“Masih ingat siapa aku Joko?”
“Ampun Ki Baroto.”
“Syukurlah kau masih mengenaliku Joko, jika tidak, bisa dipastikan tubuh tuaku ini akan hancur berkeping-keping seperti cermin pecah terkena ajianmu yang dahsyat itu.”
“Kebetulan aku hendak mencari pondok Ki Baroto. Sekali lagi maafkan hamba yang telah lancang melawan Ki Baroto. Hamba betul-betul tak tahu Ki.”
“Sudahlah, aku memang yang salah karena menyerangmu terlebih dahulu tanpa permisi. Maafkan juga orang tua seperti aku ini yang tak tahu sopan santun. Aku hanya ingin pastikan dari jurus-jurusmu mirip seperti murid kakang Batoto.”
“Benar Ki, hamba salah satu murid Ki Batoto.”
“Ayo, mari kita lanjutkan bincang-bincang kita dipondok kami yang reot, tak jauh dari sini, kau lihat dari atas bukit sana tak kan terlihat karena tertutup semak-semak yang rindang ini dan juga tertutup pohon jati besar.”
“Benar Ki, aku cari-cari dari atas bukit tadi memang tak tampak, maka kami putuskan untuk menuruninya dan mencarinya. Kami berdua ingin mampir dipondok Ki Baroto ini ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongannya.”
“Ah kau Joko, dari awal sudah aku jawab, jika ada manusia yang mengalami kesusahan sebaiknya kita harus menolongnya, bukankah kita sebagai manusia harus saling membantu?”
“Benar Ki.”
Sambil berjalan menyusuri semak-semak belukar yang lebat mereka berbincang-bincang. Bah Tei semakin merasa senang dalam petualangannya ia merasa bersyukur dipertemukan orang baik seperti Ki Baroto. Kegundahan dalam hatinya berangsur-angsur terkikis, kekalutan jiwanya mulai pudar, cobaan berat yang ia alami mulai terbiasa ia rasakan, rasa rindu yang hebat pada Babahnya mulai sedikit terobati dengan menikmati perjalanannya mengarungi daerah Jawa yang belum seberapa jauhnya dari bumi tempat ia tinggal dan dibesarkan oleh Babahnya yaitu Lasem atau Lao Sam.