Terhuyung-huyung, jatuh. Bangun. Dihantam lagi.Â
Orang-orang berhenti setelah melihat Pak Slamet terjajar, tersandar di sebuah pohon. Tubuhnya tak berbentuk lagi, lebam-lebam penuh darah. Begitupun dengan pakaian yang dikenakannya, hancur robek-robek, juga bersimbah darah. "Apa salah saya...?" tersendat-sendat Pak Slamet.Â
"Sudah ngaku saja, Pak Slamet dukun santet, kan? Hingga membuat warga banyak yang meninggal. Ngaku saja," tuduh salah seorang warga.Â
"Tidak. Saya bukan dukun santet," Pak Slamet menggeleng-gelengkan kepalanya.Â
"Kami mendengarkan sendiri, Pak Slamet senang kalau ada warga yang Meninggal...!"
"Iya," timpal warga yang lain.Â
"Maaf, maaf...!" Pak Slamet muntah darah. "Kalau itu maksud kalian.... Saya tidak..., mana mungkin saya senang kalau ada warga kita yang meninggal. Saya sudah lama tinggal di kampung ini. Semuanya sudah saya anggap saudara sendiri.Â
"Saya senang bukan karena ada yang meninggalnya, tapi..., tapi, saya senang dapat makanan. Itu salah satu cara saya untuk bertahan hidup.Â
"Kalian tahu sendiri, saya tidak punya penghasilan tetap. Kadang berhari-hari saya tidak makan. Kalau ada orang hajatan, orang mengadakan tahlilan, baru di situ saya dapat makan. Saya merasa senang dapat makan. Apa itu salah...?"
Muntah darah lagi.Â
"Tapi saya melihat Pak Slamet menjemur sesuatu di belakang rumah Pak Slamet...?" sela Pak Udin.Â