"Semua temanmu tewas. Kami sengaja menyelamatkan dirimu. Berita tentang kematianmu sengaja kami rekayasa. Diah, dirimu, sudah mati. Kini namamu, Agnes," terang lelaki di hadapanku. Nyaris tanpa ekspresi.
"Kami? Siapa 'kami'?" Aku bingung.
"Tak perlu tahu. Yang jelas kamu akan kami sekolahkan kembali."Â
"Kalau aku menolak?"
"Berarti kematian Diah akan menjadi kenyataan." Lelaki itu menatapku. Dan itu cukup membuat tengkukku meremang.
Aku tak punya pilihan. Selain itu aku memang suka dengan petualangan yang menyerempet-nyerempet bahaya.Â
Dan yang mereka sebut "sekolah" itu ternyata aku dilatih fisik secara keras ala militer. Mempelajari keahlian bela diri. Mengemudi berbagai macam tipe kendaraan. Dilatih menggunakan berbagai macam senjata.
Bukan itu saja. Aku juga diharuskan tidak menghilangkan sisi perempuanku. Aku dilatih bak peragawati, berjalan di atas catwalk. Bermain drama, mendengarkan musik, nonton, dan lain-lain. Semuanya dilakukan di camp tertutup. Dan lelaki itu -- kami menyebutnya, Komandan -- adalah pengawas segala kegiatan kami.
Sampai suatu hari.
"Hari Rabu besok boleh aku keluar? Jalan-jalan. Sendiri." Aku menatap Komandan. Seperti biasa, ia tetap dingin.
"Kenapa?"