Agnes tertawa. "Basi!" kata Agnes di sela tawanya. "Kenapa semua lelaki kalau berkenalan dengan perempuan selalu beralasan begitu? O, kamu seperti adikku yang mati tertabrak mobil, yang sakit kanker, yang bla bla bla. Atau seperti ibunya, atau seperti kekasihnya dulu, atau ... basi! Hahaha!"
Dan aku suka dengan keterusterangannya. Dan aku dibuatnya tenggelam. Sesekali kami bercinta, liar. Kewaspadaanku terhadap orang lain selama ini tak berlaku terhadap Agnes.
Apa aku merasa kasihan karena Agnes bertahun-tahun menjadi anak jalanan? Atau disebabkan dia beberapa kali -- seperti pengakuannya -- menjadi buruh pabrik, petugas cleaning service, dan kini menjadi pramusaji di sebuah cafe?
Atau ...? Atau cara Agnes bercerita membuatku mudah iba? Padahal selama ini aku selalu curiga kepada orang yang baru kukenal. Dan kami -- tepatnya aku -- melangkah semakin jauh. Aku tak ragu lagi memberi tahu bisnisku selama ini.
Agnes terkejut ketika suatu hari aku mengajaknya ke tempat pabrikku. Itu bukan sebuah pabrik konveksi, seperti yang kuceritakan selama ini.
Di dalam ruangan itu banyak orang yang bekerja menggunakan masker. Tabung-tabung dengan berbagai bentuk. Tumpukan karung-karung plastik kecil seukuran 2 kg berisi bubuk putih. Dan orang-orang bersenjata lengkap.
"Jadi ini bisnismu?" Agnes memandangku, "He-ro-in? Ak-aku takut ...." Agnes gemetar.
Aku memeluk untuk menenangkannya. "Jangan takut. Dan aku percaya padamu. Jangan khianati kepercayaanku," kataku.
Aku memang percaya. Dan aku juga tidak menaruh curiga ketika pasokan kiriman barangku ke beberapa kota digerebek dan dihancurkan polisi.Â
Sampai suatu ketika, tak kuduga sama sekali, pabrikku diserbu pasukan bertopeng. Terlihat sekali mereka sangat terlatih. Dalam hitungan jam anak buahku disapu dengan senjata mesin. Ruang-ruangan pabrikku dibakar dan diledakkan.
Aku murka. Dengan membabi-buta kulampiaskan kemarahanku dengan menghabisi sebagian pasukan itu, sebisaku.