Sejak saat itu, hubungan Bujang dan Tauke Besar membaik. Bujang pun mulai bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan pendidikannya hingga meraih gelar sarjana ekonomi dari perguruan tinggi Amerika. Disamping menuntut ilmu, Tauke juga memberikan kebebasan kepada Bujang untuk tetap berlatih fisik dari orang-orang hebat seperti kepala tukang pukul Keluarga Tong, Guru Bushi, hingga Salonga. Selama berlatih, Bujang sering sekali mendapat celaan dari guru-gurunya. Hal ini terlihat seperti kutipan berikut.
"Bodoh!" Salonga memakiku
"Pistol itu hanya benda mati, Bujang! Tidak bisa berpikir dan tidak bisa menembak sendiri. Yang berpikir adalah orang yang memegangnya. Tidak ada yang menyuruhmu menembak botol itu langsung. Aku hanya memintamu untuk menjatuhkannya (hlm 174).
Kutipan di atas menunjukkan betapa sulitnya situasi yang dihadapi Bujang terhadap gurunya. Namun, semua itu tidak menjadi masalah Bujang yang sedari awal telah berkomitmen dan berambisi penuh.
  Bertahun-tahun, kisah kembali bercerita ke 20 tahun kemudian. Peralihan masa ini terjadi meskipun penulis tidak memberikan keterangan yang jelas. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.
Waktu melesat dengan cepat. Telah setahun aku tinggal di Keluarga Tong. Aku sudah mulai melupakan lereng rimba Sumatra (hlm 106). Pukul tujuh pagi saat pintu kamarku diketuk aku melangkah turun dari tempat tidur, membuka tirai jendela sebentar, membiarkan cahaya pagi melewati kaca. Hamparan Kota Hongkong langsung menyambutku melalui jendela kamar. Pagi yang mendung,dengan awan hitam menggelayut di langit. Tadi malam, sepulang dari jamuan makan malam Master Dragon, aku meluncur ke salah satu hotel bintang lima untuk bermalam (hlm 107).
Kutipan di atas memberikan keterangan peralihan masa ke 20 tahun kemudian secara implisit. Penulis tidak serta merta mengatakan bahwa kisah kembali berpindah ke 20 tahun kemudian tetapi penulis justru memberikan situasi yang kontras di kedua kutipan. Pada kutipan pertama kisah Bujang masih berkisah sekitar tahun pertama di Keluarga Tong. Adapun di kutipan selanjutnya penulis menyajikan situasi ketika Bujang telah mencapai kejayaanya dengan keberadaanya di hotel ternama Kota Hongkong
  Saat ini, kekuasaan Keluarga Tong telah mampu menguasai Provinsi. Berbagai masalah-masalah mulai bermuculan sejak bagian ini. Mulai dari pencurian barang berharga keluarga Tong oleh Keluarga Lin dari Makau. Tapi, seperti masalah-masalah yang lain, Bujang dengan pengetahuan akademis yang tinggi serta kemampuan ninja dan seni tembak yang dimiliknya mampu membantu merebut kembali dengan cara yang brutal, licik, hebat, dan menakjubkan. Hal ini terbukti dari kutipan berikut.
"Cukup!" Aku mendesis, tanganku cepat sekali meraih kartu nama di saku kemeja. Lantas dengan keahlian seorang ninja terlatih, kartu nama itu telah kulemparkan ke leher Tuan Lin yang sedang terkekeh mendongak. Kartu nama itu secara kasat mata hanyalah kertas, tapi tukang pukul yang memeriksaku sebelumnya tertipu. Di dalam kartu nama itu, pipih dengan tebal hanya sepersekian milimeter, adalah logam titanium (hlm 123).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Bujang telah menjelma menjadi seorang pemuda dengan segala bakat hebat yang ada di dirinya. Kutipan di atas juga merupakan salah satu bukti bahwa Bujang mampu mempertahankan kejayaaan serta kekuasaan dari Keluarga Tong dengan seorang diri saja.
  Di tengah-tengah cerita, penulis kembali mengaduk emosi pembaca ketika Bujang tiba-tiba mendapat kabar buruk seusai kesuksesannya dalam pendidikan dan pekerjaan. Kabar duka akan kematian Mamak dan Bapaknya yang datang silih berganti sempat membuat semangatnya hilang. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.