Kemudian Sherly bangkit dari tempat duduknya. Katanya, "Bisa kamu menolong membawakan koper ke depan? Untuk terakhir kalinya...!"Â
Aku diam saja. Entah kenapa perasaanku menjadi gundah. Saat ini, sungguh, aku merasa bingung apa yang harus kulakukan. Dulu aku mengira setelah Sherly melahirkan tugasku selesai, dan tak ada beban lagi. Tapi kini mengapa dadaku terasa sesak begitu tahu ia akan pergi? Mengapa rasa gengsi ini selalu menggelayuti hatiku?Â
Melihat aku diam saja, Sherly menyeret sendiri kopernya. Saat ia akan membuka pintu itulah terlintas cepat dalam pikiranku. "Tunggu!" tahanku.Â
Aku menghampirinya dan meraih kopernya. Bukan membawanya keluar, tapi aku masukkan ke dalam kamar. Bukan itu saja, aku mengambil bayi yang digendongnya. Menciumi pipi bayi itu dengan penuh perasaan.Â
"Tugasku belum selesai. Aku, kita, akan membesarkan anak-anak kita hingga mereka dewasa nanti. Itu kalau kamu tak keberatan."
Kulihat mata Sherly berkaca-kaca. Dan aku langsung membawa bayi itu ke kamar.Â
Sherly sendiri kulihat masih termangu dekat pintu. Aku menghampirinya dan meraih kedua tangannya.Â
"Maaf dengan perlakuanku selama ini kepadamu. Kamu tahu, itu bukan sifatku. Tapi entah kenapa tindakan bodoh itu yang kulakukan. Padahal, kamu tahu, aku dari dulu menyukaimu. Dan kini, ketika kesempatan itu begitu dekat, aku malah menyiakannya.Â
"Aku terlalu dihantui oleh bayangan-bayangan yang aku ciptakan sendiri. Ketakutan-ketakutan yang hanya ada dalam khayalanku saja. Itu menyebabkan tindakanku menyakiti hatimu.Â
"Maaf...!Â
"Aku ingin - seperti katamu  -  kita membuka lembaran baru. Tanpa prasangka dan rasa curiga. Kita saling menerima kekurangan masing-masing. Kamu juga jangan terbebani harus mencintaiku. Karena, memang, cinta itu bisa datang dengan tiba-tiba, tapi terkadang bisa tumbuh melalui proses. Dulu kamu menjadi istriku lewat kata-kata di hadapan bapakmu dan penghulu. Kini aku meminta di hadapanmu, dengan kata-kata dan sepenuh perasaan jiwaku.Â