“Hati-hati Tei, semak-semak ini terlalu banyak jadi kita harus pelan-pelan. Siapa tahu masih ada lumpur hidup disekitar semak-semak ini. Kita bisa terjebak lagi.”
“Ya Joko, mudah-mudahan tak ada lagi lumpur hidup disekitar sini. Tapi ada kau Joko, aku bisa tenang sekarang. Sudah jadi apa aku jika kau tak menolongku malam itu? Bisa-bisa aku sekarang mendekam dalam penjara Blancak Nyilu.”
Mereka berdua pun terus berjalan menyusuri semak-semak belukar, kini mereka serasa bukan majikan dan anak buah lagi, namun mereka serasa sejoli yang lagi asyik membawa perasaan masing-masing yang belum sempat terucapkan meski benih-benih rasa purba mulai tumbuh subur diantara relung hati yang terdalam, dan angin seakan-akan mulai menggoda dan hadir menjelma menjadi sukma yang lembut membelai wajah mereka berdua.
Ah, angin kabarkan sesuatu padanya,
Rindu dan cinta mulai menggoda,
Hati dan pikiran tak kan tenang jadinya,
Sebelum terketuk hatinya untuk mengucapkan kata suci,
Yaitu cinta abadi, selamanya.
Biarkan bintang gemintang terus bersinar,
Biarkan rembulan terus berjalan,
Dan biarkan bumi terus berputar,