Mohon tunggu...
Asmi Zahira
Asmi Zahira Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar MTs

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biskuit Susu Dan Secarik Surat

21 Desember 2024   15:32 Diperbarui: 21 Desember 2024   23:13 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto biskuit dan buku diary. Sumber: pinterest

   Luna, dia bagai gadis yang sempurna di mataku. Cantik, pintar, dan juga populer di antara semua siswa sekolah ku.

Yah, aku cukup iri dengan apa yang Luna miliki. Tapi aku ingat satu hal, bahwa 'Sebenarnya, segala hal yang di takdirkan oleh Tuhan maka adalah takdir yang terbaik untuk kita jalani'

Perlahan aku mulai menerima dan menghilangkan rasa iri ku, sampai sebuah kejadian merubah seluruh pandangan ku terhadap Luna.

"Permisi, Zahra. Bisakah kau memberikan ini kepada Gilang pacarku? Lalu, ini ada biskuit susu sebagai rasa terima kasih ku karena kau mau membantuku. Baiklah, terima kasih ya. Aku pergi dulu."

"Ah, apa? Tunggu sebentar. Aku tidak mau memberikannya!" 

Tetapi Luna langsung memasuki mobil nya dan pergi tanpa mendengarkan ucapan ku barusan.

Bagaimana ini? Pasti akan terjadi hal buruk jika semua orang di sekolah ini tau bahwa aku membantu mengantarkan surat ini kepada pacar Luna. Pasti mereka akan salah paham. Aduh! aku membatin.

**

"Kak Gavin, bisakah kau kemari sebentar? Ada sesuatu yang dititipkan pacarmu kepadaku" begitu pesan singkat yang ku kirim, dan pesan itu langsung dibaca. 

Awalnya aku tidak berharap akan dibaca secepat ini karena aku masih ingin di perpustakaan untuk membaca, tapi ya sudahlah aku akan turun sebentar lalu kembali.

"Kau di mana? Aku akan mendatangimu"

"Aku sedang di perpustakaan. Sebentar lagi aku turun."

"Tidak usah, tunggulah sebentar di sana. Aku datang."

Aku ingin menolaknya, tapi terlambat karena Gavin sudah di ambang pintu perpustakaan sedang mencari keberadaan ku.

Aku berpikir keras agar aku tidak memberikan surat dari Luna kepadanya secara langsung. 

Ah, sebaiknya ku tinggalkan di meja lalu pergi, aku membatin sembari meletakkan surat. Lalu bagaimana dengan kue susu nya? Apa ku tinggalkan juga?

Selekasnya aku meninggalkan surat dan biskuit susu itu di meja. Sebenarnya aku ingin biskuit yang diberikan Luna untu ku. Tapi aku alergi susu sapi, sungguh disayangkan karena aku tidak bisa mencicipinya.

"Kak Gavin! Surat dari Luna ada di meja perpustakaan dengan biskuit susu. Aku ada urusan mendadak jadi tidak bisa bertemu langsung"

Pesan singkat itu dibaca, lalu dibalas singkat pula. 

"Baiklah, terima kasih"

"Iya"

Jujur, aku sangat takut jika ada yang menyadari bahwa surat dan susu itu dariku. Mungkin saja mereka salah paham, lalu mengira bahwa aku ingin merebut hati kak Gavin.

"Biskuit susu dan suratnya sudah kuberikan kepada kak Gavin." 

Cukup lama untuk Luna membaca pesanku. Sampai ada dering ponsel terdengar dari Luna.

KRINGG..KRINGG..

"Iya, Kak. Ada apa menelepon?"

"Apa yang kau maksud biskuit susu untuk Gavin!? Gavin alergi susu! Dan biskuit itu bukannya untukmu, Zahra?"

"Ah, rupanya Kak Gavin juga alergi susu. Maaf Kak, aku tidak bisa menerima biskuit itu karena aku tidak bisa memakan olahan yang memiliki kandungan susu. Lalu, sekarang bagaimana? Bukankah Kakak bisa bilang ke kak Gavin, kalau biskuit itu bukan untuknya?"

"Kurasa.."

TUTT..

Panggilan itu berakhir, tanpa salam dan ucapan terima kasih. Aku paham kalau sebenarnya ada kesalahan dalam pemberian itu, tapi bukankah seharusnya ia berterima kasih karena sudah kubantu? 

Sungguh tidak tahu tata krama! batinku.

**

"Kak, Gavin. Maaf, tadi biskuit itu seharusnya diberikan untukku. Tolong jangan marah kepada kak Luna"

Hanya dibaca, tidak ada respon walaupun sudah berlalu satu jam. Ya, sudahlah mungkin dia hanya sempat membacanya.

**

TINGG..TINGG..TINGG..TINGG...

Suara notifikasi pesan tak habis-habisnya berbunyi semenjak 5 menit yang lalu, aku membuka ponsel dan menyalakan fitur jangan ganggu.

Aku bersiap untuk ke sekolah bersama Mamah, tapi sepertinya ada yang kurang dari barang bawaanku.

"Ayla? Atau Tesla?"

"Pake yang biasa aja Mah. Kemana itu? Kok gak ada?"

Aku melihat sekeliling, mencoba mencari keberadaan mobil Chery kesayangan ku.

"Tadi Papah berangkat sama kakak pake Chery, sekarang kamu pakai Ayla aja ya?"

"Iya, Mah"

Kami masuk ke mobil, dan berangkat ke sekolah. Di dalam aku menyalakan ponselku dan mematikan fitur jangan ganggu.

Ada 358 pesan dari grup gosip. 

Pantas saja berisik sekali tadi. Bahas apa sih mereka?' batin ku.

Dan dari grup eskul 47 pesan, padahal biasanya grup ini sepi seperti tidak ada anggotanya.

Satu-satu ku baca pesan dari grup ekskul. 

Luna dan Gavin hilang? 

Aku sontak berteriak di dalam mobil, membuat mamah terkejut.

"Biasa aja, Ra! Kaget Mamah! Kalau nabrak gimana?" mamah mendengus kesal.

"Maaf, Mah. Aku juga kaget karena kak Luna dan kak Gavin hilang dari kemarin."

"Lalu? Kau kan tidak ikut campur dalam hilangnya mereka? Kenapa mesti memikirkan itu? Pikiran saja kamarmu yang masih berantakan. Nanti bersihkan sendiri. Mamah mau jalan sampai sore!"

"Iya, Mamahku..." Ada-ada saja Mamah. Malah mengalihkan topik.

DRTT... DRTTT...

Ponselku bergetar karena panggilan. Rupanya Sella.

"Waalaikumsalam, Sell."

"Zahra! Ga usah pake salam. Kamu baca grup, ga? Katanya Lita kau adalah orang yang membuat kak Gavin dan kak Luna hilang!"

"Astaghfirullah... Aku? Aku yang membuat mereka hilang? Fitnah seperti apa lagi yang Lita buat?"

"Cepatlah datang! Kau harus menjelaskan kepada orang tua kak Luna"

"Tiga menit."

"Iya, Ra"

TUTT...

Panggilan kami berakhir, dan mamah hanya melihatku sinis.

"Mah, anakmu ini mau sekolah bukan tawuran. Jangan gitu liatnya. Seram!"

"Jangan buat masalah, Papah belum memberi uang lebih buat mainanmu"

"Iya, Mah."

**

"Hey, kamu! Kemari! Apa yang kau lakukan sampai Luna tidak pulang!?"

Aku mengusap pipiku. Cuih! Dia memberi banyak bakteri di wajahku.

"Saya? Apa yang Bibi bicarakan? Saya saja tidak ikut ekskul bersama mereka kemarin. Bagaimana mungkin saya yang membuat mereka hilang?"

"Kamu tidak usah berbohong kepada saya!"

"Siapa yang berbohong Bibi? Dan itu, tolong pelan-pelan saja bicaranya. Perawatan wajah saya mahal, dan jangan sampai terkena banyak bakteri dari mulut Bibi"

Aku menunjuk ke arah wajah nya, dan itu terlihat membuatnya kesal.

"Anak kurang ajar! Tidak punya sopan santun terhadap orang yang lebih tua!"

"Oh, tidak! Zahra yang baik tidak punya sopan santun? Oh ya? Tapi saya punya uang untuk itu"

Aku mengeluarkan kartu dari saku, mengangkatnya sambil menyeringai.

"Uang menyelesaikan segalanya bukan? Saya akan membeli sopan santun. Yang seperti apa? Seperti milik Luna? Atau seperti sopan santun Bibi?"

"Itu kartu milik orang tua sa.."

Aku membungkam mulutnya dengan sapu tangan. Berisik dan mengeluarkan banyak bakteri. Bagaimana mungkin ia mengkritik sopan santun jika sikapnya saja seperti ini?

"Maaf, Bibi. Kartu ini milik saya sendiri, dan Mama saya hanya membantu melengkapi data. Dan Bibi?"

"Anak pembo..."

Bibi itu mencoba mendorongku agar aku terjatuh, namun sayangnya ia terpeleset lalu terjatuh ke tanah.

"Ups, tidak sengaja Bibi. Baiklah, ini ada kartu untuk mencari anak Bibi yang hilang bersama pacarnya. Isinya lumayan. Kalau kurang, silahkan mencari saya."

Aku tersenyum, meninggalkan Bibi itu yang membersihkan bajunya. Aku yakin dari tatapan matanya  ia akan kembali lagi untuk mencariku, Ia menganggap aku dapat dijadikan sumber keuangan.

"Bibi itu hanya mencoba mencari sumber uang agar anaknya bisa di temukan tanpa mengeluarkan biaya. Sangat disayangkan sekali!"

Aku berbicara dari pengeras suara yang terdapat di ruang OSIS, dan melihat monitor yang menampilkan gambar bahwa Bibi itu terlihat kesal.

Haha..., apakah ia tidak sadar sedang bermain dengan siapa, sekarang?

**

Polisi, guru, orang tua Gavin dan orang tua dari Luna mulai mencari keberadaannya setelah dua hari hilang tanpa kabar.

Penggeledahan kamar Luna, dan rumah Gavin pun dilakukan untuk mencari barang petunjuk. 

Di kamar Luna hampir tidak ada barang yang bisa dijadikan petunjuk. Hanya saja ada sebuah buku diary yang kekurangan halaman. Halaman itu seperti bekas robekan tangan yang tidak rapi.

Lalu, beralih ke kamar Gavin. 

Terdapat sebuah kertas di dalam buku. Kertas itu sangat menarik perhatian karena perbedaan antara warna kertas dan buku itu.

Ah, benar saja. Kertas itu bukan berasal dari buku di meja Gavin, melainkan sobekan dari buku diary Luna. Surat tersebut berisi ungkapan dari Luna untuk Gavin.

~15, pinggiran kota

Gavin, mungkin ini hal yang berat untukku
Dan juga ini adalah hal yang berat untukmu
Tapi kurasa, ini adalah pilihan terbaik.

Kau tahu, setelah pembagian raport semester kali ini aku harus menetap di luar kota bersama Ibu ku. Dan kemungkinan besar bahwa aku tidak akan bisa kembali ke sini.

Maka dari itu kurasa akan lebih baik jika kita tidak saling menunggu seperti ini. Aku ingin kembali memulai hal yang baru saat aku pindah nanti.

Maaf dan terima kasih karena sudah menjadi pacarku selama ini.

Salam sayang, Luna.

***

".. Telah ditemukan dua jasad mengapung di tepi sungai Mahakam... selama beberapa hari yang..."

Mamah memutar televisi yang menampilkan sebuah berita. Tidak seperti biasanya yang memutar siaran gosip. 

Aku pun memperhatikan berita itu. Jasad yang menghilang selama beberapa hari yang lalu.

Pikiran ku mencoba menelaah data data yang ku ingat. 

Ah, kurasa itu dia!

*

Asmi Zahira

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun