Bingkai 1.
Ini bukan kebiasaanku untuk mencampuri urusan yang remeh-temeh seperti ini. Jangan tersinggung kalau kukatakan ada seorang perempuan di jalanan diganggu sekelompok lelaki itu merupakan hal yang biasa saja.Â
Ini kota besar. Segala hal bisa terjadi. Dari keributan sesama pengguna kendaraan di jalanan, pelecehan seksual, hingga tindakan kriminal yang paling brutal. Dan orang-orang tak peduli.
Juga terhadap perempuan muda di hadapanku kini. Ia berteriak-teriak ketakutan, mempertahankan tasnya yang ditarik dua orang lelaki. Takada satu orang pun yang tergerak untuk menolongnya. Lagi pula jelang jam 1.00 dini hari. Sepi. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Entah kenapa tiba-tiba timbul begitu saja rasa kasihan melihat ada seorang gadis tak berdaya diganggu. Cepat aku turun dari mobil, menghampiri dua orang lelaki itu. Sebelum mereka bereaksi tinjuku sudah mendarat di hidung salah seorang dari mereka. Terjengkang. Sedang temannya langsung terdiam, gemetar. Sebuah benda dingin menempel di keningnya. Lalu mereka pun kabur.
Aku menghampiri gadis itu. Kutaksir usianya dua puluh atau paling tinggi dua puluh lima. Aku mengulurkan tangan, membantunya berdiri.
Masih dengan gemetar ia menyambut tanganku. Tapak tangannya begitu kasar. Terutama jari telunjuk bagian dalam kurasakan lebih tebal.
"Di mana rumahmu? Biar saya antar," kataku menawarkan bantuan.
"Tid, tidak. Terima kasih." Ia masih ketakutan.
Ah, tentu saja. Akhirnya ia mau ketika kupesan sebuah taksi online. Sebelum membuka pintu sekali lagi ia menyalamiku, mengucapkan terima kasih berkali-kali.
***
Aku sudah lupa -- tepatnya berusaha melupakan -- kejadian malam itu. Tapi aku  seperti mengalami deja vu. Gadis muda itu seperti membayang-bayangiku. Sekelebat seperti melihat ia sedang menyeberangi jalan, di mall, atau entah di mana saja.
Dan kini di sebuah cafe. Ah, baru kuingat, rupanya aku sering melihatnya di cafe ini. Aku menahannya sebentar.
"Ada tambahan pesan, Mas?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Lupa dengan saya?" Aku menatapnya.
Gadis itu seperti memikirkan sesuatu. "Maaf, siapa ya?" Dan, "Ah, iya, saya baru ingat. Mas ..., Mas yang menolong saya malam itu, kan? Terima kasih. Aduh, kalau nggak ada Mas malam itu entah bagaimana nasib saya. Terima kasih ...." Suara gadis itu bergetar.
Kemudian ...!
***
Kemudian aku terlibat lebih dalam dengan gadis itu, yang sebenarnya tak boleh kulakukan. Ini bisa mengganggu bisnisku. Aku harus membekukan segala perasaanku kepada orang lain. Dan tak boleh percaya kepada siapa pun. Itu sebabnya sampai hari ini aku bisa bertahan hidup.
Tapi, Agnes (oh, ya, nama gadis itu Agnes) membuat semuanya berubah. Aku yang selalu merasa kesepian atau Agnes yang pandai menghibur.
"Kalau anak perempuanku hidup mungkin seperti dirimu. Sudah remaja, mungkin tujuh tahun di bawahmu. Dia meninggal karena sebuah kecelakaan ...."
Agnes tertawa. "Basi!" kata Agnes di sela tawanya. "Kenapa semua lelaki kalau berkenalan dengan perempuan selalu beralasan begitu? O, kamu seperti adikku yang mati tertabrak mobil, yang sakit kanker, yang bla bla bla. Atau seperti ibunya, atau seperti kekasihnya dulu, atau ... basi! Hahaha!"
Dan aku suka dengan keterusterangannya. Dan aku dibuatnya tenggelam. Sesekali kami bercinta, liar. Kewaspadaanku terhadap orang lain selama ini tak berlaku terhadap Agnes.
Apa aku merasa kasihan karena Agnes bertahun-tahun menjadi anak jalanan? Atau disebabkan dia beberapa kali -- seperti pengakuannya -- menjadi buruh pabrik, petugas cleaning service, dan kini menjadi pramusaji di sebuah cafe?
Atau ...? Atau cara Agnes bercerita membuatku mudah iba? Padahal selama ini aku selalu curiga kepada orang yang baru kukenal. Dan kami -- tepatnya aku -- melangkah semakin jauh. Aku tak ragu lagi memberi tahu bisnisku selama ini.
Agnes terkejut ketika suatu hari aku mengajaknya ke tempat pabrikku. Itu bukan sebuah pabrik konveksi, seperti yang kuceritakan selama ini.
Di dalam ruangan itu banyak orang yang bekerja menggunakan masker. Tabung-tabung dengan berbagai bentuk. Tumpukan karung-karung plastik kecil seukuran 2 kg berisi bubuk putih. Dan orang-orang bersenjata lengkap.
"Jadi ini bisnismu?" Agnes memandangku, "He-ro-in? Ak-aku takut ...." Agnes gemetar.
Aku memeluk untuk menenangkannya. "Jangan takut. Dan aku percaya padamu. Jangan khianati kepercayaanku," kataku.
Aku memang percaya. Dan aku juga tidak menaruh curiga ketika pasokan kiriman barangku ke beberapa kota digerebek dan dihancurkan polisi.Â
Sampai suatu ketika, tak kuduga sama sekali, pabrikku diserbu pasukan bertopeng. Terlihat sekali mereka sangat terlatih. Dalam hitungan jam anak buahku disapu dengan senjata mesin. Ruang-ruangan pabrikku dibakar dan diledakkan.
Aku murka. Dengan membabi-buta kulampiaskan kemarahanku dengan menghabisi sebagian pasukan itu, sebisaku.
Aku teringat Agnes. Ah, gadis tak berdosa itu tak boleh dilibatkan. Aku harus menyelamatkan gadis itu. Dengan menyusuri lorong-lorong rahasia aku menuju ruangan Agnes di mana selama ini ia tinggal.
Di sebuah lorong aku terjebak. Di hadapanku seorang bertopeng menghadangku, dengan senjata berat yang siap tembak ke arahku. Tak bisa lagi menghindar. Aku masih mencemaskan keselamatan Agnes. Apakah dia tertangkap? Atau tewas?
Orang yang di hadapanku membuka topengnya.
***
Bingkai 2.
Gelap.
Aku tidak tahu sudah berapa lama. Terasa berputar-putar. Potongan-potongan gambar yang datang silih berganti. Aku yang liar, hidup di jalanan. Melakukan tindakan kriminal kecil-kecilan hingga perampokan. Sampai suatu ketika ketika aku dan kawan-kawanku merampok sebuah mini market, kepergok sepasukan polisi. Rupanya selama ini kami sudah menjadi target mereka. Baku tembak pun terjadi. Semua temanku tewas. Sebuah ledakan membuat aku tak ingat apa-apa lagi.
Suara-suara: "... Dia sudah siuman ...; ... kita tak salah merekrutnya? ... kalau gagal? ... Kita bersihkan ...."
***
Tempat apa ini?
Beberapa hari ini aku dikelilingi orang-orang berwajah dingin. Termasuk lelaki di hadapanku sekarang. Usianya mungkin di atasku sedikit. Ia menyodorkan beberapa foto dan potongan-potongan video berita tentang kontak senjata di sebuah mini market. Juga video upacara penguburanku. Aku? Aku ...?
"Semua temanmu tewas. Kami sengaja menyelamatkan dirimu. Berita tentang kematianmu sengaja kami rekayasa. Diah, dirimu, sudah mati. Kini namamu, Agnes," terang lelaki di hadapanku. Nyaris tanpa ekspresi.
"Kami? Siapa 'kami'?" Aku bingung.
"Tak perlu tahu. Yang jelas kamu akan kami sekolahkan kembali."Â
"Kalau aku menolak?"
"Berarti kematian Diah akan menjadi kenyataan." Lelaki itu menatapku. Dan itu cukup membuat tengkukku meremang.
Aku tak punya pilihan. Selain itu aku memang suka dengan petualangan yang menyerempet-nyerempet bahaya.Â
Dan yang mereka sebut "sekolah" itu ternyata aku dilatih fisik secara keras ala militer. Mempelajari keahlian bela diri. Mengemudi berbagai macam tipe kendaraan. Dilatih menggunakan berbagai macam senjata.
Bukan itu saja. Aku juga diharuskan tidak menghilangkan sisi perempuanku. Aku dilatih bak peragawati, berjalan di atas catwalk. Bermain drama, mendengarkan musik, nonton, dan lain-lain. Semuanya dilakukan di camp tertutup. Dan lelaki itu -- kami menyebutnya, Komandan -- adalah pengawas segala kegiatan kami.
Sampai suatu hari.
"Hari Rabu besok boleh aku keluar? Jalan-jalan. Sendiri." Aku menatap Komandan. Seperti biasa, ia tetap dingin.
"Kenapa?"
"Pada hari itu, hari itu ... aku berulang tahun." Aku sedikit tersipu.
Lelaki itu, Komandan, diam sesaat. Lalu, "Kami juga sedang merencanakan agar dirimu bisa refreshing. Â Bukan hari Rabu, tapi pada malam Minggunya."
"Oh, terima kasih. Tak apalah terlambat sedikit." Aku senang. Tapi ...!
"Kamu tetap kami kawal dari jauh."
***
Hari itu pun tiba.
Kota sudah banyak berubah. Sudah berapa lama aku di camp itu? Setahun? Dua tahun? Tidak penting. Sekarang aku bisa menghirup udara di luar, walau sebentar.
Lelaki itu mengawalku. Kami memasuki sebuah restoran. Cukup ramai. Pun di lantai dua banyak juga orang duduk-duduk menghabiskan makan malamnya. Di tengah ada ruangan terbuka, jadi aku bisa selintas melihat ke atas.
Kami duduk agak di sudut. Berhadap-hadapan.
"Terima kasih telah mengizinkanku keluar."
Lelaki itu, Komandan, mengangguk kecil.
"Kita memesan makanan apa?"
"Nanti saja." Lantas Komandan mengambilnya sesuatu dari bawah meja. Sebuah kotak kecil dibungkus kertas berwarna dan diikat sebuah pita warna merah.
Kado? Ah, aku terharu. Ternyata lelaki ini bisa juga romantis.
"Boleh kubuka?"
"Mm."
Kurobek kertas pembungkusnya. Saat kotak itu kubuka, darahku seperti membeku. Di dalamnya ada pistol, dua granat, dan magasin penuh peluru.
Aku menatap lelaki itu.
Seperti tak terjadi apa-apa. "Di lantai dua, tepat di atas kita, ada lelaki berkaos polo, topi golf, dengan frame kacamata berwarna emas. Dia seorang pejabat koruptor. Selain itu dia juga mengelola perjudian. Itu targetmu. Dalam satu gerakan kamu harus bisa langsung menembaknya.Â
"Semua orang di dalam restoran ini sebagian besar adalah anak buahnya. Sebanyak mungkin kamu harus bisa membunuh mereka. Ada pistol cadangan. Sudah kami letakkan di dekat tangga di dalam pot. Juga di toilet. Itu pintu keluarmu. Sisakan satu granat untuk menjebol dinding. Di belakang gedung ini ada gang kecil. Lari secepat mungkin. Kami menunggu di ujung gang. Waktumu dua puluh menit!
"Selamat ulang tahun!" Lelaki itu berdiri, keluar restoran.
Bersambung ...!
***
Lebakwana, Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H