Harus kuakui Sherly sebagai seorang istri selalu melayaniku dengan baik. Setiap pagi ia selalu menyediakan kopi dan sarapan pagi untukku, juga mengantarkan makan siang ke kios tempat usaha sablonku.Â
Sebagai suami aku tetap memberikan belanja dapur dan keperluan sehari-hari, walau aku tahu Sherly tetap dibantu orangtuanya. Itu aku melihatnya dari ragam menu yang ia buat, yang tak mungkin mencukupi dari  uang belanja yang kuberikan. Rumah dan isinya ini orangtua Sherly juga yang memberikan.Â
Pernah suatu malam Sherly tidur berdekatan denganku. Saat itu listrik padam. Sherly menjerit ketakutan, langsung menuju ke tempat tidurku.Â
"Apa-apaan, sih?" rungutku kesal.Â
"Aa-aku, t-takut...!" suara Sherly terdengar gemetar. Ia langsung berbaring di sampingku. Aku bertambah kesal, dan memunggunginya.Â
Aku bisa merasakan getaran ketakutan pada tubuhnya. Aku jadi merasa kasihan, dan membiarkan saat tangannya melingkari tubuhku. Hembusan nafasnya menyapu tengkukku, dan sesuatu yang lembut menekan punggungku. Ada sensasi aneh yang mengalir, dan ada yang menggeliat dalam tubuhku. Sampai pagi aku tak bisa tertidur.Â
***
Tapi kejadian dua minggu lalu yang membuat penilaian dan perlakuanku terhadap Sherly sedikit berubah. Malam itu tubuhku menggigil demam. Sudah tiga lapis selimut, tapi tetap saja tubuhku menggigil.Â
Sherly cemas melihat keadaanku begitu. Malam itu ia menembus gerimis, mencari obat di warung. Obat berbahan dasar paracetamol biasanya untuk sementara waktu bisa menurunkan demam. Ia juga sibuk membuat teh manis hangat untukku. "Dikerok ya, biar badannya agak entengan."
Nyatanya setelah minum obat, dan punggungku dikerok, memang kepalaku terasa lebih ringan. Tubuhku basah oleh keringat. Sherly juga dengan telaten mengelap keringatku, dan mengganti bajuku.Â
Tubuhku pun tak terlalu menggigil. Ada kehangatan yang melingkupi tubuhku. Kurasa bukan hanya karena selimut, tapi Sherly yang merapat pada tubuhku, berbantalkan sebelah tanganku.Â