“Ya bisa juga, tapi kelihatannya Ki Baroto hidup sendirian Joko. Kalaupun ada pasti sudah ikut menyambut kita.”
“Iya, hebat ya Bah Tei, hidup sendirian dikaki bukit ditengah hutan rimba begini.”
“Sudah terbiasa jadinya tak ada sesuatu yang memberatkan. Apapun kalau sudah terbiasa ya tak ada masalah, semua pasti akan berjalan seperti biasa.”
“Kau juga sudah terbiasa hidup sendiri Bah Tei?” tanya Joko sedikit terpaksa.
“Aku tak hidup sendiri, masih ada kau, dan Ki Baroto, bukankah begitu?” jawab Bah Tei sekenanya sambil melirik ke arah Joko yang mulai bingung dan salah tingkah.
“Syukurlah jika kau juga telah terbiasa melupakan Babah, Mbok Yem, dan juga perusahaan batikmu yang sudah mendunia itu Bah Tei.” Alasan Joko untuk menutupi perasaannya yang mulai kacau. Padahal dalam hati ia tak rela Bah Tei bersanding dengan lelaki yang lain apalagi Blancak Nyilu. Ia tak berani menyampaikan perasaan itu langsung kepada Bah Tei karena ikatan antara majikan dan pelayan masih sangatlah kuat meski mereka berdua mencoba untuk menghapus sekat itu.
Untung kekacauan perasaan Joko tak sampai lama karena Ki Baroto membuyarkan mereka berdua yang lagi tak biasa, tak biasa oleh perasaan anak manusia yang lagi mengenal suka antara dua jenis yang berbeda. Ki Baroto keluar dari ruangan dalam dengan membawa nampan yang berisi kendi air dan setandan pisang.
“Ki Baroto tak punya apa-apa, hanya ini yang bisa kami sajikan sebagai makan dipagi yang cerah ini. Ayo, mari makan!”
“Terima kasih, terima kasih Ki, kami telah merepotkan Ki Baroto.” Ucap Joko.
“Iya kedatangan kami hanya merepotkan Ki Baroto saja.” Bah Tei ikut-ikutan bicara meski ia sudah tak sabar ingin segera makan pisang untuk mengganjal perutnya yang sangat lapar.
“Ki Baroto tinggal dengan siapa disini?” tanya Bah Tei lagi.