Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok-Jarot Dikalahkan Ahli Nujum Kekuasaan, Mirip Cara SBY Unggul pada Pilpres 2009?

6 Mei 2017   09:30 Diperbarui: 6 Mei 2017   10:07 1852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       Dengan cara tetap dengan etika menjunjung tinggi kejujuran. Yaitu sama sekali tidak boleh membohongi, menipu atau menyesatkan pengertian dan mengecoh pemahaman konsumen.

       Dalam kampanye menjual produk industri harus menganut tiga azas kebenaran. Yaitu kebenaran memberi informasi, mendidik atau mengajari konsumen memakai produk baru secara benar dan membujuk konsumen untuk benar-benar mau mencoba dengan membeli dengan "uang benar" agar barang yang  dibeli tidak bermasalah.  

       Di samping itu kampanye di bidang pemasaran barang industri juga beretika tidak boleh memanfaatkan testimoni karena gelar-gelar dan profesi kehormatan tertentu yang diakui kebenarannya oleh negara. Misalnya gelar dan profesi dokter, ulama, maupun militer dan lain-lain, tidak boleh digunakan untuk mempromosikan produk apapun. Kecuali untuk iklan layanan masyarakat demi kepentingan rakyat. Agar rakyat berpartisipasi apa yang dianjurkan dalam iklan testimoni tersebut.

Politik itu memang kotor kalau dijual, dibeli dan diperebutkan untuk berkuasa.

       Apa yang ditawarkan dalam pemilu, pilpres, pilgub, pilkada, pikades dan lain-lain?  Yang sudah-sudah kemiskinan bisa jadi seperti barang dagangan pokok untuk dijual dengan menjanjikan pernyataan pro rakyat. Semakin bisa mengangkat derajat kemiskinan rakyat untuk dijual semakin tinggi harapan meraih kemenangan.  

      Selama ini semua parpol pasti janji akan menyejahterakan rakyat. Pasti itu hanya janji kosong belaka. Karena mereka yang "berhasil" pada dasarnya pasti akan disejahterakan oleh rakyat. Justru rakyatlah yang sejak zaman "purba" berkewajiban dan bertanggung jawab menyejahterakan siapapun yang menjadi raja dan para setapnya. Karena mereka dianggap perwujudan para dewa yang mengejawantah.

       Rakyat yang petani, nelayan, peternak, pengusaha, pengembang, pengepul, saudagar, pedagang, pekerja, pegawai, prajurit, pengrajin, penghibur (seniman), dokter, guru, dan lain-lain yang mendapat uang dengan membuat, menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan sesamanya dan saling memberi jasa, justru merekalah yang menyejahterakan para wakil rakyat dan semua pemimpin bangsa siapapun mereka.

       Para wakil rakyat dan pemimpin bangsa hanya cukup berjanji akan setia berbakti dan mengabdi kepada rakyat yang memiliki kekuasaan murni suci dari Yang Maha Suci.  Bersumpah tidak akan menyengsarakan rakyat dengan mengedarkan uang korupsi. Dan tidak merusak persatuan rakyat dengan segala bentuk "ceramah" yang bernada SARA.  Serta berjanji untuk bekerja sebaik-baiknya demi memudahkan rakyat mencapai kesejahteraan dan menikmati kedamaian hidup rukun saling bergantung. Dari generasi ke generasi berikutnya.

Menuntut rasa keadilan?

       Sekarang tampaknya bukan lagi kemiskinan yang bisa dijual oleh mereka yang ambisi berkuasa. Keadilan tampaknya juga mulai digarap untuk bisa dijual dengan kemasan baru yang mungkin beda dengan kemasan sebelumnya—zaman sebelum ada koalisi partai-partai.

       Hal ini sangat jelas terlihat dan terdengar ada teriakan menuntut rasa keadilan yang tidak jelas apa yang dimaksud. Apakah keadilan yang harus menghabisi orang-orang semacam Ahok? Atau keadilan yang membiarkan kemiskinan untuk membangkitkan kekuasaan menguasai segalanya? Atau keadilan yang menjadikan ada para penista agama terus berlanjut berlarut-larut di negeri ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun