Darwis atau lebih dikenal dengan nama penanya sebagai Tere Liye berasal dari lingkungan keluarga seorang petani. Ia tumbuh menjadi pribadi yang rendah hati dan sederhana. Dengan sosok yang tidak banyak tingkah, Ia berhasil menyelesaikan pendidikan di SDN 2 Kikim Timur dan SMPN 2 Kikim, Sumatera Selatan. Sementara itu, jenjang SMAnya dihabiskan di SMAN 9 Bandar Lampung.Â
  Saat melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, Darwis memberanikan diri merantau ke tanah Jawa dan berhasil menamatkan kuliahya di Universitas Indonesia lewat Fakultas Ekonomi. Mulai berkarya sejak tahun 2005, Tere Liye telah berhasil merebut hati para pembacanya lewat ide dan alur cerita yang terbilang unik. Tema yang diangkat di tiap novel terbilang mencakup semua aspek dalam ruang lingkup kehidupan, mulai dari politik, agama, ekonomi, maupun fiksi. Lewat riwayat pendidikannya yang mantap serta bekal pengalaman yang luas, Dawis telah banyak menghasilkan karya-karya yang sangat fenomenal.
  Sebagai lulusan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Darwis diketahui berprofesi sebagai akuntan di salah satu kantor. Darwis mengakui bahwa menulis adalah hobi bagi dirinya. Tidak heran jika novel-novel baru karya Tere Liye masih mampu bersaing di dunia sastra. Karya novel Tere Liye terbilang cukup banyak bahkan telah menembus 21 novel. Dari sekian novel, beberapa diantaranya telah berhasil diangkat ke layar lebar yang tentu saja menarik minat masyarakat Indonesia.Â
  Adapun karya-karya Tere Liye diantaranya, Hafalan Shalat Delisa, Mimpi-Mimpi Si Patah Hati, Moga Bunda Disayang Allah (2005), Pulang (2005), The Gogons Series: James & Incridible Incodents, Rembulan Tenggelam di Wajahmu, Cintaku Antara Jakarta dan Kualal Lumpur (2006), Sang Penandai (2007), Senja Bersama Rosie, Bidadari-Bidadari Surga (2008), Burlian (2009), Pukat, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (2010), Eliana, Serial Anak-Anak Mamak, Ayahku (Bukan) Pembohong (2011), Bumi (2014), Matahari (2016), About Love (2017),  dan masih banyak lagi yang lain.
  Novel yang diliris pada tahun 2005 ini mengisahkan perjalanan hidup seorang anak dari pedalaman Sumatra yang mempunyai pekerjaan dalam dunia shadow economy. Pekerjaan seperti ini mengendalikan perusahaan-perusahaan besar dan membiarkan mereka mengembangkan usahanya dan secara otomatis juga mendapatkan bagian.
Beberapa pakar ekonomi menaksir nilai shadow economy setara 18-20% GDP dunia. Angka sebenarnya, dua kali lipat dari itu. Di negeri ini saja, dengan total produk domestik bruto per tahun 800 miliar dolar, maka nilai transaksi shadow economy lebih dari 3 miliar dolar. Setara dengan 4.000 triliun rupiah, 40% GDP. Anda pasti pernah melihat majalah ini.
Terlihat jelas bahwa kutipan tersebut memberikan penjelasan yang detail mengenai shadow economy. Penjelasan yang detail tentunya tidak hadir begitu saja tanpa ada pengalaman tersendiri terkait hal tersebut. Ternyata, seperti yang dilansir dari beberapa artikel mengenai biografi Darwis, diketahui bahwa Darwis adalah seorang akuntan professional pada salah satu perusahaan ternama. Selain itu, Darwis juga mempunyai latar belakang sebagai anak seorang petani di pedalaman Sumatra. Hal tersebut berarti penulis mencoba merepresentasikan dirinya dalam tokoh Bujang.
   Salah satu novelnya yang telah berhasil mendapat hati para pembacanya yaitu Pulang. Sama halnya dengan berbagai novel Tere Liye sebelumnya, kali ini Tere Liye kembali mengangkat hal yang baru dan tabu di masyarakat awam. Dalam novel ini, Tere Liye mengangkat tema perjuangan dan pertarungan. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.
Aku bersiap melakukan pertarungan hebat yang akan dikenang. Hari saat aku menyadari warisan leluhurku bahwa aku tidak mengenal lagi definisi rasa takut (hlm 20). Aku menggeram. Aku tidak akan lari dari pertarungan. Jika malam ini aku ditakdirkan mati, maka aku akan mati dengan segala kehormatan. Pedangku tetap teracung ke depan memberikan perlawanan dengan sisa tenaga terakhir (hlm 297).
Dari kutipan di atas, tergambar jelas mengenai pengalaman hidup si tokoh yang bersiap untuk menjemput pertarungan dahsyat. Di kutipan berikutnya, tokoh diceritakan berusaha untuk tetap bertahan sekalipun tidak ada lagi kekuatan untuk menghalau serangan.
   Dalam novel Pulang, Tere Liye mengisahkan perjalanan hidup tokoh Bujang dengan menggunakan alur campuran. Tere Liye mengawali kisah novelnya dengan kemelut dahsyat yang dialami tokoh Bujang. Hal ini terlihat seperti kutipan berikut.
Malam itu, dadaku telah dibelah. Rasa takut telah dikeluarkan dari sana. Aku tidak takut. Aku bersiap melakukan pertarungan hebat yang akan dikenang. Hari saat aku menyadari warisan leluhurku yang menakjubkan bahwa aku tidak mengenal lagi definisi rasa takut (hlm 20).
Dari kutipan tersebut, penulis mengisahkan peristiwa yang mengawali konflik dari tokoh Bujang. Dikisahkan bahwa Bujang yang saat itu masih berusia 15 tahun ikut dengan kelompok pemburu babi hutan dan berhasil mengalahkan sang raja babi hutan Bukit Barisan. Sejak saat itu, Bujang kehilangan rasa takutnya.
Keseruan novel terus berlanjut, kini penulis menceritakan kisah Bujang pada 20 tahun kemudian. Pada bagian ini, Bujang telah menjelma sebagai pria dewasa yang gagah, berpendidikan, berwibawa, kuat, kokoh, dan mantap. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.
Dua puluh tahun melesat cepat."Hari ini aku menemui Anda hanya untuk menyampaikan pesan. Jika Bapak Calon Presiden terpilih menjadi presiden, biarkan semua berjalan seperti biasa. Jangan mengganggu kami, maka kami tidak akan mengganggu pemerintahan. Tapi sekali saja pemerintahan bertingkah, kami bisa menjatuhkan rezim mana pun. Tidak peduli seberapa kuat dia. Anda pasti tahu kejadian enam belas tahun lalu, bukan?Runtuhnya kekuasaan seseorang yang telah berkuasa tiga puluh tahun lebih di negeri ini." tegas Bujang (hlm 27).
Kutipan tersebut mengisyaratkan bahwa Bujang telah menjadi orang penting dalam Keluarga Tong. Tugas-tugas penting dan berbahaya sudah menjadi tugasnya.
  Setelah itu, alur kembali bergulir ke masa lalu. Penulis kembali menceritakan Bujang ketika pertama kali tiba di markas Keluarga Tong. Saat itu adalah awal perjalanan baru bagi Bujang untuk menyusuri kehidupan dan menemukan jati diri yang baru. Di bagian ini, penulis kembali memunculkan konflik batin pada tokoh Bujang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
"...jelas tidak ada pekerjaan memukul orang Iain, memeras, mengamankan truk-truk, menyuap petugas, atau memeriksa kapal merapat. Tidak ada untukku. Pagi pertama di rumah Keluarga Tong aku justru berkutat bersama Frans dengan tumpukan kertas yang sangat menyebalkan (hlm 49)
Dalam kutipan tersebut penulis mencoba menjelaskan bahwa tokoh Bujang mengalami kekecawaan antara apa yang dia harapkan dan yang terjadi pada dirinya. Namun, dari bagian ini penulis memulai membuka jalan hidup baru yang akan ditempuh nantinya.
  Kisah berlanjut dengan menimbulkan jarak dan ketegangan antara Tauke Besar dengan Bujang. Sejak Tauke Besar mengetahui kecerdasan yang dimiliki oleh Bujang dan mempersiapkannya untuk menempuh pendididikan yang layak, Bujang justru memberikan penolakan. Namun, Tauke Besar terus membujuk Bujang hingga pada akhirnya Tauke Besar memberikan tantangan kepada Bujang. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.
"Baiklah, BUJANG! Aku tahu, memukuli orang lain itu lebih seru, lebih menantang. Malam ini, kau ikut denganku, akan kuberikan apa yang kau mau. Kau dengar, hah?"Â gumam Tauke Besar (hlm 56).
Kutipan tersebut menggambarkan kekesalan dari Tauke Besar terhadap Bujang yang terus menolak keinginannya. Namun, ketegangan ini mencapai akhirnya ketika Bujang ternyata tidak berhasil mengalahkan tantangan dari Tauke Besar.
  Sejak saat itu, hubungan Bujang dan Tauke Besar membaik. Bujang pun mulai bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan pendidikannya hingga meraih gelar sarjana ekonomi dari perguruan tinggi Amerika. Disamping menuntut ilmu, Tauke juga memberikan kebebasan kepada Bujang untuk tetap berlatih fisik dari orang-orang hebat seperti kepala tukang pukul Keluarga Tong, Guru Bushi, hingga Salonga. Selama berlatih, Bujang sering sekali mendapat celaan dari guru-gurunya. Hal ini terlihat seperti kutipan berikut.
"Bodoh!" Salonga memakiku
"Pistol itu hanya benda mati, Bujang! Tidak bisa berpikir dan tidak bisa menembak sendiri. Yang berpikir adalah orang yang memegangnya. Tidak ada yang menyuruhmu menembak botol itu langsung. Aku hanya memintamu untuk menjatuhkannya (hlm 174).
Kutipan di atas menunjukkan betapa sulitnya situasi yang dihadapi Bujang terhadap gurunya. Namun, semua itu tidak menjadi masalah Bujang yang sedari awal telah berkomitmen dan berambisi penuh.
  Bertahun-tahun, kisah kembali bercerita ke 20 tahun kemudian. Peralihan masa ini terjadi meskipun penulis tidak memberikan keterangan yang jelas. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.
Waktu melesat dengan cepat. Telah setahun aku tinggal di Keluarga Tong. Aku sudah mulai melupakan lereng rimba Sumatra (hlm 106). Pukul tujuh pagi saat pintu kamarku diketuk aku melangkah turun dari tempat tidur, membuka tirai jendela sebentar, membiarkan cahaya pagi melewati kaca. Hamparan Kota Hongkong langsung menyambutku melalui jendela kamar. Pagi yang mendung,dengan awan hitam menggelayut di langit. Tadi malam, sepulang dari jamuan makan malam Master Dragon, aku meluncur ke salah satu hotel bintang lima untuk bermalam (hlm 107).
Kutipan di atas memberikan keterangan peralihan masa ke 20 tahun kemudian secara implisit. Penulis tidak serta merta mengatakan bahwa kisah kembali berpindah ke 20 tahun kemudian tetapi penulis justru memberikan situasi yang kontras di kedua kutipan. Pada kutipan pertama kisah Bujang masih berkisah sekitar tahun pertama di Keluarga Tong. Adapun di kutipan selanjutnya penulis menyajikan situasi ketika Bujang telah mencapai kejayaanya dengan keberadaanya di hotel ternama Kota Hongkong
  Saat ini, kekuasaan Keluarga Tong telah mampu menguasai Provinsi. Berbagai masalah-masalah mulai bermuculan sejak bagian ini. Mulai dari pencurian barang berharga keluarga Tong oleh Keluarga Lin dari Makau. Tapi, seperti masalah-masalah yang lain, Bujang dengan pengetahuan akademis yang tinggi serta kemampuan ninja dan seni tembak yang dimiliknya mampu membantu merebut kembali dengan cara yang brutal, licik, hebat, dan menakjubkan. Hal ini terbukti dari kutipan berikut.
"Cukup!" Aku mendesis, tanganku cepat sekali meraih kartu nama di saku kemeja. Lantas dengan keahlian seorang ninja terlatih, kartu nama itu telah kulemparkan ke leher Tuan Lin yang sedang terkekeh mendongak. Kartu nama itu secara kasat mata hanyalah kertas, tapi tukang pukul yang memeriksaku sebelumnya tertipu. Di dalam kartu nama itu, pipih dengan tebal hanya sepersekian milimeter, adalah logam titanium (hlm 123).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Bujang telah menjelma menjadi seorang pemuda dengan segala bakat hebat yang ada di dirinya. Kutipan di atas juga merupakan salah satu bukti bahwa Bujang mampu mempertahankan kejayaaan serta kekuasaan dari Keluarga Tong dengan seorang diri saja.
  Di tengah-tengah cerita, penulis kembali mengaduk emosi pembaca ketika Bujang tiba-tiba mendapat kabar buruk seusai kesuksesannya dalam pendidikan dan pekerjaan. Kabar duka akan kematian Mamak dan Bapaknya yang datang silih berganti sempat membuat semangatnya hilang. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.
 "Aku beringsut, meringkuk di pojok kasur. Mamak telah pergi? Aku memelut lutut. Tergugu. Air mataku mengalir membasahi pipi. Seluruh kebahagiaanku 24 jam terakhir seperti menghilang begitu saja (hlm 192).
    Di bagian akhir novel, penulis memunculkan satu kejutan terakhir yang tentu saja mengacaukan perasaan pembaca. Sebagai puncak dari akhir novel ini, penulis memunculkan jati diri sebenarnya dari orang-orang terdekat Tauke Besar. Bujang tetap teguh pada kesetiannya dengan Tauke Besar adapun Basyir ternyata berkhianat. Di bab-bab terakhir novel, Bujang bersama Parwez, Tauke Besar, dan satu tukang pukul terjebak dalam kamar Tauke Besar sesuai dengan rencana Basyir. Di detik-detik terakhir sebelum Basyir melancarkan serangannya pada Bujang, Tauke Besar berhasil menyelamatkan diri bersama dengan Bujang dan Parwez lewat jalur rahasia. Hal ini bisa dillihat dari kutipan berikut.
Saat itulah, dengan sisa tenaga, Tauke Besar mengacungkan pistol ke arah Basyir. Perhatian Basyir sempat teralihkan, dan pada saat itu juga tubuhku tergeletak di kasur Tauke. Selang bebebrapa detik, Tauke langsung menekan tombol rahasia yang berhasil membawa kasur Tauke Besar keluar dari kamar itu (hlm 297).
Pada kutipan tersebut penulis berusaha menceritakan bahwa markas Keluarga Tong telah berada di bawah kekuasaan Basyir. Tauke Besar pun tidak berdaya seperti sebelumnya yang dalam hal ini menggunakan cara rahasia terakhir untuk keluar dari serangan Basyir.
    Di bagian akhir cerita, penulis menggambarkan tokoh Bujang yang berhasil meraih cahaya dalam hidupnya sebagai penyelasaian dari konflik yang dialaminya. Merasa sedih atas kepergian Tauke Besar, Bujang kembali berputus asa. Sebagai akhir cerita, Bujang berhasil bangkit dengan nasihat-nasihat yang diperoleh dari guru-gurunya untuk merebut kembali kekuasaan Keluarga Tong. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.
Agam, kembalilah. Pulanglah kepada Tuhanmu. Aku tahu kau tidak akan pernah menyentuh apa pun yang diharamkan agama sesuai dengan pesan mamakmu. Â Hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu (hlm 340). Â Kau punya kesempatan untuk menafsirkan ulang rasa takutmu." Nasihat tuan Imam (hlm 341)
Kutipan tersebut merupakan nasihat yang begitu bermakna bagi Bujang. Selepas itu, Bujang menyadari tanggung jawabnya yang tak seharusnya memendam sedih berlarut-larut melainkan memenuhi tanggung jawabnya kepada Tauke Besar untuk mempertahankan keluarga Tong.
   Sebagai penutup cerita, penulis mengisahkan bahwa Bujang berhasil mengambil alih Keluarga Tong dan menjadi Tauke Besar baru. Dengan berbagai macam pengalaman hidup sebelumnya, Bujang telah pulang dengan jati diri yang baru. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.
"Mamak, Bujang pulang hari ini. Tidak hanya pulang bersimpuh di pusaranmu, tapi juga telah pulang kepada panggilan Tuhan. Sungguh, sejauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang" (hlm 400).
Begitulah Tere Liye mengakhiri kisah novel Pulang dengan perasaan yang mendamaikan fisik dan batin. Perasaan yang membuat Bujang pulang ke hakikat yang sesungguhnya, pulang dari kegelapan yang menyesatkan selama ini dan kembali memiliki rasa takut terhadap sang penguasa.
   Agam atau lebih dikenal dengan nama Bujang dan Si Babi Hutan dalam novel Pulang adalah seorang putra dari Samad dan Midah. Dalam novel, Bujang digambarkan sebagai seorang pemuda dengan pribadi yang pemberani dan punya rasa ingin tahu yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Aku mencengkeram tombak pemberian Bapak. Aku berdiri dengan kaki kokoh, menatap ke depan, dan bersitatap dengan monster mengerikan itu. Aku tidak punya pilihan. Lari sia-sia saja karena gerakan babi ini cepat sekali. Aku juga tidak akan meninggalkan begitu saja yang lain dalam keadaan terluka. Maka jika aku harus mati, aku akan memberikan perlawanan terbaik (hlm 19).
Kutipan tersebut mengambarkan betapa Bujang yang masih berusia 15 tahun namun sudah berani menghadapi hewan buas itu dengan seorang diri. Selain itu, dari kutipan tersebut kita bisa melihat bahwa Bujang juga termasuk orang yang berjuang dengan totalitas dan tidak egois.
   Keberanian dan kekuatan yang ada dalam diri Bujang merupakan warisan dari kedua orang tuanya yaitu Samad dan Midah. Samad ialah pria lumpuh keturunan jagal nomor satu Keluarga Tong yang tidak pernah mengungkapkan kasih sayangnya kepada Bujang dan selalu melarang anaknya untuk belajar agama.
Bapak akan berteriak kalap jika tahu aku masih belajar hal-hal dari Tuanku Imam (hlm 48).
Begitulah Bujang menjawab pertanyaan dari Frans ketika hendak ditanyakan untuk belajar.
   Adapun Midah ialah keturunan Tuanku Imam dari lingkungan pondok yang selalu mengajarkan nilai-nilai kesucian dalam diri Bujang. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.
Mamak tahu.... Tapi, tapi apa pun yang akan kau lakukan di sana, berjanjilah Bujang, kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan menyentuh tuak dan segala minuman haram (hlm 24).
  Setelah kepergiannya ke Ibu Kota, Ia kemudian tinggal bersama dengan Tauke Besar. Tauke Besar adalah sahabat dari Samad ketika masih bekerja sebagai tukang pukul Keluarga Tong. Ia adalah orang yang tegas, berambisi tinggi, dan cekatan. Hal itu digambarkan dalam kutipan beikut.
Semua kataku adalah perintah. Lakukan tugas dengan baik, saling menghormati, dan respeks dengan penghuni rumah lain, maka kau tidak akan mendapat masalah
Kutipan tersebut menunjukkan bertapa berkuasanya seorang Tauke. Meskipun demikian, Ia tetap menyayangi dan peduli pada Bujang dengan memberikan pendidikan serta pelatihan terbaik untuk Bujang.
   Dalam novel ini, penulis juga memunculkan tokoh lain yang menjadi teman Bujang di markas Keluarga Tong, yaitu Basyir. Basyir atau dalam novel ini digambarkan sebagai seorang keturunan dari Suku Bedouin yang menjadi tukang pukul andalan keluarga Tong. Tidak ada yang berani untuk menantangnya. Meskipun demikian, Ia juga dilukiskan sebagai orang yang cerdik dan lihai dalam menutupi identitasnya demi mendapatkan kepercayaan dari Keluarga Tong.
Basyir tertawa, "Hei! Aku memang pengkhianat, Bujang. Sejak hari pertama aku tiba di rumah ini, aku sudah menjadi pengkhianat. Aku selalu membanggakan suku Bedouin, leluhur orang tuaku (hlm 290)
Begitulah Tere Liye menggambarkan kepribadian dari Basyir yang penuh dengan tipu muslihat untuk menanamkan kepercayaan lalu menghancurkan segalanya.
   Secara keseluruhan novel ini mengambil dua lokasi utama yaitu, rumah Samad di pedalaman hutan Bukit Barisan dan markas Keluarga Tong sebagai setting cerita. Sebagai pembuka novel, kisah disajikan dengan mengambil latar perkampungan di pedalaman lereng Bukit Barisan. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.
Kampung kami ini sebenarnya tidaklah seperti desa yang kalian kenal. Kami menyebutnya talang. Hanya ada dua atau tiga puluh rumah panggung dari kayu, letaknya berjauhan dipisahkan kebun atau halaman. Jika hendak memanggil tetangga, kalian bisa membuka jendela Iantas berteriak sekencang mungkin (hlm 3).
Kutipan tersebut merupakan narasi pengarang secara langsung mengenai kampung halaman si tokoh Bujang. Terlihat jelas bahwa kehidupan di kampung masih sangat terjaga dan lestari dengan keberadaan kebun-kebun masyarakat Di bagian akhir kutipan, penulis menghadirkan informasi yang menjelaskan alasan warga Sumatra mempunyai intonasi keras dan kasar. Tidak hanya itu, cerita novel ini juga mengambil latar di hutan rimba Bukit Barisan, seperti pada kutipan berikut.
Aku melangkah mantap mengikuti rombongan. Mulai mendaki lereng, melewatijalanan setapak, menuju jantung rimba Sumatra (hlm 8). Hujan deras membuat darah mengalir ke mana-mana. Lampu senter yang dikenakan pemburu padam sejak tadi. Hanya sesekali cahaya petir menunjukkan bekas pertempuran. Semak-belukar tercerabut. Batang dan dahan kayu patah. Aku tersengal, mencabut tombakku dari kepala babi (hlm 16).
Melalui kutipan tersebut terlihat jelas betapa sengitnya pertarungan yang terjadi antara pemburu dan babi hutan. Di kutipan tersebut juga mengindikasikan bahwa pemburuan sengaja dilaksanakan pada malam hari agar hewan buruan mudah tertipu oleh penyamaran pemburu. Selain itu, juga terlihat jelas perbedaan senjata pemburu asal kota yang menggunakan senapan militer dibandingkan dengan pemburu asal talang yang hanya menggunakan senjata tradisional berupa tombak untuk memburu babi hutan. Sebagai lokasi utama kedua yang digunakan sebagai latar cerita adalah markas Keluarga Tong.
Dua puluh tahun lalu, gerimis turun saat empat mobil jip melintasi gerbang selamat datang Kota. Pukul sebelas malam. Wajahku menempel di jendela kaca, menatap lamat-lamat lampu jalanan uram yang dibungkus tetes hujan (hlm 38).
Meja makan menjadi ramai oleh tawa. Kami sedang sarapan. Di setiap sayap bangunan, di lantai bawah ada meja panjang dengan kursi-kursi. Setiap pagi, meja itu diisi banyak makanan lezat oleh pelayan, juga minuman sejenis sirup. Penghuni bangunan berkumpul, menghabiskan makanan sambil bercakap-cakap ringan. Aku berkenalan dengan tiga puluh orang penghuni mess sayap kiri (hlm 42).
Kedua kutipan tersebut menggambarkan perbedaan yang dirasakan Bujang antara di desanya dulu dengan di kota. Sebagai sebuah keluarga besar dalam Keluarga Tong, mereka selalu menampilkan hal-hal yang bercirikan kebersamaan dan keakraban seperti pada kutipan yang mengilustrasikan situasi ketika sarapan bersama-sama.
    Tere Liye dalam menggambarkan kisah dari tokoh-tokohnya menggunakan sudut padang orang pertama sebagai pelaku utama. Hal ini dibuktikan dari kutipan berikut.
Malam itu, di tengah hujan lebat, di dasar rimba Sumatra yang berselimut lumut nan gelap, sesosok monster mengerikan telah mengambil rasa takutku. Tatapan matanya yang merah, dengus napasnya yang memburu, dan taringnya yang kemilau saat ditimpa cahaya petir telah membelah dadaku, mengeluarkan rasa gentar. Sejak saat itu, dua puluh tahun berlalu, aku tidak mengenal lagi definisi rasa takut (hlm 1).
Aku mengenal sekali suara itu. Juga sapaan khasnya. Aku segera menoleh. Di depan pintu kamarku, Basyir berkacak pinggang, menatapku (hlm 232).
   Secara keseluruhan novel yang mempunyai tebal hingga 400 halaman ini mengembangkan cerita tokohnya dengan sudut pandang aku yang mengacu pada diri Bujang. Hal ini berarti narasi-narasi yang disampaikan terbatas, yaitu mengacu pada pengalaman, perasaan, pikiran, dan penglihatan oleh tokoh pencerita, dalam hal ini Bujang. Meskipun demikian, Tere Liye mengalami sedikit kekurangan dalam konsistensi penggunaan sudut pandangnya. Pada salah satu bagian dari novel ini, ada narasi yang disampaikan oleh Bujang padahal sebenarnya Bujang tidak sedang berada di tempat itu, misalnya pada contoh berikut.
"Aku tahu pemuda itu, sedikit. Dia satu kampus denganku di Amerika, menyelesaikan dua master sekaligus empat short-course dalam waktu singkat. Dia lulus dengan nilai sempurna. Tidak ada yang tahu latar belakang keluarganya (hlm 35).
Dialog tersebut merupakan interaksi antara calon presiden dan penasehat hukumya sedangkan Bujang justru diceritakan telah meninggalkan tempat itu.
   Setelah membaca keseluruhan novel Pulang karya Tere Liye, ada banyak sekali pelajaran hidup yang dapat diperoleh yaitu setiap orang tentu pernah melakukan kesalahan yang tidak ia sadari sebelumya namun selalu ada kesempatan untuk berubah dan meninggalakan keburukan tersebut. Seperti itulah Tere Liye menyajikan cerita-cerita novelnya yang begitu erat kaitanya dengan pelajaran hidup sekitar kita.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H