Kami duduk berhadapan. Cukup lama juga kami dalam diam. Sherly menghela napas, seperti ada sesuatu yang berat yang akan dikatakannya.Â
"Kurasa..., tugasmu sudah selesai. Itu kan yang pernah kau katakan padaku...?"
Aku tak bereaksi.Â
"Aku, keluargaku, harus berterima kasih padamu, karena telah menutupi aib keluarga kami. Aku ingat, waktu kecil dahulu kamu selalu membelaku dari gangguan teman-teman lelaki. Dan setelah dewasa ini, di tengah rasa bimbang dan kesedihanku, kamu juga yang menjadi dewa penolong.Â
"Sebenarnya dengan pernikahan kita aku ingin membuka lembaran baru. Aku ingin belajar memperbaiki diri. Tapi yang kudapatkan adalah rasa kesal dan kemarahanmu.Â
"Apa kamu merasa direndahkan olehku, oleh keluargaku? Padahal aku sudah berusaha menjadi istri yang baik bagi dirimu. Tapi kamu sepertinya belum bisa menerimaku apa adanya.Â
"Aku berusaha memakluminya. Tapi aku tak cukup kuat, aku terlalu capek menjalani hidup seperti ini setiap hari.Â
"Setelah ini, silakan mengirim gugatan ke Pengadilan Agama. Apa pun alasan yang kamu beberkan di pengadilan akan aku terima.Â
"Selain itu, aku mohon kamu mengizinkan aku mencantumkan namamu sebagai ayah anakku di akte kelahirannya nanti...!"
"Selanjutnya kamu mau ke mana?" kataku akhirnya.Â
"Mungkin, mungkin aku akan menyelesaikan kuliahku."