“Ki Baroto hidup sendirian disini, sudah hampir tiga puluh tahun Ki Baroto menjaga bukit dan hutan ini. Semenjak Ki Baroto berpisah dengan kakang Batoto dari padepokan Kyai Bejagung didaerah Gunung Gajah. Ki Baroto mendapatkan titah untuk mengembara didaerah selatan sedangkan kakang Batoto mendapatkan titah untuk mengembara didaerah Timur. Ki Baroto merasa bersyukur bisa bertemu dengan murid kakang Batoto yang hebat seperti Joko ini. Bagaimana ceritanya kok bisa sampai tersesat didaerah Bukitdhuwur ini?” jelas Ki Baroto dengan mengelus-elus jenggotnya yang penuh dengan uban.
“Panjang Ki.”
“Awal mula aku mendapatkan perintah dari Guru Batoto untuk pergi ke daerah kulon, aku singgah dirumah majikan Babah Xio di Lao Sam untuk menawarkan diri sebagai pekerja, dan kebetulan Babah Xio membutuhkan pengawal untuk mengirim barang batik pesanan dalam jumlah besar sampai ke kota-kota diseluruh Jawa ini, bahkan sampai ke mancanegara seperti Tumasek, Siam, Ambonia, juga sampai ke negeri atas angin.” Terang Joko.
“Lantas wanita ini?” tanya Ki Baroto.
“Ini adalah Bah Tei. Puteri Babah Xio yang harus aku kawal kemanapun pergi.”
“He...he...mengawal wanita cantik kemanapun pergi itu sangatlah berat Joko. Kalau tak bisa menjaga diri kau bisa tergoda olehnya.” Canda Ki Baroto.
“Tapi sekarang aku tak lagi menjadi majikannya Ki Baroto, aku adalah teman pengembaraan dan pelarian dari kejaran Blancak Nyilu yang ingin mempersuntingku secara paksa, akhirnya semua berubah, perusahaan batikku aku tinggalkan, Babah pergi mengungsi ke Tumasek,” jelas Bah Tei sedikit memelas.
“Sabarlah, nduk.” Pesan Ki Baroto.
“Iya Ki, aku harus bersabar demi melawan ambisi-ambisi mereka, menghancurkan keterampilanku, menghancurkan keluargaku, bahkan menghancurkan masa depanku yang telah aku rintis sejak masih anak-anak, aku mengalah demi mereka untuk menyingkir dan berlari menghindari keberingasan mereka.” Jelas Bah Tei.
“Blancak Nyilu.” Kata Ki Baroto kaget.
“Iya. Blancak Nyilu.”