https://athisa88.wordpress.com/2015/02/25/legenda-air-mata-putri-meng-jiang/
Puteri Bah Tei # 4
Oleh. Rohmat Sholihin
Ki Baroto
Fajar menyingsing. Suara-suara penghuni hutan Bukitduwur mulai riuh menyambut bola api kehidupan matahari. Bangsa burung berciut-ciutan indah sekali. Kera-kera berlompat-lompatan dari ranting pohon dengan lincah dan riang menggambarkan rasa syukur telah melewati malam dan berganti pagi. Sang pencipta menciptakan malam dan pagi adalah tanda-tanda kebesaranNya agar seluruh makhluk merasa bersyukur masih menghirup nikmat dari sang pencipta. Bah Tei dan Joko masih terus berjalan menyusuri hutan menuju bukit. Mereka ingin mencari Ki Baroto seorang kakek yang telah menolong Joko sewaktu terjebak dalam lumpur hidup.
“Sebentar lagi kita akan sampai diatas bukit Tei.”
“Iya Joko. Tubuh rasanya seperti ditikam seribu belati. Nyeri karena capek. Tapi aku sangat bahagia dan bersyukur bisa melewati cobaan itu dengan selamat. Karena Allah masih memberikan kita kesempatan hidup.”
“Betul Tei. Allah memberikan pertolongan lewat perantara-perantara, termasuk Ki Baroto yang telah menyelamatkanku dari jebakan lumpur hidup itu. Jika tak ada pertolongan dari Allah mungkin tak kan ada lagi kesempatan hidup lagi padaku. Tubuhku sudah ambles ke dalam lumpur itu, hanya tinggal jariku yang hanya dapat memegang angin saja. Syukurlah Ki Baroto dengan cepat menyelamatkan aku. Alhamdulillah.”
“Akhirnya kita sampai dipuncak bukit Joko.”
Joko hanya diam, kedua matanya terus mengawasi sekitar bukit yang curam dan hijau. Penuh semak-semak belukar. Masih saja diam tak menghiraukan omongan Bah Tei. Seperti orang yang bingung dan tersesat untuk mencari jalan keluar.
“Dimana pondok itu Tei? sepertinya dibawah bukit hanya ada semak-semak belukar.”
“Mana aku tahu Joko. Aku juga baru kali ini menginjakkan kakiku disini, daerah apa ini aku juga tak tahu.”
“Ah Bah Tei, diajak bicara jawabnya malah tak tahu.”
“Ah kau juga Joko, diajak bicara sibuk dengan keasyikanmu.” Jawab Bah Tei dengan ketus sambil melirik Joko yang masih juga sibuk mencari pondok milik Ki Baroto dibalik bukit itu. Bah Tei lalu duduk diatas batu membiarkan Joko terus mencari-cari pondok itu sendirian. Dalam hati Bah Tei merasa bahagia bisa berkumpul lagi dengan pengawalnya yang benar-benar bisa melindungi dirinya. “Terima kasih ya Allah, Engkau telah mengabulkan doaku. Engkau selamatkan Joko dan juga aku.” Batinnya.
“Kita harus menuruni bukit ini Tei jika kita ingin menemukan pondok Ki Baroto. Kita tak bisa menemukan posisi pondok itu mesti kita lihat dari atas bukit ini. Ki Baroto kemarin memberikan keterangan kalau letak pondoknya ada dibalik bukit. Tapi susah juga kita menemukannya.”
“Apa tidak sebaiknya kita istirahat dulu Joko? Melepas lelah sejenak. Siapa tahu setelah kita beristirahat tenaga kita pulih dan pandangan mata kita menjadi jelas lagi?”
“Ehm, baiklah Tei. Tapi kita harus berhati-hati aku khawatir anak buah Blancak Nyilu masih terus mengintai kita dan mencari kelengahan kita. Mereka bisa menyerang kita kapanpun. Mereka jumlahnya banyak, untung pimpinan kelompok mereka bisa kita kalahkan. Mereka pasti melapor pada pimpinannya Blancak Nyilu bahwa mereka tahu posisi kita. jadi sebaiknya kita beristirahat sejenak saja. kita sudah memasuki pinggiran Tuban selatan, daerah alas Bukitdhuwur yang daerahnya berada didataran tinggi ini.”
“Baiklah Joko. Blancak pasti marah-marah mendengar laporan bahwa anak buahnya yang mereka andalkan dapat kau kalahkan dengan mudah. Blancak pasti akan mengerahkan kembali seluruh pasukannya untuk membasmi kita. Apalah arti kekuatan satu orang melawan banyak kekuatan, manusia mempunyai batas kemampuan yang bisa diukur, kau pasti akan kuwalahan Joko menghadapi pasukan Blancak yang jumlahnya sangat banyak.”
“Betul Tei, kita pasti akan terdesak bahkan bisa binasa untuk menghadapi banyak pasukan milik Blancak itu. Tapi kita harus pakai cara yang lain untuk menghadapi mereka. Ya, kita bisa cari koloni atau kelompok-kelompok yang lain yang ada didaerah ini untuk kita bangun kekuatan dan kita persiapkan untuk menghadapi Blancak.”
“Kelompok-kelompok siapa Joko? Kita ini sudah tak punya siapa-siapa lagi. Kita hanya berdua saja ini Joko.”
“Kenapa kau bilang begitu Tei? kita ini masih mempunyai harapan dan kekuatan yang bisa kita manfaatkan untuk melawan Blancak dan begundal-begundalnya.”
“Ehm...siapa Joko?”
“Lihatlah semak-semak belukar itu yang warnanya menghijau seperti permadani. Apakah semak-semak itu tumbuh langsung bersamaan dan bisa memenuhi hutan ini? Aku kira semak-semak itu tumbuh perlahan-lahan dan dengan waktu berjalan baru bisa memenuhi hutan ini sehingga menjadi kekuatan tersendiri dan menjadi tempat hidup segala macam hewan untuk berkembang biak.”
“Apakah kita akan menggunakan kekuatan semak-semak belukar itu untuk melawan Blancak Nyilu?”
“Ah kau Bah Tei, itu hanya kiasan saja. Aku mengumpamakan semak-semak itu seperti kita, hanya berdua saja. Kekuatan kecil begini. Kemudian berusaha dan bertahan untuk menjadi kekuatan besar.”
“Dengan cara apa Joko?”
‘Banyak cara Bah Tei.”
“Ah kau Joko, sekarang sudah pandai bermimpi.”
“Harus Bah Tei, kita harus punya banyak impian, kita sekarang menjadi manusia bebas, bebas bergerak kemana kita suka, manusia yang tidak disekat oleh kekuasaan dan aturan yang mengekang kita.”
“Kata siapa Joko? Kita ini dikerdilkan oleh Blancak. Kita tidak bisa bergerak bebas, kita selalu dikejar-kejar bahkan juga mau dibunuh hanya satu permasalahan yang remeh-temeh ingin menjadikan aku gundik.”
“Ya bebas oleh pikiran kita dan terikat oleh ruang gerak kita Tei,”
“Lantas?”
“Kita tetap harus terus melawan Bah Tei.”
“Dengan bantuan semak-semak belukar?”
“Bisa juga.”
“Kau ini Joko.”
“Ehm, baiklah aku akan katakan.”
“Katakanlah!”
“Kita bisa mengumpulkan kekuatan dengan bantuan banyak orang yang bisa kita pengaruhi. Tak perduli siapa orang itu, meskipun parampok-perampok yang berkeliaran dialas-alas Tuban selatan ini atau siapa saja yang mau kita jadikan koloni, makanya aku ingin bertemu dengan Ki Baroto, siapa tahu beliau bisa memberikan sumbangsih pemikiran yang bisa kita jadikan pijakan ke depan.”
“Apa kita tidak berdosa Joko? Melibatkan semua orang hanya demi masalah satu orang yaitu aku.”
“Aku kira tak ada dosa jika niat kita baik Tei, niat kita adalah menghancurkan kekuatan yang mau berbuat dzolim. Bukankah Allah tidak suka dengan orang-orang yang dzolim dan semoga kita dijauhkan dari sifat itu.”
“Pintar kau Joko. Baiklah ayo kita lanjutkan lagi perjalanan ini Joko untuk mencari Ki Baroto. Sebelum hari semakin panas.”
“Baiklah Bah Tei.”
Setelah mereka beristirahat sejenak dan berbincang-bincang keduanya segera berlalu untuk meneruskan perjalanan. Mereka ingin mencari pondok Ki Baroto yang ada dibalik bukit. Mereka melewati semak-semak belukar yang banyak tumbuh memenuhi lembah bukit.
“Hati-hati Tei, semak-semak ini terlalu banyak jadi kita harus pelan-pelan. Siapa tahu masih ada lumpur hidup disekitar semak-semak ini. Kita bisa terjebak lagi.”
“Ya Joko, mudah-mudahan tak ada lagi lumpur hidup disekitar sini. Tapi ada kau Joko, aku bisa tenang sekarang. Sudah jadi apa aku jika kau tak menolongku malam itu? Bisa-bisa aku sekarang mendekam dalam penjara Blancak Nyilu.”
Mereka berdua pun terus berjalan menyusuri semak-semak belukar, kini mereka serasa bukan majikan dan anak buah lagi, namun mereka serasa sejoli yang lagi asyik membawa perasaan masing-masing yang belum sempat terucapkan meski benih-benih rasa purba mulai tumbuh subur diantara relung hati yang terdalam, dan angin seakan-akan mulai menggoda dan hadir menjelma menjadi sukma yang lembut membelai wajah mereka berdua.
Ah, angin kabarkan sesuatu padanya,
Rindu dan cinta mulai menggoda,
Hati dan pikiran tak kan tenang jadinya,
Sebelum terketuk hatinya untuk mengucapkan kata suci,
Yaitu cinta abadi, selamanya.
Biarkan bintang gemintang terus bersinar,
Biarkan rembulan terus berjalan,
Dan biarkan bumi terus berputar,
Cinta tetaplah cinta,
Tak kan bisa dipungkiri,
Meski menunggu 1000 tahun lamanya.
“Ssssstttttt...kayaknya ada suara bergerak-gerak dibalik semak-semak itu.”
“Aku juga dengar.”
“Tenang tak usah bergerak. Daerah seperti ini memang sangat rawan dan berbahaya. Ada banyak hewan-hewan buas yang siap mengincar kita. Berhati-hatilah dan selalu waspada.”
Tak seberapa lama, semak-semak semakin bergerak-gerak dan semakin mendekat, mendekat, mendekat dan, seekor babi hutan berjalan setengah berlari sambil menjulur-julurkan hidungnya, hok-hok-hok, suaranya.
“Ah bikin kaget saja kau, cepat pergi sana. Sebelum kucing hutan memangsamu, babi hutan.”
Dan baru saja mereka akan melangkah lagi, tiba-tiba dari arah yang berlawanan dengan arah babi hutan keluarlah bayangan hitam dan bercadar menyerang Joko, gerakannya secepat kilat dan lincah, Joko terhuyung-huyung kelabakan. Dengan kuda-kuda yang sedikit terlambat tendangan kaki kanan mengenai perut Joko, tubuhnya terpental tiga meter ke belakang, dan terjatuh.
“Siapa kau? Kenapa tiba-tiba kau menyerangku?” Bicara Joko sambil memegangi perutnya yang masih bisa diatasi. Tak ada balasan secepat kilat ia menyerang lagi Joko yang sudah mempersiapkan tubuhnya. Keduanya pun bertempur dengan gesit dan lincah, gerakan Joko selalu terbaca oleh musuhnya sedangkan musuhnya hanya bertahan dengan gesit dan lincah. Bah Tei semakin was-was melihat Joko yang semakin terjepit. Gerakan tubuh manusia bercadar semakin diatas angin, lalu keluarlah dari mulutnya, “keluarkan jurusmu anak muda, jurus Cermin Tatakan Diri,” sontak kagetlah Joko Kelono yang hampir jurus-jurus andalannya dapat dibaca.
“Siapa kisanak ini?” tanya Joko penasaran. “Tak penting siapa aku, hai murid Ki Batoto.” Jawabnya . “Baiklah, terimalah ini, ajian Cermin Tatakan Diri.” Sontak tubuh Joko meloncat tingi-tinggi ke udara dan siap mengarahkan ajiannya yang terkenal itu pada musushnya. “Tunggu! Hentikan!” teriak manusia bercadar yang kemudian membuka cadarnya secara perlahan-lahan.
“Masih ingat siapa aku Joko?”
“Ampun Ki Baroto.”
“Syukurlah kau masih mengenaliku Joko, jika tidak, bisa dipastikan tubuh tuaku ini akan hancur berkeping-keping seperti cermin pecah terkena ajianmu yang dahsyat itu.”
“Kebetulan aku hendak mencari pondok Ki Baroto. Sekali lagi maafkan hamba yang telah lancang melawan Ki Baroto. Hamba betul-betul tak tahu Ki.”
“Sudahlah, aku memang yang salah karena menyerangmu terlebih dahulu tanpa permisi. Maafkan juga orang tua seperti aku ini yang tak tahu sopan santun. Aku hanya ingin pastikan dari jurus-jurusmu mirip seperti murid kakang Batoto.”
“Benar Ki, hamba salah satu murid Ki Batoto.”
“Ayo, mari kita lanjutkan bincang-bincang kita dipondok kami yang reot, tak jauh dari sini, kau lihat dari atas bukit sana tak kan terlihat karena tertutup semak-semak yang rindang ini dan juga tertutup pohon jati besar.”
“Benar Ki, aku cari-cari dari atas bukit tadi memang tak tampak, maka kami putuskan untuk menuruninya dan mencarinya. Kami berdua ingin mampir dipondok Ki Baroto ini ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongannya.”
“Ah kau Joko, dari awal sudah aku jawab, jika ada manusia yang mengalami kesusahan sebaiknya kita harus menolongnya, bukankah kita sebagai manusia harus saling membantu?”
“Benar Ki.”
Sambil berjalan menyusuri semak-semak belukar yang lebat mereka berbincang-bincang. Bah Tei semakin merasa senang dalam petualangannya ia merasa bersyukur dipertemukan orang baik seperti Ki Baroto. Kegundahan dalam hatinya berangsur-angsur terkikis, kekalutan jiwanya mulai pudar, cobaan berat yang ia alami mulai terbiasa ia rasakan, rasa rindu yang hebat pada Babahnya mulai sedikit terobati dengan menikmati perjalanannya mengarungi daerah Jawa yang belum seberapa jauhnya dari bumi tempat ia tinggal dan dibesarkan oleh Babahnya yaitu Lasem atau Lao Sam.
Itu menandakan ancaman besar masih terus ia rasakan karena jarak Lao Sam atau Lasem dengan Tuban Selatan masih bisa dijangkau dengan hitungan hari. Bisa anak buah Blancak Nyilu dengan kekuatan besar langsung menyergapnya, tapi posisi Bah Tei dan Joko diuntungkan oleh medan yang sangat berat masuk ke hutan dan bersembunyi didalamnya yang sulit terlacak kembali.
Apalagi anak buah kepercayaan Blancak Nyilu pupus ditangan Joko. Blancak Nyilu pasti akan menganggap bahwa Joko bukanlah orang sembarangan dan harus mesti berhati-hati dengan pengawal Bah Tei itu. Sampai juga mereka bertiga dipondok Ki Baroto. Pondok kecil sederhana yang terbuat rapi dari kayu jati, kokoh, kuat, dan terkesan berbau Jawa. Ki Baroto hanya tinggal sendirian dipondoknya. Istri tak ada, anak juga tak punya.
“Ayo mari kita masuk.”
“Terima kasih Ki,”
Mereka bertigapun segera masuk diruangan beranda yang asri dan sejuk. Ki Baroto segera masuk ruangan dalam. Bah Tei dan Joko Kelono masih duduk-duduk dan melepas penat diberanda yang diterpa angin sepoi-sepoi. Burung-burung berkicau merdu menambah suasana hangat dan nyaman.
“Rumah indah Joko.”
“Iya, tinggal sendirian dikaki bukit, Ki Baroto masih bisa menata rumahnya dengan rapi.”
“Dimana istrinya?” tanya Bah Tei
“Ehm, tak tahu,”
“Anaknya?” tanya Bah Tei lagi.
“Juga tak tahu, atau mungkin sedang berada di ladang atau mungkin sibuk mencari kayu bakar.”
“Ya bisa juga, tapi kelihatannya Ki Baroto hidup sendirian Joko. Kalaupun ada pasti sudah ikut menyambut kita.”
“Iya, hebat ya Bah Tei, hidup sendirian dikaki bukit ditengah hutan rimba begini.”
“Sudah terbiasa jadinya tak ada sesuatu yang memberatkan. Apapun kalau sudah terbiasa ya tak ada masalah, semua pasti akan berjalan seperti biasa.”
“Kau juga sudah terbiasa hidup sendiri Bah Tei?” tanya Joko sedikit terpaksa.
“Aku tak hidup sendiri, masih ada kau, dan Ki Baroto, bukankah begitu?” jawab Bah Tei sekenanya sambil melirik ke arah Joko yang mulai bingung dan salah tingkah.
“Syukurlah jika kau juga telah terbiasa melupakan Babah, Mbok Yem, dan juga perusahaan batikmu yang sudah mendunia itu Bah Tei.” Alasan Joko untuk menutupi perasaannya yang mulai kacau. Padahal dalam hati ia tak rela Bah Tei bersanding dengan lelaki yang lain apalagi Blancak Nyilu. Ia tak berani menyampaikan perasaan itu langsung kepada Bah Tei karena ikatan antara majikan dan pelayan masih sangatlah kuat meski mereka berdua mencoba untuk menghapus sekat itu.
Untung kekacauan perasaan Joko tak sampai lama karena Ki Baroto membuyarkan mereka berdua yang lagi tak biasa, tak biasa oleh perasaan anak manusia yang lagi mengenal suka antara dua jenis yang berbeda. Ki Baroto keluar dari ruangan dalam dengan membawa nampan yang berisi kendi air dan setandan pisang.
“Ki Baroto tak punya apa-apa, hanya ini yang bisa kami sajikan sebagai makan dipagi yang cerah ini. Ayo, mari makan!”
“Terima kasih, terima kasih Ki, kami telah merepotkan Ki Baroto.” Ucap Joko.
“Iya kedatangan kami hanya merepotkan Ki Baroto saja.” Bah Tei ikut-ikutan bicara meski ia sudah tak sabar ingin segera makan pisang untuk mengganjal perutnya yang sangat lapar.
“Ki Baroto tinggal dengan siapa disini?” tanya Bah Tei lagi.
“Ki Baroto hidup sendirian disini, sudah hampir tiga puluh tahun Ki Baroto menjaga bukit dan hutan ini. Semenjak Ki Baroto berpisah dengan kakang Batoto dari padepokan Kyai Bejagung didaerah Gunung Gajah. Ki Baroto mendapatkan titah untuk mengembara didaerah selatan sedangkan kakang Batoto mendapatkan titah untuk mengembara didaerah Timur. Ki Baroto merasa bersyukur bisa bertemu dengan murid kakang Batoto yang hebat seperti Joko ini. Bagaimana ceritanya kok bisa sampai tersesat didaerah Bukitdhuwur ini?” jelas Ki Baroto dengan mengelus-elus jenggotnya yang penuh dengan uban.
“Panjang Ki.”
“Awal mula aku mendapatkan perintah dari Guru Batoto untuk pergi ke daerah kulon, aku singgah dirumah majikan Babah Xio di Lao Sam untuk menawarkan diri sebagai pekerja, dan kebetulan Babah Xio membutuhkan pengawal untuk mengirim barang batik pesanan dalam jumlah besar sampai ke kota-kota diseluruh Jawa ini, bahkan sampai ke mancanegara seperti Tumasek, Siam, Ambonia, juga sampai ke negeri atas angin.” Terang Joko.
“Lantas wanita ini?” tanya Ki Baroto.
“Ini adalah Bah Tei. Puteri Babah Xio yang harus aku kawal kemanapun pergi.”
“He...he...mengawal wanita cantik kemanapun pergi itu sangatlah berat Joko. Kalau tak bisa menjaga diri kau bisa tergoda olehnya.” Canda Ki Baroto.
“Tapi sekarang aku tak lagi menjadi majikannya Ki Baroto, aku adalah teman pengembaraan dan pelarian dari kejaran Blancak Nyilu yang ingin mempersuntingku secara paksa, akhirnya semua berubah, perusahaan batikku aku tinggalkan, Babah pergi mengungsi ke Tumasek,” jelas Bah Tei sedikit memelas.
“Sabarlah, nduk.” Pesan Ki Baroto.
“Iya Ki, aku harus bersabar demi melawan ambisi-ambisi mereka, menghancurkan keterampilanku, menghancurkan keluargaku, bahkan menghancurkan masa depanku yang telah aku rintis sejak masih anak-anak, aku mengalah demi mereka untuk menyingkir dan berlari menghindari keberingasan mereka.” Jelas Bah Tei.
“Blancak Nyilu.” Kata Ki Baroto kaget.
“Iya. Blancak Nyilu.”
“Aku pernah mendengar nama itu. Ya betul, ia adalah salah satu pengikut pembesar-pembesar Majapahit yang menelikung.” Bicara Ki Baroto serius sambil mengernyitkan alisnya yang juga beruban.
“Ia adalah tokoh yang berwajah ganda, disatu sisi ia dekat dengan Demak, ia juga dekat dengan Majapahit, ia licin dan pengikutnya banyak tersebar didaerah Tuban selatan ini. Berhati-hatilah, ia banyak menyebarkan pengikut-pengikutnya untuk menjadi begal dan perompak. Hasilnya ia gunakan untuk membangun padepokan Tlatah Adil itu.” Terang Ki Baroto.
“Pisau bermata dua.”
“Betul, bahkan ia punya rencana mengadu domba antara Demak dan Majapahit terutama Kadipaten Tuban. Ia ingin menguasai beberapa daerah Jawa ini. Tak perduli ia membangun persekutuan dengan orang-orang asing seperti orang Ispanya bahkan juga orang-orang Peranggi demi menghancurkan kedua kekuatan itu, jika lumpuh ia akan menyerangnya dari dalam.” Terang Ki Baroto lagi.
“Lantas, kami harus bagaimana Ki untuk menghindari Blancak Nyilu?” tanya Joko.
“Tetaplah terus bersembunyi di hutan untuk sementara, jika kau masuk kampung menyamarlah, jangan berbuat yang berlebihan. Mata-mata Blancak Nyilu banyak tersebar didaerah perkampungan Tuban Selatan ini.” Pesan Ki Baroto.
“Aku punya rencana Ki,”
“Rencana apa Joko?”
“Kami punya rencana membangun sekutu dengan banyak orang tak perduli orang dari kalangan apapun bahkan perampok sekalipun jika mau bersekutu aku akan pertimbangkan.” Terang Joko.
“Bisa Joko, tapi perlu waktu lama untuk membangun sekutu itu. Lebih baik bersembunyi dulu dan menghindar, baru jika kesempatan datang bisa kau coba caramu itu.”
“Apakah dengan cara Joko kami tidak termasuk orang yang mementingkan diri sendiri Ki?” Tanya Bah Tei.
“Tidak Nduk, justru cara Joko adalah cara yang masuk akal, melawan kekuatan dengan membangun kekuatan baru namun kendalanya butuh waktu lama. Sedangkan kamu berdua selalu menjadi incaran antek-antek Blancak Nyilu.” Jawab Ki Baroto.
“Ehm...jadi kita tetap terus menghindar ya Ki?” tanya Bah Tei lagi.
“Iya, tapi menghindar sampai kapan? Daerah ini dan sekitarnya masih mudah dijangkau oleh gerombolan Blancak Nyilu. Apalagi posisimu sudah ditemukan oleh anak buah Blancak Nyilu. Mereka pasti akan mengobrak-abrik hutan ini. Dan kamu sangat berbahaya jika masih berada disekitar hutan ini. Mau tak mau harus melawan.” Jelas Ki Baroto.
“Melawan?”
“Ya melawan dengan kekuatan yang kita punyai.”
“Mereka jumlahnya banyak Ki.”
“Tak usah takut dengan jumlah. Jumlah banyak belum menjamin mengalahkan yang jumlahnya sedikit, bangunlah kekuatan baru, bersekutulah dengan orang-orang yang telah didzolimi Blancak Nyilu, mereka pasti akan mendukungmu. Dan bisa menambah kekuatan untukmu. Tak perduli ular jenis apa yang penting berani dan bisa menggigit.” Jelas Ki Baroto.
“Baiklah Ki, akan kami coba cara-cara untuk bisa bertahan dalam menghadapi Blancak Nyilu dan pasukannya.” Ucap Joko.
“Ilmu Ajian Cermin Tatakan Diri dari kakang Bototo memang sangat ampuh untuk menghindar dan menyerang. Ajian itu bisa melumpuhkan musuhnya sampai batas kehabisan tenaga. Karena ajianmu itu seperti cermin yang bisa membias dan memantul.” Terang Ki Baroto.
“Ya Ki dan Guru berpesan padaku untuk menggunakan ilmu itu untuk kebaikan.”
“Tapi aku lihat masih sedikit ada kekurangan Joko, kau belum punya Ajian Melebur Bayu Sukma, jika kau bisa padukan kedua ajian itu aku bisa menilai betapa hebatnya kau.”
“Dimana aku bisa mempelajari ilmu itu Ki?” Tanya Joko serius.
“Disini.”
Joko kaget dan langsung bertanya, “sudikah Ki Baroto mengajarkan padaku?”
“Ki Baroto tidak keberatan Joko, namun kau harus bisa melewati beberapa ujian-ujiannya yang berat yaitu selama 40 hari kau harus tidur menggantung seperti kelelawar yang hanya minum air dari dedaunan saja, dan angin akan menerpamu selama 40 hari dan akan menjadi jiwamu, setelah itu kau masih melakukan tapa brata di atas pucuk pohon selama 25 hari, dan hanya boleh minum air hujan saja, jika itu bisa terlewatkan baru kau boleh mempelajari jurus-jurusnya, tanpa melalui ujian-ujiannya terlebih dahulu tak kan sempurna ajian itu.
Bagaimana kau sanggup Joko? Jika kau sanggup aku merasa berbahagia telah menemukan murid yang aku tunggu selama ini apalagi kau juga murid saudaraku kakang Batoto. Karena Ajian Cermin Tatakan Diri dengan Ajian Melebur Bayu Sukma adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, tapi kau telah menguasai Ajian Cermin Tatakan Diri kemungkinan besar ada harapan mampu melewati ujian-ujian pada tahap awal Ajian Melebur Bayu Sukma.” Terang Ki Baroto dengan sabar.
“Terima kasih Ki, terima kasih, mudah-mudahan Allah memberikan jalan kemudahan Ki.”
“Amin, mungkin inilah kenapa kau harus melakukan pengembaraan ke kulon agar menemukan dan merasakan proses-proses pendewasaan jiwamu yang tak bisa dibentuk hanya dengan waktu sekejap kau harus melalui beberapa masalah-masalah kesulitan yang kau hadapi Joko.” Terang Ki Baroto lagi.
“Iya Ki.” Jawab Joko.
“Dan kau Bah Tei, apakah juga tertarik dengan ilmu kanoragan?” tanya Ki Baroto.
“Bah Tei tertarik Ki,” jawab Bah Tei sambil melirik Joko dan tersenyum senang.
Bersambung......
Bangilan, 4 Mei 2016.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI