupan di kampung masih sangat terjaga dan lestari dengan keberadaan kebun-kebun masyarakat Di bagian akhir kutipan, penulis menghadirkan informasi yang menjelaskan alasan warga Sumatra mempunyai intonasi keras dan kasar. Tidak hanya itu, cerita novel ini juga mengambil latar di hutan rimba Bukit Barisan, seperti pada kutipan berikut.
Aku melangkah mantap mengikuti rombongan. Mulai mendaki lereng, melewatijalanan setapak, menuju jantung rimba Sumatra (hlm 8). Hujan deras membuat darah mengalir ke mana-mana. Lampu senter yang dikenakan pemburu padam sejak tadi. Hanya sesekali cahaya petir menunjukkan bekas pertempuran. Semak-belukar tercerabut. Batang dan dahan kayu patah. Aku tersengal, mencabut tombakku dari kepala babi (hlm 16).
Melalui kutipan tersebut terlihat jelas betapa sengitnya pertarungan yang terjadi antara pemburu dan babi hutan. Di kutipan tersebut juga mengindikasikan bahwa pemburuan sengaja dilaksanakan pada malam hari agar hewan buruan mudah tertipu oleh penyamaran pemburu. Selain itu, juga terlihat jelas perbedaan senjata pemburu asal kota yang menggunakan senapan militer dibandingkan dengan pemburu asal talang yang hanya menggunakan senjata tradisional berupa tombak untuk memburu babi hutan. Sebagai lokasi utama kedua yang digunakan sebagai latar cerita adalah markas Keluarga Tong.
Dua puluh tahun lalu, gerimis turun saat empat mobil jip melintasi gerbang selamat datang Kota. Pukul sebelas malam. Wajahku menempel di jendela kaca, menatap lamat-lamat lampu jalanan uram yang dibungkus tetes hujan (hlm 38).
Meja makan menjadi ramai oleh tawa. Kami sedang sarapan. Di setiap sayap bangunan, di lantai bawah ada meja panjang dengan kursi-kursi. Setiap pagi, meja itu diisi banyak makanan lezat oleh pelayan, juga minuman sejenis sirup. Penghuni bangunan berkumpul, menghabiskan makanan sambil bercakap-cakap ringan. Aku berkenalan dengan tiga puluh orang penghuni mess sayap kiri (hlm 42).
Kedua kutipan tersebut menggambarkan perbedaan yang dirasakan Bujang antara di desanya dulu dengan di kota. Sebagai sebuah keluarga besar dalam Keluarga Tong, mereka selalu menampilkan hal-hal yang bercirikan kebersamaan dan keakraban seperti pada kutipan yang mengilustrasikan situasi ketika sarapan bersama-sama.
    Tere Liye dalam menggambarkan kisah dari tokoh-tokohnya menggunakan sudut padang orang pertama sebagai pelaku utama. Hal ini dibuktikan dari kutipan berikut.