Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Semoga Tetanggaku Ada yang Meninggal

27 Juli 2019   22:24 Diperbarui: 27 Juli 2019   22:36 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Pixabay.com 

Mendadak saja orang-orang yang duduk melingkar itu disergap kesunyian. Mereka mengembara dengan pikiran masing-masing. Seperti tak percaya Pak Dulah tidak lagi bersama-sama mereka. Malam ini adalah hari ketujuh, hari terakhir, untuk acara tahlilan di rumah Pak Dulah. 

Kemudian satu per satu orang-orang meninggalkan rumah itu; Pak Slamet yang terakhir. Ia menenteng dua bungkusan makanan. Untuk acara-acara seperti ini, Pak Slamet tampak seperti orang yang paling sibuk. Ia selalu tampil paling depan. 

Belum dua puluh hari setelah kematian Pak Dulah, orang-orang kembali dikejutkan dengan matinya Roni -  preman yang sering meresahkan warga - karena minuman oplosan. Soal ini warga malah bersyukur.

Tapi kemudian Sri, anak Pak Juned, karena demam berdarah. 

Bu Ningsih, karena usia tua. 

Yudi, kecelakaan motor. 

Dan, jelang magrib ini orang-orang disentakkan dengan kabar meninggalnya Pak Burhan. Mendadak saja. Istrinya yang pertama mengetahui. Pak Burhan diketahui duduk lunglai di kursinya saat menonton televisi. 

Dihitung-hitung selama tiga bulan ini sudah ada enam warga yang meninggal. Kembali terlihat Pak Slamet seperti orang paling sibuk. Ada saja yang dikerjakannya. Menyiapkan untuk pemandian jenazah, ikut membantu menggali kuburan, dan dia juga yang memanggil warga untuk acara doa tahlilan pada malam harinya. Dan, tentu, ia paling tidak membawa dua kantong makanan. 

Biasa saja sebenarnya, karena dari dulu memang Pak Slamet tak mempunyai pekerjaan tetap. Dan ia tak berpantang, mau saja apabila disuruh salah seorang warga dengan upah sekadarnya. 

Tapi kemudian, entah siapa yang memulai, orang-orang berbisik-bisik membicarakan Pak Slamet. 

"Coba lihat tingkah Pak Slamet."

"Memang kenapa?"

"Coba perhatikan, setiap ada kematian. Pak Slamet terlihat sebagai orang yang paling sibuk."

"Orangnya kan memang begitu. Di mana anehnya?"

"Coba lihat gerak-geriknya, nggak terlihat sedih, nggak merasa prihatin. Malah terlihat seperti orang gembira."

"Iya, ya?"

"Ya, aneh."

***

Dan kini orang-orang selalu memperhatikan segala gerak-gerik Pak Slamet. Apa yang dulu terlihat biasa, kini menjadi aneh. Dari jalannya, cara bicaranya, hingga pakaiannya yang jarang ganti. Dan...! 

"Heh, nggak sengaja pagi tadi lewat belakang rumah Pak Slamet. Tahu apa yang kulihat?" Pak Udin bercerita. 

Orang-orang antusias mendengarkan cerita Pak Udin. 

"Aku melihat Pak Slamet menjemur sesuatu di belakang rumahnya. Baunya menyengat. Busuk," lanjut Pak Udin. 

"Apa itu?"

"Nggak tahu. Warnanya putih kekuning-kuningan."

"Jangan-jangan...?" Salingpandang. 

Jangan-jangan...! Entah siapa, "Jangan-jangan Pak Slamet sedang menuntut ilmu hitam."

"Maksudmu? Maksud..., Pak Slamet, dia, dukun santet?" 

Hening! 

Mendadak tengkuk mereka meremang. Terbayang ketakutan di wajah mereka. Lewat bisik-bisik cerita pun menjalar. 

***

Cerita tentang Pak Slamet pun semakin melebar. Bahwa kematian yang terjadi di kampung ini, karena untuk tumbal ilmu hitam yang dipunyai Pak Slamet. Dan puncaknya saat Bu Isah - istri dari Imam Masjid - meninggal. Orang-orang sudah tidak bisa berpikir jernih lagi, bahwa kematian Bu Isah karena penyakit kanker yang dideritanya cukup lama. Orang-orang langsung curiga dengan Pak Slamet. 

"Kita intip nanti malam di rumahnya, apa yang dilakukan Pak Slamet," bisik seseorang. 

"Ya, kita intip."

"Kalau benar ia sedang mempraktekkan ilmu hitam, kita usir dia dari kampung ini."

"Ya, usir! "

***

Tepat tengah malam belasan lelaki dewasa mengendap-endap menuju rumah Pak Slamet. Rumah Pak Slamet yang sebagian dindingnya terbuat dari papan membuat orang-orang itu mudah mengintip ke dalam. Pak Slamet terlihat masih tidur. Sampai jam 12 : 00 belum terlihat sesuatu yang mencurigakan. 

Jam satu dini hari. Masih hening. 

Sekitar jam tiga jelang subuh, napas orang-orang yang mengintip itu seperti tertahan. Pak Slamet terbangun. 

Ada gerakan bayangan menuju arah belakang. Suara-suara air diciduk, suara seperti orang berwudhu. Wudhu? Sholat? 

Orang-orang berpandangan, ragu. 

Ah, tidak. Tunggu saja. 

Mengintip lagi. Terlihat Pak Slamet sholat. Selesai sholat berdoa. Biasa saja. Apa yang aneh? 

Orang-orang semakin ragu. Sebagian lagi merasa bersalah, karena mencurigai Pak Slamet dengan tuduhan yang bukan-bukan. 

Tapi kemudian orang-orang itu tersentak saat mengintip kembali ke dalam. Tubuh Pak Slamet bergetar. 

Suara-suara tertahan, bergetar. 

"Ampuni, ampuni ya Allah...!"

Pak Slamet menangis. "Apa aku bersalah kalau merasa senang saat tetanggaku meninggal...?" 

Orang-orang pun tercekat. Jadi? Jadi...  jadi selama ini kecurigaan mereka benar? 

Serempak mereka berdiri, dan langsung menggedor-gedor pintu. 

"Keluar! Pak Slamet keluar!"

Tak lama, Pak Slamet membuka pintu rumahnya. Ia masih memakai sarung. Terheran-heran ia melihat banyak orang di depan rumahnya. 

"Ada apa ribut-ribut malam-malam begini? Pak Udin, Pak Japar? Yanto?"

"Alah, Pak Slamet jangan berpura-pura. Kami sudah tahu semuanya."

"Berpura-pura, bagaimana?"

"Pak Slamet kan penyebab kematian warga di sini, karena sedang mempraktekkan ilmu hitam? Ngaku saja!"

Pak Slamet nampak seperti orang kebingungan. 

"Saya nggak mengerti maksud bapak-bapak."

"Sudah, jangan dikasih hati lagi orang ini!"

"Ya. Usir Pak Slamet dari kampung ini."

"Usir...!"

Entah siapa, Pak Slamet diseret dari pintu rumahnya. Pak Slamet berusaha berontak, dan ini membuat orang-orang semakin marah. 

Ada yang mulai memukuli. 

"Saya bukan dukun santet , saya bukan dukun santet...! Tolong...! Tolong...!" Pak Slamet berusaha kabur. 

Ini membuat orang-orang semakin bringas. 

Tubuh Pak Slamet jatuh bangun dihantam massa. Bahkan ada yang memukul dengan kayu, batu, atau benda apa saja yang bertemu di jalan. 

Terhuyung-huyung, jatuh. Bangun. Dihantam lagi. 

Orang-orang berhenti setelah melihat Pak Slamet terjajar, tersandar di sebuah pohon. Tubuhnya tak berbentuk lagi, lebam-lebam penuh darah. Begitupun dengan pakaian yang dikenakannya, hancur robek-robek, juga bersimbah darah. "Apa salah saya...?" tersendat-sendat Pak Slamet. 

"Sudah ngaku saja, Pak Slamet dukun santet, kan? Hingga membuat warga banyak yang meninggal. Ngaku saja," tuduh salah seorang warga. 

"Tidak. Saya bukan dukun santet," Pak Slamet menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Kami mendengarkan sendiri, Pak Slamet senang kalau ada warga yang Meninggal...!"

"Iya," timpal warga yang lain. 

"Maaf, maaf...!" Pak Slamet muntah darah. "Kalau itu maksud kalian.... Saya tidak..., mana mungkin saya senang kalau ada warga kita yang meninggal. Saya sudah lama tinggal di kampung ini. Semuanya sudah saya anggap saudara sendiri. 

"Saya senang bukan karena ada yang meninggalnya, tapi..., tapi, saya senang dapat makanan. Itu salah satu cara saya untuk bertahan hidup. 

"Kalian tahu sendiri, saya tidak punya penghasilan tetap. Kadang berhari-hari saya tidak makan. Kalau ada orang hajatan, orang mengadakan tahlilan, baru di situ saya dapat makan. Saya merasa senang dapat makan. Apa itu salah...?"

Muntah darah lagi. 

"Tapi saya melihat Pak Slamet menjemur sesuatu di belakang rumah Pak Slamet...?" sela Pak Udin. 

"Itu, itu nasi sisa yang saya jemur. Tak mungkin tiap hari ada orang hajatan, tak mungkin tiap malam ada tahlilan. Kalau sudah tidak ada makanan, nasi yang dijemur itulah yang saya makan."

Terdiam.

Kemudian orang dikagetkan lagi dengan suara Pak Slamet yang muntah darah, suara seperti orang yang mendengkur. 

Tubuh Pak Slamet ambruk. 

"Cepat! Cepat tolong Pak Slamet! Bawa ke rumah sakit!"

"Tubuhnya sudah kaku!"

"Mati?!"

***

Cilegon, 2019. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun