Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sherly

21 Januari 2020   23:16 Diperbarui: 21 Januari 2020   23:20 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Pixabay.com. 

Aku tidak mengerti, mengapa harus dihadapkan dengan persoalan seperti ini. Sepertinya aku juga tak punya pilihan. Di sisi lain harga diriku merasa terbeli, seolah-olah keluarga kami harus membalas kebaikan budi Pak Gondo terhadap keluarga kami selama ini. 

"Ibu hanya minta pengertian kamu. Kita  sudah sering dibantu keluarga Pak Gondo, dan entah kapan kita bisa membalas kebaikan mereka. Ingat, sejak kematian ayahmu, Pak Gondo juga yang membantu sekolahmu hingga kamu bisa menamatkan SMA. Kini mereka sedang ada masalah, dan Ibu rasa ini saat tepat kita bisa menolong mereka. 

"Mereka meminta kamu mau menikahi Sherly. Setelah anak Sherly lahir, terserah nanti apa keputusanmu. Memang orangtua Sherly tidak memaksa, tapi ada permohonan pada kata-kata mereka. Ibu merasa tak enak hati. Juga kapan lagi kita bisa membantu mereka...? 

"Ibu harap kamu tidak merasa terhina, karena seolah-olah kamu sebagai pembayar hutang budi kebaikan mereka. Ibu hanya minta pengertian kamu...!"

Dan dari dulu aku tidak sanggup melihat Ibu menangis. 

***

Akhirnya aku dengan berat hati mau menikahi Sherly. Bukan ingin menutupi aib keluarga Pak Gondo, tapi lebih dikarenakan aku tak ingin membuat Ibu  bersedih. 

Sherly, apa yang bisa kuingat tentang  gadis itu? Dia teman sepermainanku waktu kecil. Kami selalu bermain berdua. Di samping rumah kami berdekatan, ibuku bekerja di tempatnya. Dari sana aku makin akrab dengan Sherly. Aku masih ingat, waktu kecil main pengantenan dengannya, aku berperan sebagai mempelai pria, dan dia berpura-pura sebagai mempelai wanita. 

Sampai SMP aku masih satu sekolah, tapi saat SMA kami berbeda sekolah. Di situlah aku melihat Sherly menjelma gadis yang cantik. Sebagai seseorang yang sering bersama dengannya, perasaanku menilainya menjadi lain. 

Bukan lagi sebagai seorang teman, tapi perasaan sebagai lelaki terhadap perempuan. Sayangnya aku tak punya keberanian mengungkapkannya. Aku merasa rendah diri, dan perasaan itu hanya aku pendam dalam hati. 

Selepas SMA aku membuka usaha sablon, sedangkan Sherly melanjutkan kuliah di ibu kota provinsi. Sejak kuliah inilah aku melihat ada yang hilang pada  sosok Sherly. Aku menangkap kesan Sherly dalam bergaul cenderung bebas. 

Dugaanku ternyata benar. Menjelang semester akhir masa kuliahnya, ia hamil. Dan tak ada yang mau bertanggung jawab. Tentu kedua orang tuanya marah dan malu. Untuk menutupi aib keluarga mereka itulah maka mereka memohon pada ibuku agar aku mau mengawini Sherly. 

***

Kini usia perkawinan kami sudah menginjak bulan kelima, dan itu berarti kandungan Sherly memasuki bulan kedelapan ( karena memang waktu kami menikah Sherly sudah hamil tiga bulan). 

Entah apa yang merasuki pikiranku, selama itu aku tak pernah menyentuh Sherly, dalam arti hubungan suami-istri.  Seperti ada rasa marah, kecewa, dan rasa ketakberdayaan lainnya, hingga aku berbuat seperti itu. Aku merasa seperti lelaki yang dibayar. Itu amat menyakitkan. Kalau bukan permintaan Ibu tentu dengan tegas aku menolaknya. 

Aku juga sering bersikap tak ramah, dan berkata ketus kepada Sherly. Tapi di hadapan ibuku, atau di depan orangtua Sherly, kami bersandiwara seolah-olah tak terjadi apa-apa. 

Aku memang tetap tidur sekamar, tapi aku tidur terpisah, tidur di kasur busa ukuran kecil. Ini membuat Sherly seperti merasa terhina. 

"Begitu menjijikkan aku bagi dirimu? Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik, tapi kenapa perlakuanmu terhadapku begitu...? Bagaimanapun aku tetap istrimu yang sah.... "

"Ya, di depan penghulu," tukasku. "Tugasku hanya sampai anakmu lahir," sambungku lagi. 

Sherly menatapku bergetar, "Oke...," katanya lirih sambil menghapus air matanya. 

***

Harus kuakui Sherly sebagai seorang istri selalu melayaniku dengan baik. Setiap pagi ia selalu menyediakan kopi dan sarapan pagi untukku, juga mengantarkan makan siang ke kios tempat usaha sablonku. 

Sebagai suami aku tetap memberikan belanja dapur dan keperluan sehari-hari, walau aku tahu Sherly tetap dibantu orangtuanya. Itu aku melihatnya dari ragam menu yang ia buat, yang tak mungkin mencukupi dari  uang belanja yang kuberikan. Rumah dan isinya ini orangtua Sherly juga yang memberikan. 

Pernah suatu malam Sherly tidur berdekatan denganku. Saat itu listrik padam. Sherly menjerit ketakutan, langsung menuju ke tempat tidurku. 

"Apa-apaan, sih?" rungutku kesal. 

"Aa-aku, t-takut...!" suara Sherly terdengar gemetar. Ia langsung berbaring di sampingku. Aku bertambah kesal, dan memunggunginya. 

Aku bisa merasakan getaran ketakutan pada tubuhnya. Aku jadi merasa kasihan, dan membiarkan saat tangannya melingkari tubuhku. Hembusan nafasnya menyapu tengkukku, dan sesuatu yang lembut menekan punggungku. Ada sensasi aneh yang mengalir, dan ada yang menggeliat dalam tubuhku. Sampai pagi aku tak bisa tertidur. 

***

Tapi kejadian dua minggu lalu yang membuat penilaian dan perlakuanku terhadap Sherly sedikit berubah. Malam itu tubuhku menggigil demam. Sudah tiga lapis selimut, tapi tetap saja tubuhku menggigil. 

Sherly cemas melihat keadaanku begitu. Malam itu ia menembus gerimis, mencari obat di warung. Obat berbahan dasar paracetamol biasanya untuk sementara waktu bisa menurunkan demam. Ia juga sibuk membuat teh manis hangat untukku. "Dikerok ya, biar badannya agak entengan."

Nyatanya setelah minum obat, dan punggungku dikerok, memang kepalaku terasa lebih ringan. Tubuhku basah oleh keringat. Sherly juga dengan telaten mengelap keringatku, dan mengganti bajuku. 

Tubuhku pun tak terlalu menggigil. Ada kehangatan yang melingkupi tubuhku. Kurasa bukan hanya karena selimut, tapi Sherly yang merapat pada tubuhku, berbantalkan sebelah tanganku. 

Perutnya yang membuncit menekan tubuhku. Aku juga baru sadar, tubuhnya lebih kurus. Matanya cekung, agak menjorok ke dalam, seperti mata yang sering menangis. Tubuh yang rapuh, berharap ada sandaran untuk berbagi cerita, tapi yang didapat dariku hanya kata-kata kasar yang menyakiti dirinya. 

Timbul rasa kasihan kepada dirinya. Tak seharusnya aku memperlakukannya seperti itu. Kemarin ini, yang dilakukannya mungkin hanya kekhilafan saja, mengikuti gejolak masa mudanya. Dan kelihatannya ia menyadari kekeliruannya. 

"Sher...?"

"Hm...?"

"Terima kasih...."

Sherly tak menjawab. Hanya kemudian tubuhnya agak bergetar. Ia menangis...? 

***

Pagi ini kulihat tubuhnya terseok mengangkat ember berisi curian yang akan dijemur. Perutnya yang sudah besar itu membuatnya kesusahan mengangkat ember. Keterlaluan sekali kalau aku membiarkannya. 

"Biar aku saja yang menjemur," kataku sambil meraih embernya. 

"Kamu nggak malu?"

"Masak menolong istri sendiri harus malu...?"

Tapi, heh? Mendadak kami terdiam. Istri sendiri? Itukah yang kuucapkan tadi? 

Malamnya ia minta izin agar ibunya bisa tinggal bersama, sampai anaknya lahir. 

"Nanti saja kalau sudah lahir, baru kita kabari."

"Tapi, tapi..., aku, aku...?"

Aku mengerti maksudnya. "Soal nyuci dan masak biar aku yang mengerjakan."

"Kamu...?" suara Sherly seperti tak yakin. 

Aku mengangguk. 

"Kamu bisa masak?"

"Nggak. Kamu mau ngajarin?"

Sherly tersenyum, mengangguk. 

Kemudian hari-hari selanjutnya kurasakan hubungan kami terasa begitu dekat, yang selama ini satu sama lain begitu asing. Biasanya kalau berbicara dengan Sherly hanya seperlunya, kini aku bisa mendengarkan Sherly agak lama. Bahkan pernah kami berdua tertawa lepas. Pasalnya, nasi goreng yang kubuat keasinan. 

Aku juga melihat kembali keceriaan Sherly seperti masa kecil dahulu. Juga, ada perasaan nyaman saat dekat dengannya. Kini aku merasa takut kehilangan. Tapi di saat yang lain aku mengingat bayi yang dikandungnya bukan anakku. 

Aku kembali bimbang. 

***

Sherly melahirkan bayi perempuan yang cantik. Detik-detik saat melahirkan itu, entah kenapa, aku begitu cemas melihatnya. Aku takut terjadi sesuatu pada dirinya. Aku menggenggam erat tangannya. 

Setelah proses melahirkan selesai, kulihat air mata Sherly mengalir. Dengan lembut aku menghapusnya, juga butiran keringat yang memenuhi wajahnya. Kukecup keningnya dengan tulus. "Selamat, ya...," bisikku. 

Justru itu membuat tangis Sherly makin pecah. Ia memelukku dengan erat. "Terima kasih..., terima kasih kamu sudah menyelamatkan diriku. Menyelamatkan keluargaku...!" 

***

Ibuku dan kedua orangtua Sherly datang di hari pertama Sherly melahirkan. Sedangkan ibu Sherly hampir sebulan tinggal bersama kami. Mengajari Sherly bagaimana sebaiknya memperlakukan seorang bayi. 

Setelah ibu Sherly kembali pulang ke rumahnya, rasa asing itu kembali menyergapku. Kusadari telah tumbuh perasaan sayang pada dirinya, tapi di sisi lain ada perasaan tak terima yang berkecamuk dalam pikiranku. 

Hingga suatu sore...! 

Saat itu usia bayi Sherly sudah tiga bulan. Kulihat Sherly berpakaian rapi sambil menggendong bayinya, seperti  sengaja menungguku. Kulihat juga sebuah koper. Perasaanku menjadi tak enak. 

Kami duduk berhadapan. Cukup lama juga kami dalam diam. Sherly menghela napas, seperti ada sesuatu yang berat yang akan dikatakannya. 

"Kurasa..., tugasmu sudah selesai. Itu kan yang pernah kau katakan padaku...?"

Aku tak bereaksi. 

"Aku, keluargaku, harus berterima kasih padamu, karena telah menutupi aib keluarga kami. Aku ingat, waktu kecil dahulu kamu selalu membelaku dari gangguan teman-teman lelaki. Dan setelah dewasa ini, di tengah rasa bimbang dan kesedihanku, kamu juga yang menjadi dewa penolong. 

"Sebenarnya dengan pernikahan kita aku ingin membuka lembaran baru. Aku ingin belajar memperbaiki diri. Tapi yang kudapatkan adalah rasa kesal dan kemarahanmu. 

"Apa kamu merasa direndahkan olehku, oleh keluargaku? Padahal aku sudah berusaha menjadi istri yang baik bagi dirimu. Tapi kamu sepertinya belum bisa menerimaku apa adanya. 

"Aku berusaha memakluminya. Tapi aku tak cukup kuat, aku terlalu capek menjalani hidup seperti ini setiap hari. 

"Setelah ini, silakan mengirim gugatan ke Pengadilan Agama. Apa pun alasan yang kamu beberkan di pengadilan akan aku terima. 

"Selain itu, aku mohon kamu mengizinkan aku mencantumkan namamu sebagai ayah anakku di akte kelahirannya nanti...!"

"Selanjutnya kamu mau ke mana?" kataku akhirnya. 

"Mungkin, mungkin aku akan menyelesaikan kuliahku."

Kemudian Sherly bangkit dari tempat duduknya. Katanya, "Bisa kamu menolong membawakan koper ke depan? Untuk terakhir kalinya...!" 

Aku diam saja. Entah kenapa perasaanku menjadi gundah. Saat ini, sungguh, aku merasa bingung apa yang harus kulakukan. Dulu aku mengira setelah Sherly melahirkan tugasku selesai, dan tak ada beban lagi. Tapi kini mengapa dadaku terasa sesak begitu tahu ia akan pergi? Mengapa rasa gengsi ini selalu menggelayuti hatiku? 

Melihat aku diam saja, Sherly menyeret sendiri kopernya. Saat ia akan membuka pintu itulah terlintas cepat dalam pikiranku. "Tunggu!" tahanku. 

Aku menghampirinya dan meraih kopernya. Bukan membawanya keluar, tapi aku masukkan ke dalam kamar. Bukan itu saja, aku mengambil bayi yang digendongnya. Menciumi pipi bayi itu dengan penuh perasaan. 

"Tugasku belum selesai. Aku, kita, akan membesarkan anak-anak kita hingga mereka dewasa nanti. Itu kalau kamu tak keberatan."

Kulihat mata Sherly berkaca-kaca. Dan aku langsung membawa bayi itu ke kamar. 

Sherly sendiri kulihat masih termangu dekat pintu. Aku menghampirinya dan meraih kedua tangannya. 

"Maaf dengan perlakuanku selama ini kepadamu. Kamu tahu, itu bukan sifatku. Tapi entah kenapa tindakan bodoh itu yang kulakukan. Padahal, kamu tahu, aku dari dulu menyukaimu. Dan kini, ketika kesempatan itu begitu dekat, aku malah menyiakannya. 

"Aku terlalu dihantui oleh bayangan-bayangan yang aku ciptakan sendiri. Ketakutan-ketakutan yang hanya ada dalam khayalanku saja. Itu menyebabkan tindakanku menyakiti hatimu. 

"Maaf...! 

"Aku ingin - seperti katamu  -  kita membuka lembaran baru. Tanpa prasangka dan rasa curiga. Kita saling menerima kekurangan masing-masing. Kamu juga jangan terbebani harus mencintaiku. Karena, memang, cinta itu bisa datang dengan tiba-tiba, tapi terkadang bisa tumbuh melalui proses. Dulu kamu menjadi istriku lewat kata-kata di hadapan bapakmu dan penghulu. Kini aku meminta di hadapanmu, dengan kata-kata dan sepenuh perasaan jiwaku. 

"Sherly..., maukah kamu menjadi istriku, selamanya...?"

Sherly tak menjawab. Ia menatapku, matanya makin merebak. Kemudian ia memelukku. Kami saling berpelukan sangat erat. Kurasakan wangi rambutnya. Aroma tubuhnya seperti ingin kuhirup, mengalir nikmat ke seluruh pori-pori tubuhku. 

"Kamu melupakan sesuatu?"

"Ng...?"

"Sore ini kamu belum membuatkanku kopi...?"

Sherly makin mempererat pelukannya. Menggigit bahuku, pelan. 

***

Cilegon, Januari 2020. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun