“Lihatlah semak-semak belukar itu yang warnanya menghijau seperti permadani. Apakah semak-semak itu tumbuh langsung bersamaan dan bisa memenuhi hutan ini? Aku kira semak-semak itu tumbuh perlahan-lahan dan dengan waktu berjalan baru bisa memenuhi hutan ini sehingga menjadi kekuatan tersendiri dan menjadi tempat hidup segala macam hewan untuk berkembang biak.”
“Apakah kita akan menggunakan kekuatan semak-semak belukar itu untuk melawan Blancak Nyilu?”
“Ah kau Bah Tei, itu hanya kiasan saja. Aku mengumpamakan semak-semak itu seperti kita, hanya berdua saja. Kekuatan kecil begini. Kemudian berusaha dan bertahan untuk menjadi kekuatan besar.”
“Dengan cara apa Joko?”
‘Banyak cara Bah Tei.”
“Ah kau Joko, sekarang sudah pandai bermimpi.”
“Harus Bah Tei, kita harus punya banyak impian, kita sekarang menjadi manusia bebas, bebas bergerak kemana kita suka, manusia yang tidak disekat oleh kekuasaan dan aturan yang mengekang kita.”
“Kata siapa Joko? Kita ini dikerdilkan oleh Blancak. Kita tidak bisa bergerak bebas, kita selalu dikejar-kejar bahkan juga mau dibunuh hanya satu permasalahan yang remeh-temeh ingin menjadikan aku gundik.”
“Ya bebas oleh pikiran kita dan terikat oleh ruang gerak kita Tei,”
“Lantas?”
“Kita tetap harus terus melawan Bah Tei.”