Mohon tunggu...
aweyyy
aweyyy Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Seorang anak SMA yang mencoba hal baru dengan menulis sebuah blog berbekal pengalaman dan hobi menulis cerita-cerita pendek.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Mendekap Sang Mentari

7 Mei 2023   01:10 Diperbarui: 7 Mei 2023   01:10 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

             “Hahaha.” 

           Tawa seorang gadis yang baru saja kabur dari kejaran Pak Satpam sekolahnya. Gadis itu nampak terengah-engah. Dengan baju yang sedikit keluar juga rambut terurai yang acak acakan akibat goncangan saat ia berlari. Dan jangan lupakan keringat yang membasahi wajahnya. Ia nampak berantakan.

            Benar, Renjana atau lebih sering dipanggil Jana terlambat lagi. Dan ini sudah ke lima kalinya Renjana terlambat. Ya, Renjana namanya, Renjana Pelita lebih tepatnya. Sebenarnya setelah tiga kali terlambat Renjana sudah mendapat teguran dari Wali kelasnya. Dan Renjana juga sudah mendapat sanksi atas perbuatannya. Tetapi dua hari terakhir ini ia berhasil lolos dari kejaran guru yang piket dan pak satpam sekolahnya. Renjana juga nampak tidak kapok. Malah ia merasa tertantang akan itu.

            Melihat hal itu sang ketua OSIS, Dirgantara Baswara atau yang kerap dipanggil Dirga tidak tinggal diam. Ia mengikuti gadis itu diam-diam. Sengaja ingin membuatnya terkejut. Ia juga kesal sekali dengan gadis itu. Karena kemarin berhasil lolos dari kejarannya. Kali ini Renjana tidak akan bisa lolos lagi.

            Sembari mengatur napasnya karena lelah berlari, Renjana membenahi dirinya yang nampak berantakan. Ia memasukan bajunya yang keluar dan menyisir rambutnya dengan jari jarinya. Kemudian ia juga mengelap wajahnya dengan tisu yang ia bawa. Setelah merasa sedikit lega ia melanjutkan jalannya menuju kelasnya yaitu XII MIPA 1. Namun betapa terkejutnya Renjana saat seseorang di belakangnya menepuk bahunya dengan sedikit kencang.

            “Mau kemana kamu?” Tanya orang itu.

            Renjana yang terkejut hanya membeku di tempat tanpa berbalik. Tetapi dengan sedikit ling-lung Renjana pun berbalik untuk melihat orang itu. Saat berbalik Renaja hanya melihat dada tegap di hadapannya. Karena memang orang tersebut terbilang cukup tinggi dan Renjana hanya sebatas dadanya.

            Renjana pun kemudian membaca nametag orang tersebut, “Dirgantara Baswara.”  

            SIAL! Renjana lupa, selain pak satpam dan guru piket Dirgantara Baswara adalah orang yang harus ia hindari juga. Si ketua OSIS yang terkenal tegas dan sangat menyebalkan di mata Renjana.

            Tanpa berkata apapun Renjana segera berlari dari hadapan lelaki itu. Tapi ibarat nasi yang sudah menjadi bubur. Sebelum Renjana berhasil berlari untuk kabur lelaki itu sudah terlebih dahulu mencekal tangannya.

            “Lepas! Apaan sih!?.” Gerutu Renjana dengan ketus.

            “Engga bisa. Kamu harus dapat sanksi karena sudah menyalahi aturan yang ada!” “Ayo ikut aku ke ruang BK!” Tolak Dirga.

            Dengan histeris pun Renjana menloak tawaran lelaki itu, “ HAH! Engga mau, engga mau engga mau ! Apa-apaan ini. Aku sudah capek capek lari dari pak satpam. Eh malah ketemu kamu! Resek banget si, kenapa tiba-tiba muncul coba?” “Awas ah aku mau ke kelas mumpung gurunya belum dateng!”, imbuhnya.

            Tanpa mendengarkan ocehan Renjana, Dirgantara pun segera menarik Renjana menuju ruang BK. Dengan muka tertekuk dan bibir yang manyun beberapa centi kedepan Renjana hanya bisa pasrah. Melihat hal itu Dirga hanya tersenyum tipis sembari menggelengkan kepalanya.

            Di ruang BK Renjana pun diberi wajangan oleh Pak Rehan selaku guru BK.“Pak jangan panggil orang tua saya please , saya janji ga akan telat lagi dehh. Suer!!” Mohon Renjana pada Pak Rehan.

            “Gak, gak bisa! Sudah lima kali Jana, kamu ini sudah kelas dua belas loh. Sekolah tinggal beberapa bulan lagi padahal. Kenapa kamu seperti menyepelekan? Sudah tidak niat sekolah lagi kamu? Memangnya rumah kamu sejauh apa sampai telat terus dari kemarin?” Cecar Pak Rehan bertubi-tubi.

            “Jauh pak jauh banget malah, terus macet juga pak. Jadi telat deh saya. Bapak engga kasihan sama saya pak? Ayolah pak gak usah panggil orang tua saya ya pak?” Balas Renjana dengan memohon.

            Mendengar kebohongan yang diucapkan Renjana, Dirga pun sontak menimpali “Bohong pak! Rumah mah Renjana dekat pak. Paling sepuluh menit juga sampai.” Hal itu pun kontan membuat Renjana memelototi Dirga. Namun Dirga hanya melengos tak mempeedulikan Renjana.

            Setelah perundingan panjang akhirnya Pak Rehan memutuskan untuk tetap memanggil orang tua Renjana ke sekolah. Renjana hanya bisa pasrah menerima semuanya. Ia akan mempersiapkan dirinya agar berani memberikan surat panggilan tersebut kepada kedua orang tuanya.

            “Ei cewek, cemberut mulu. Hahaha.” Goda Dirga yang melihat wajah masam Renjana.

            “APASIH BERISIK! Semua ini itu gara-gara kamu ya! Dasar resek pergi jauh-jauh sana, gak usah dekat-dekat!” Jawab Renjana dengan kekesalan yang memuncak kemudian berlalu begitu saja meninggalkan lelaki itu.

            “Lah kok jadi salahku? Makanya jangan telat dong! Aku kan hanya menjalakan tu-,”

             Belum sempat Dirga menyelesaikan ucapannya ia segera berlari setelah melihat Renjana yang berbalik dan melihatnya dengan tatapan tak bersahabat. Ia tidak ingin memancing emosi gadis itu lagi. Jadi dia memutuskan untuk berlari menjahuinya saja.

            Sesampainya di kelasnya Renjana masih terlihat sangat muram. Ia pun segera mendudukan diri di bangkunya. Kebetulan hari ini gurunya izin datang lebih lambat. Jadi kelas Renjana masih terlihat ramai, tidak kondusif.

            Saat sedang berbincang-bincang dengan teman kelasnya, gadis dengan nametag Alifia Sasmita yang kerap dipanggil Fia mengerutkan keningnya saat melihat teman sebangkunya, Renjana. Tumben sekali Renjana yang selalu tersenyum dimana pun dan apapun kondisinya terlihat muram sekali. Ia pun segera menghampiri Renjana yang sudah duduk dibangkunya.

            “Kucel banget itu muka. Kenapa nih?” Tanya Fia sambil menaikkan turunkan kedua alisnya.

            “CK!. Kamu nanya? Bertanya-tanya?”

            Mendengar jawaban Renjana yang menirukan seorang Tiktoker’s yang belum lama ini sedang naik daun itu Fia pun tak segan untuk memukul tangan sahabatnya itu. “Woi! Orang ditanya yang bener juga”

            “KESEL! Kesel banget sama si Ketos SMA Pancasila ini. Sok-sokan banget apaan coba? Iya deh si paling Ketos.” Ungkap Renjana dengan menggebu-gebu .

            “Waduhh kenapa nih emangnya? Telat lagi kan pasti?”

            “Ya bayangin aja woi, udah capek-capek lari dari kejaran pak satpam. Sampai keringetan loh. Eh malah ketemu si Ketos kampret. Terus dibawa lah aku keruang Bk dan dapatlah surat cinta ini. Bahagianya!” Balas Renjana dengan sarkas.

            “Lagian kamu telat mulu perasaan. Mana udah lima kali. Padahal rumah juga dekat. Kita juga sudah kelas dua belas loh. Jangan gini terus Jana!” Peringat Fia yang sudah geram akan tingkah laku istimewa sang sahabat.

            “Iya sih memang aku yang salah. Tapi kan aku sudah berhasil kabur. Eh si kampret malah dengan se-enaknya nyeret aku gitu saja ke ruang BK. “ Sunggut Renjana tak terima  sambil menggebrak meja. Renjana merasa semua usahanya kabur dari pak satpam sia-sia karena ulah sang Ketos.

            Mendengar jawaban sahabatnya Fia hanya bisa menghela nafasnya sembari menggelengkan kepalanya. “Iya deh . Terus ini kamu mau gimana? Kamu berani memberikan surat itu pada kedua orang tuamu?”

            Renjana hanya diam tak menjawab. Ia lalu menelungkupkan kepalanya ke meja. Dan Fia pun hanya bisa mengusap-usap punggung sahabatnya sebagai bentuk memberikan semangat padanya. Hingga akhirnya guru datang dan pelajaran pun dimulai.

            KRING... KRING... KRING...

            Bel pulang sekolah telah berbunyi namun hal itu tidak membuat Renjana menampakkan senyumnya. Biasanya ia akan tersenyum lebar saat bel pulang sekolah sudah berbunyi. Namun, karena ia teringat harus memberikan surat panggilan pada orang tuanya senyum pun tak muncul di wajahnya sedikitpun.

            Anak-anak kelas sudah meninggalkan ruang kelas. Tetapi tidak dengan Renjana. Ia masih duduk di sana sambil menelungkupkan kepalanya di meja. Renjana tidak sendirian, ia di temani sahabatnya, Fia.

            Cukup lama Fia menemani Renjana di kelas tanpa berkata apa pun. Fia hanya duduk di sebelah Renjana sambil menatap iba pada sang sahabat. Karena tak melihat tanda-tanda Renjana ingin pulang, Fia pun akhirnya pamit pada Renjana. Selain itu Fia juga sudah di jemput oleh ibunya. Renjana pun hanya menganggukan kepalanya dan melambaikan tanggannya dengan lemas pada sahabatnya itu.

            Fia pun hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku sahabatnya itu. Ia tidak marah. Karena sangat  memahami perasaan Renjana saat ini. Sebenarnya ia masih ingin menemani Renjana tetapi ia sudah di jemput ibunya karena ada acara keluarga di rumahnya.

            Akhirnya setelah merasa sudah cukup lama ia di kelas, dengan wajah masam, bibir tertekuk kebawah, dan tubuh yang tampak lesu. Renjana pun menuju tempat parkir untuk mengambil motornya dan pulang ke rumah. Tak lupa ia memaki-maki Dirgantara sepanjang perjalanan. Padahal ini adalah waktu favoritnya tetapi menjadi terasa suram karena ulah Si Ketos Kampret itu.

            Melihat motor Dirgantara di tempat parkir membuat Renjana teringat betapa mengesalkannya lelaki itu. Ia pun kemudian mempunyai niat jahat pada lelaki itu. “Wah, kempesin gapapa kali ya? Salah sendiri resek banget jadi orang.” Ucap Renjana sembari melihat keadaan sekitar.

            Melihat keadaan sekitar yang cukup sepi mengingat memang Renjana sengaja pulang lebih lama dari waktu bel pulang. Dengan waspada Renjana pun memulai aksinya. Pertama-tama Renjana membuka tutup pentil pada ban motor. Kemudian ia menekan bagian penonjok pada tengah pentil.  Lalu keluarlah angin dari dalam ban, pertanda ban itu akan kempis.

“Hahah rasain!” Sambil kembali memasangkan tutup pentil pada ban, Renjana tertawa jahat. Layaknya antagonis dalam novel-novel.

           Renjana berani melakukan ini karena ia mendengar beberapa anak kelasnya yang seorang anggota OSIS sedang mengikuti rapat OSIS. Jadi pasti Dirgantara mengikuti rapat tersebut. Apalagi Dirgantara adalah ketuanya.

            “Lagi ngapain?”

            Seketika tawa Renjana terhenti. Wajahnya pucat pasi. Jantungnya berdetak dengan kencang. Bahkan rasanya seperti ingin terlepas dari tempatnya. Perlahan ia pun menolehkan kepalanya ke belakang. Alangkah terkejutnya ia, pemilik motor yang sedang ia kempisi bannya berdiri tepat di belakangnya sambil mentapnya dengan tajam.

            “Hehe peace.”

            “Apa ini bukankah seharusnya laki-laki itu sedang memimpin rapatnya? Kenapa ia tiba-tiba bisa di sini?” Bantin Renjana yang mati-matian menahan rasa takutnya.

             Renjana gugup sekali. Ia tertangkap basah. Pasti Dirgantara tidak akan membiarkannya begitu saja setelah ini. Ia hanya bisa tertawa canggung sambil menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal.

            “Apa-apaan ini!? Setelah terlambat kamu juga berniat mecelakaiku?”

            “Mencelakai apanya? Aku hanya mengempiskan ban motormu kok, hehe. Sudah ah bye aku mau pulang!”

            “Enak saja! Kamu harus tanggung jawab! Bantu aku dorong sampai ke bengkel!” Tandas Dirga pada perempuan yang telah mengempeskan ban motorya itu.

            “HAH!? OGAH!” Jelas sekali pasti Renjana akan menolak perintah laki-laki itu. Jika ia membantu Dirga, mau di kemanakan motornya?

            Mendengar jawaban Renjana, membuat emosi Dirga bertambah. Ia hanya menatap dingin pada Renjana. Tanpa berkata apa pun Dirga berniat mendorong motornya sendiri sampai ke bengkel. Saat sudah beberapa langkah ia mendorong tiba-tiba ia merasakan ada seseorang yang membantu mendorong motornya dari belakang.

            “Apa? Ga usah kepedean! Ini hanya karena rasa kemanusiaan.” Seru Renjana saat melihat Dirga menatapnya dengan pandangan yang aneh.

            Saat keluar dari area parkir Renjana melihat tetangganya yang rumahnya tidak jauh dari rumahnya. 

            “Eh Tasya!”

            “Tunggu dulu!” Pintanya pada Dirga dan kemudian berlari menuju ke tempat Tasya berdiri.

           Renjana pun meminta tolong kepada Tasya agar mau mengendarai motornya sampai ke rumahnya. Awalnya Tasya menolak karena merasa tidak enak pada gadis itu. Namun akhirnya Tasya pun menyetujui hal tersebut karena memang ia belum dijemput dari tadi.

            “Emangnya kamu mau kemana Jan? Terus aku harus bilang apa kalau ibumu tanya nanti?” tanya Tasya

            “Emm.. aku ada urusan mendadak. Kalau ditanya bilang saja aku sedang menjalanlankan tugas mulia hahah.”

             Mendengar jawaban aneh yang keluar dari mulut Renjana Tasya hanya mengangguk-anggukan kepala tanda setuju. Karena ia ingin segera pulang ke rumah dan merebahkan tubuhnya di kasur empuk kesayangannya. 

             “Oke deh Jan. Hati-hati ya! Terimakasih.”

              Renjana hanya mengacungkan jempolnya dan segera berlari menjuju Dirga yang sudah menunggunya di sana. “Ayo lanjut jalan!” Kemudian mereka berdua pun kembali mendorong motor sampai ke bengkel.

             “Ini pak uangnya!” Ucap Dirga sembari memberikan uangnya pada pemiliki bengkel yang sudah memperbaiki ban motornya yang kempes.

              Renjana pun segera mencegahnya dengan langsung meberikan uangnya ke tangan pemilik bengkel tersebut. “Ini saja pak! Terimakasih banyak ya pak. Kami pamit dulu”

              Renjana merasa sangat bersalah pada lelaki itu. Mau bagaimana pun ini salahnya karena telah mengempeskan motor lelaki itu. Salahnya juga karena terlambat. Dan tak seharusnya ia bertindak berlebihan seperti ini pada lelaki itu.

              Maka sebagai gantinya ia menemani Dirga mendorong motor dan juga membayarkan biaya perbaikannya. Melihat hal itu Dirga mengerutkan keningnya bingung namun kemudian ia pun hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja.

              Tanpa disuruh Renjana segera duduk di jok belakang motor Dirga. Sambil menepuk bahu Dirga ia pun berucap “Ayo antar aku pulang!”

              Mendengar hal itu Dirga pun berdecak sebal. Namun tak ayal ia tetap menjalakan motornya menuju rumah gadis itu. “Mari pak!” Ucap Dirga pada pemilik bengkel yang hanya di balas anggukan oleh pemilik bengkel tersebut.

              Di perjalanan tiba-tiba arah pandang Renjana tertuju pada gerobak cilok yang terletak di pinggir jalan yang ia lewati. dengan spontan ia pun berteriak pada Dirga.

              “Ada cilok Di! Ayo beli!” Seru Renjana pada Dirga 

                Tanpa ba-bi-bu, laki-laki itu langsung berhenti di tempat pedagang cilok tersebut. Mereka berdua turun dari motor kemudian berjalan menuju tempat pedagang cilok itu. Namun tiba-tiba Dirga mencekal tangan Renjana,

               “Tunggu di sini! Aku saja yang ke sana.”

               Sontak Renjana pun mengerutkan keningnya. Namun sedetik kemudian ia mengangguk tanda setuju.

               “Okey.”

               “Cilok pedes lima ribu dua ya Mang!” Ucap Dirga saat sudah sampai di depan gerobak pedagang cilok tersebut.

               “Siap! Ditunggu ya Mas!” Jawab pedagang cilok tersebut dengan senyum lebar yang hanya dibalas anggukan oleh lelaki di depannya.

                “Silahkan!” Ucap pedagang cilok tersebut saat pesanan lelaki itu sudah siap.

                 Dirga pun mengeluarkan dua lembar uang lima ribuan kepada pedagang itu. Kemudian ia segera menghampiri Renjana yang berdiri di samping motornya. Tak lupa ia juga mengucapkan terimakasih pada pedagang tersebut yang dibalas dengan acungan jempol oleh pedagang tersebut.

                 Begitu sampai tepat di depan Renjana, Dirga pun memberikan cilok tersebut pada gadis itu. Namun ia mengerutkan keningnya heran saat gadis di depannya menerima cilok tersebut sambil memberikan selembar uang sepuluh ribu.

                “CK! Ini sebagai tanda permintaan maaf. Jadi aku traktir deh! Baik kan aku?” Ucap gadis itu dengan sedikit narsistik saat melihat Dirga hanya kebingungan sambil melihat uang sepuluh ribu yang ia sodorkan pada lelaki itu.  

                “Gak usah! Kan semuanya salahku kan? Salahku karena menjalankan tugas dengan baik. Sal-“

                 Ucapan sarkasme lelaki itu dipotong dengan decakan sebal Renjana. Renjana pun memasukan selembar uang sepuluh ribu yang tadi ia sodorkan pada saku jaket lelaki itu. Karena kebetulan sekali lelaki itu sedang memakai jaket.

                 Aksi gadis di depannya membuat Dirga sedikit terkejut. Namun sedetik kemudian tertawa karena melihat raut sebal yang gadis itu tunjukan. 

                “Haha beneran gak usah! Uangku banyak!” tolak lelaki itu dengan narsistik.

                “SOMBONG!” Teriak Renjana sambil kembali memasukkan kembali uang yang sudah ia berikan pada lelaki di depannya.

                 Memang benar sih Dirga itu anak orang kaya. Berbeda dengan dirinya yang dari keluarga yang cukup. Dikata kekurangan juga tidak. Kaya pun juga tidak, atau mungkin bisa dibilang sedikit? Walau begitu Renjana bersyukur karena kebutuhannya selalu terpenuhi sampai sekarang.

                 Dirga hanya tertawa menanggapinya. Kemudian mulai memakan cilok yang tadi ia beli diikuti Renjana. Mereka menggigit ujung plastik cilok kemudian memakannya melalui koyakan plastik yang mereka gigit.

                 Dirga makan dengan lahap hingga tak sadar jika ada saus dari cilok yang ia makan yang tertiggal di sudut bibirnya. Melihat sudut bibir Dirga yang terkena saus Renjana pun hanya berdehem pelan.

                “Ehem.”

                 Dirga hanya menaikkan alisnya sembari melihat gadis itu. “Apa cilok yang ia beli terasa sangat pedas?” Pikirnya.  Karena mendengar Renjana berdehem jadi ia berpikir gadis itu sedang kepedasan.

                 “Itu mulutmu belepotan.”

                  Oh ternyata mulutnya belepotan toh. Dirga pikir gadis itu sedang kepedasan. Ia pun mengangkat tangannya berniat untuk membersihkan mulutnya. Namun sedetik kemudian ia berencana menjahili gadis itu.

                “Sebelah mana? Tolong bersihkan dong! Tanganku pegal sekali karena mendorong motor tadi.” Bual Dirga.

                “Eleh apaan. Kita dorong motor berdua kalau kamu lupa. Alasan saja!” Gerutu Renjana

                 Namun tangan gadis itu bergerak perlahan menuju sudut bibir lelaki di depannya. Lelaki itu membeku. Jantungnya berdetak cepat. Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman dengan pipi yang memerah hingga ke telinga.

                “KAMU SALTING??? OMO-OMO!!!” Heboh Renjana saat melihat wajah Dirga yang memerah sampai ke telinga karena ulahnya.

                  Mendegar seruan gadis itu Dirga menjadi tambah malu. Wajahnya semakin memerah. Tetapi kemudian ia berdehem pelan untuk menghilangkan rasa gugupnya. Namun hal itu sontak mengundang tawa keras dari Renjana.

                “HAHAHA. Ternyata kamu bisa salting juga ya? Hahaha.”

                   Tawa itu masih samar terdengar di telinga seorang pria yang duduk di sebelah gundukan tanah dengan bunga-bunga segar yang bertabur di atasnya. Ia tampak menyedihkan. Ia tertawa kecil. Namun air matanya juga ikut mengalir dari kedua mata indahnya.

                   Ia merasa sangat amat terpukul dengan kepergian istrinya. Tangannya bergerak mengusap batu nisan di hadapanya. Mengusap ukiran nama di batu nisan tersebut. “Renjana Pelita.”

                   Mengapa Tuhan tega sekali padanya? Kenapa Renjana meninggalkannya? Renjana bilang dia mencintainya. Tapi mengapa perempuan itu meninggalkannya di sini? Bahkan ini baru seminggu setelah pernikahan mereka berdua.

                   Andai saja. Andai saja ia tidak membiarkan istrinya pergi berbelanja sendirian. Andai saja ia tidak datang ke rapat mendadak di kantornya dan memilih mengantar istrinya berbelanja. Mungkin semua ini tidak akan terjadi.

                  Namun semua hanya andai saja. Ia sudah terlambat. Istrinya sudah pergi meninggalkannya. Meninggalkan dunia ini. Semua ini berlalu begitu saja tanpa bisa di prediksi olehnya. Dan dunianya pun seakan berhenti.

                “Sudah Dirga. Jangan menyalahkan dirimu sendiri! Semua ini takdir Tuhan. Renjana pasti juga tidak akan senang melihatmu seperti ini.” Ucap seorang gadis di belakangnya.

                 Ya, dia Dirgantara Baswara. Ia akhirnya menikah dengan Renjana setelah penantian panjang. Namun, takdir berkata lain. Tuhan sudah mengambil Renjana darinya. Renjana tewas saat terjadi penajarahan di toko yang ia datangi saat berbelanja.

                Dan gadis yang berdiri di belakang Dirga adalah Fia. Sahabat Renjana dari SMA. Ia juga sedih. Melihat Dirga yang putus asa dan menyalahkan dirinya sendiri ia merasa iba. Ia paham bagaimana perasaan suami mendiang sahabatnya itu.

                Mendengar ucapan gadis itu Dirga hanya terisak sambil memeluk bantu nisan di hadapanya erat-erat. Renjana itu bagaikan mentari untuknya. Seperti namanya “Renjana Pelita”. Ya, dia adalah ”Pelitanya”.

                Mentari memang tenggelam tetapi ia akan kembali terbit esok hari. Kembali menyinari dunia dengan cahaya indah nan terangnya. Lalu mengapa Mentarinya tidak terbit lagi? Mengapa ia tetap tenggelam, tidak menampakkan dirinya? Tenyata ada satu hal yang ia lupakan, bahwa Sang Mentari hanya dapat di pandangi, bukan untuk didekap.

               Sambil menghela napas panjang ia mencoba menerbitkan senyumnya. Ia akan mencoba menerima semuanya. Tapi mengapa rasanya sakit sekali?  Bolehkah Dirga menyusul Renjana saja sekarang? Demi Tuhan ia tidak sanggup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun