Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok-Jarot Dikalahkan Ahli Nujum Kekuasaan, Mirip Cara SBY Unggul pada Pilpres 2009?

6 Mei 2017   09:30 Diperbarui: 6 Mei 2017   10:07 1852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

REVOLUSI SPIRITUAL

      Tentu banyak diantara Rakyat Indonesia yang belum lupa dengan pertarungan sengit Pilpres 2009. Capres SBY-Budiono vs Mega-Prabowo. Yang dimenangi SBY-Budiono.

       Memang sempat terjadi “ketegangan” saat penentuan capres-wapres. Mega-Pro atau Pro-Mega yang harus tampil.   Yang pasti paslon mana pun yang dipilih pasti kalah lawan SBY-Budiono. Karena kemenangan SBY-Budiono sudah diprediksi atau dinyatakan pasti menang oleh politisi handal dari kubu SBY karena mesin politik Partai Demokrat sangat profesional waktu itu.   Kata orang awam politik yang bertuhan, mesin politik Patai Demokrat sudah mendahului keputusan Tuhan. Mana ada belum coblosan sudah tahu siapa yang menang?

       Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Kekalahan Ahok-Jarot pun sudah diramalkan bukan oleh mesin politik partai pengusung dan para pendukungnya. Melainkan oleh seluruh “ahli nujum politik” professional yang sangat pandai mengolah data-fakta-kata-cara sesuai dengan target kepentingan mendapatkan benefit dari kelebihan berilmu nujum yang semakin kreatif menguasai pasar perdagangan politik.

       Hal itu bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi mungkin juga di negara-negara lain,  termasuk di Amerika.

       Maka jangan heran jika di N.K.R.I. yang sangat luas wilayahnya dengan ratusan juta rakyatnya, yang tak akan pernah sepi dengan perdagangan "industri" politik karena berbagai macam “pilkada” dalam berbagai tingkatan hampir sepanjang tahun di selenggarakan. Yang tentu saja akan menjadikan bisnis “pernujuman” politik kian subur. Karena sangat menjanjikan bisa diwarisi sampai anak cucu sampai buyut.

       Kemajuan teknologi harus diakui telah meninggalkan tradisi lama minta berkah dengan ziarah ke tempat-tempat keramat; bikin tumpeng kirim doa; bikin sajian kembang dan asap kemenyan yang biasa dilakukan dalam ritual-ritual khusus untuk meraih yang disebut oleh orang jawa “pulung" atau mungkin "wahyu” kemenangan memegang kekuasaan.

Kampanye barang dagangan lebih beretis dibanding kampanye “pilkada?”

       Kampanye pilkada—DKI Jakarta, seperti tak beda dengan memasarkan—beriklan, produk baru yang dibutuhkan konsumen untuk merebut sebagian pasar yang sudah dimiliki produk-produk lama yang sudah melekat di hati konsumen.

       Hanya saja dalam dunia perdagangan—industri, sangat teguh memegang etika atau prinsip harus menjaga kualitas produk pesaing. Antara lain tidak boleh mengganggu dengan merendahkan kualitas barang—merek, lain sebagai pesaing yang sudah ada.

       Meskipun demikian dalam kampanye tidak dilarang menonjolkan kelebihan produk baru yang dipasarkan yang menjanjikan keuntungan lebih bagi konsumen yang diharapkan mau membeli dan menggunakan.

       Dengan cara tetap dengan etika menjunjung tinggi kejujuran. Yaitu sama sekali tidak boleh membohongi, menipu atau menyesatkan pengertian dan mengecoh pemahaman konsumen.

       Dalam kampanye menjual produk industri harus menganut tiga azas kebenaran. Yaitu kebenaran memberi informasi, mendidik atau mengajari konsumen memakai produk baru secara benar dan membujuk konsumen untuk benar-benar mau mencoba dengan membeli dengan "uang benar" agar barang yang  dibeli tidak bermasalah.  

       Di samping itu kampanye di bidang pemasaran barang industri juga beretika tidak boleh memanfaatkan testimoni karena gelar-gelar dan profesi kehormatan tertentu yang diakui kebenarannya oleh negara. Misalnya gelar dan profesi dokter, ulama, maupun militer dan lain-lain, tidak boleh digunakan untuk mempromosikan produk apapun. Kecuali untuk iklan layanan masyarakat demi kepentingan rakyat. Agar rakyat berpartisipasi apa yang dianjurkan dalam iklan testimoni tersebut.

Politik itu memang kotor kalau dijual, dibeli dan diperebutkan untuk berkuasa.

       Apa yang ditawarkan dalam pemilu, pilpres, pilgub, pilkada, pikades dan lain-lain?  Yang sudah-sudah kemiskinan bisa jadi seperti barang dagangan pokok untuk dijual dengan menjanjikan pernyataan pro rakyat. Semakin bisa mengangkat derajat kemiskinan rakyat untuk dijual semakin tinggi harapan meraih kemenangan.  

      Selama ini semua parpol pasti janji akan menyejahterakan rakyat. Pasti itu hanya janji kosong belaka. Karena mereka yang "berhasil" pada dasarnya pasti akan disejahterakan oleh rakyat. Justru rakyatlah yang sejak zaman "purba" berkewajiban dan bertanggung jawab menyejahterakan siapapun yang menjadi raja dan para setapnya. Karena mereka dianggap perwujudan para dewa yang mengejawantah.

       Rakyat yang petani, nelayan, peternak, pengusaha, pengembang, pengepul, saudagar, pedagang, pekerja, pegawai, prajurit, pengrajin, penghibur (seniman), dokter, guru, dan lain-lain yang mendapat uang dengan membuat, menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan sesamanya dan saling memberi jasa, justru merekalah yang menyejahterakan para wakil rakyat dan semua pemimpin bangsa siapapun mereka.

       Para wakil rakyat dan pemimpin bangsa hanya cukup berjanji akan setia berbakti dan mengabdi kepada rakyat yang memiliki kekuasaan murni suci dari Yang Maha Suci.  Bersumpah tidak akan menyengsarakan rakyat dengan mengedarkan uang korupsi. Dan tidak merusak persatuan rakyat dengan segala bentuk "ceramah" yang bernada SARA.  Serta berjanji untuk bekerja sebaik-baiknya demi memudahkan rakyat mencapai kesejahteraan dan menikmati kedamaian hidup rukun saling bergantung. Dari generasi ke generasi berikutnya.

Menuntut rasa keadilan?

       Sekarang tampaknya bukan lagi kemiskinan yang bisa dijual oleh mereka yang ambisi berkuasa. Keadilan tampaknya juga mulai digarap untuk bisa dijual dengan kemasan baru yang mungkin beda dengan kemasan sebelumnya—zaman sebelum ada koalisi partai-partai.

       Hal ini sangat jelas terlihat dan terdengar ada teriakan menuntut rasa keadilan yang tidak jelas apa yang dimaksud. Apakah keadilan yang harus menghabisi orang-orang semacam Ahok? Atau keadilan yang membiarkan kemiskinan untuk membangkitkan kekuasaan menguasai segalanya? Atau keadilan yang menjadikan ada para penista agama terus berlanjut berlarut-larut di negeri ini?

       Lalu? Untuk apa yang disebut “rasa keadilan” itu dituntut? Apakah keadilan itu dianggap tidak peduli alias bebas menafsirkan  makna abstrak simbol orang menutup mata dengan mengangkat timbangan dengan pedang terhunus siap membunuh siapa pun yang harus terbunuh?

       Bagi penulis keadilan itu ada pada perasaan mendesak yang menyiksa yang butuh segera disikapi dengan perbuatan nyata yang menghilangkan desakan yang menekan dan menyiksa perasaan setiap pribadi seseorang. 

       Jadi kalau seseorang menuntut keadilan, pada dasarnya adalah menuntut pada diri sendiri untuk mempunyai rasa, sikap dan perbuatan adil terhadap diri sendiri.

       Bisa diibaratkan seperti seseorang merasa terdesak dan tersiksa lapar, maka harus segera makan. Tidak bisa merasa lapar dihilangkan dengan menyuruh orang lain yang harus makan.  Ada yang tidak sependapat, tidak masalah. Pada setiap pribadi seseorang rasa hidup itu hanya satu. Yaitu rasa hidup itu sendiri, tetapi yang dirasakan bisa sejuta rasa dalam detik yang sama.

       Jadi “menuntut keadilan” itu tidak ada. Pasti hanya pura-pura untuk alasan bikin gaduh-riuh yang tidak jelas juntrungannya. Yang ada justru hanya “rasa keadilan” itu sendiri yang sudah ada pada diri setiap pribadi seseorang.

       Menuntut keadilan itu melakukan tuntutan yang sulit untuk dipenuhi orang lain. Yang ada adalah menuntut kebijaksanaan negara agar setiap orang bertanggung jawab sesuai dengan perbuatan yang merugikan siapa pun secara nyata bisa diukur atau dinilai dengan fakta perbuatan yang dilakukan.

       Mengukur kadar perasaan—"rasa manusia" tidak ada standarnya. Yang terasa sangat menyenangkan didengar seseorang belum tentu sama bahkan bisa sebaliknya didengar dan dirasakan oleh orang lain.

       Apakah lembaga peradilan diadakan untuk menegakkan keadilan? Tentu saja tidak. Lembaga peradilan, hukum dan semua lembaga penegakan hukum bukan untuk menegakkan keadilan. Melainkan untuk menjaga, melindungi, menghormati dan menghargai hak dan kewajiban setiap warga negara dan pejabat negara.

       Keadilan bukan untuk melindungi golongan, kelompok atau organisasi tertentu. Melainkan untuk  menghormati, menghargai, melindungi dan menjaga hak setiap individu. Termasuk hak berpendapat, berbicara menyampaikan kebenaran yang menentramkan hidup bersama dengan sesamanya yang tentu saja serba banyak dalam perbedaan. Keadilan sama sekali bukan untuk melindungi perusak moral bangsa.

       Kalau seseorang merasa dihina apakah adil jika yang menghina dipukuli, didemo besar-besaran lalu dipenjara? Keadilan yang diajarkan siapa itu? Tindakan yang adil kalau sekiranya yang dihina membalasnya dengan hinaan yang setimpal pula. Dan jangan lupa bahwa penghinaan hanya berupa perbuatan dengan kata-kata yang "dianggap" atau diduga merendahkan.

       Memang dalam hidup yang unik indah ini semua hal yang sangat menyenangkan dan yang tidak menyenangkan bisa terjadi secara tidak terduga tetapi bisa dikondisikan manusia. Karena manusia adalah mahluk serba bisa menciptakan segalanya. Termasuk menciptakan keonaran alamiah tentang bumi datar atau bulat. Dan menciptakan "keonaran" rohaniah tentang yang disebut iman dan surga.

       Penulis punya pengalaman dengan menyaksikan. Seseorang memberitahu seorang teman baik dengan maksud baik pula. Tetapi reaksi teman baik tersebut sungguh di luar dugaan. Teman tersebut justru berkata dengan ketus: “Aku tidak butuh kau ajari!”  pertengkaran kecil segera terjadi dan memang segera usai. Penulis hanya terdiam dan segera menyadari bahwa yang kita kira baik dan benar ternyata belum tentu baik dan benar bagi orang lain. Sehingga salah paham dalam rumah tangga pun hal yang lumrah meski memang bisa disengaja.

      Tetapi sungguh sangat mulia  jika yang dihina tidak  merasa sakit hati karena dihina dan senantiasa konsisten memperlihatkan kemuliaan dirinya. Dengan menunjukkan sikap dan perbuatan mulia yang sesuai dengan makna nada suara yang jelas nyata dan benar  diucapkan.  Dan tak malu minta maaf dengan tulus bila dengan ucapannya ada pihak yang merasa tersinggung.

Pilkada DKI Jakarta 19 April 2017. 

       Hampir semua tokoh terhormat negeri ini tampak "sewarna" memandang bahwa pilkada berlangsung sangat indah, sukses dan demokratis. Selesai pilkada ketegangan pada masa kampanye melenyap dengan sendirinya.  Sudah selesai.  Semangat rakyat segera tampak sudah kembali mencair seperti sediakala. 

       Ada tokoh yang mengatakan bahwa sudah biasa ketegangan membudaya dalam masyarakat pada masa kampanye, toh kemudian akan mencair kembali. Walaupun seringkali ada kurban toh itu bisa segera dilupakan begitu saja. Itu sudah "biasa."  

       Hati-hati mencermati sikap dan pandangan demikian. Sangat bisa menyesatkan. Pada kondisi apa pun di dalam negara tidak boleh ada ketegangan dalam masyarakat. Apa lagi pada masa kampanye yang berkepentingan langsung dengan politik atau hak menggunakan kekuasaan tertinggi dalam tatanan bernegara. Sebab kegiatan politik tak pernah berhenti satu detik pun dalam kehidupan bernegara.

      Pengalaman bernegara menunjukkan. Selesai pemilu atau pilpres pertarungan politik tidak serta merta berhenti dan selesai. Sampai pada hari H pemilu atau pilpres berikutnya. Dan yang demikian sangat mengganggu kehidupan rakyat dalam bernegara sehari-hari. Gerilya politik di Senayan sampai di jalanan bisa merayap ke mana-mana sampai ke pasar-pasar tradisional dan tempat pembuangan sampah.

       Ketegangan—kepanikan, hanya boleh terjadi bila masyarakat menghadapi fenomena-fenomena perilaku alam, wabah penyakit atau ada gejala marak tindak kriminal yang seperti terorganisir berwujud tawuran, penjarahan dan perampokan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia. Tetapi semua pihak harus berusaha menenangkan masyarakat, Walau sangat mungkin justru ada sementara pihak yang bisa memanfaatkan situasi untuk kepentingan tertentu.

       Dugaan penulis. Kemenangan yang menang pada Pilkada DKI 2017, adalah sukses para "ahli nujum" meramalkan kemenangan yang akan menang. Dan sangat disadari oleh mereka bahwa tidak cukup hanya gencar kampanye dengan wawancara di televisi, youtube dan medsos saja untuk merebut sebuah kemenangan.

       Kampanye politik harus didukung pula dengan kemampuan mengorganisir dan mengkoordinir mahluk-mahluk yang disebut jin, setan dan tuyul yang umumnya di masyarakat Indonesia sangat dikenal sebagai mahluk “halus” atau disebut orang Jawa sebagai bongso lelembut.

       Ahli-ahli nujum inilah yang saat ini mahir dan giat menjual dan mempromosikan "kekuasaan." Mereka yang kreatif mengkoordinir segala jenis mahluk halus untuk berkolaborasi memenangkan merebut hak politik rakyat.

       Para ahli nujum itu mungkin kaum penyembah berhala termasuk golongan mahluk halus yang meliputi jin, setan dan tujul.  Tuhan golongan ini bukan Tuhan Yang Maha Esa, pada Pancasila.

       Pembaca boleh percaya atau tidak percaya. Patut diduga tuhan mereka bernama khas asli Indonesia yang belum disebut dengan sebutan “sang penguasa rupiah yang maha trilunan” yang bisa dinikmati langsung tanpa lewat pintu perbankan apa pun. Maka tidak bisa kena otete “kapeka.” Karena ada orang yang bilang mereka ada di alam “dimensi” yang mungkin agak sama dengan alam yang mungkin di diami Dimas Kanjeng.

       Yang namanya golongan ahli nujum pasti “seideologi” dengan golongan setan, jin dan tuyul. Pasti tahu cara mengguncang jiwa dan pikiran manusia satu-satunya mahluk hidup yang beriman dan bertuhan.  Karena mereka mahir ikut blusukan di seluruh tempat pemuja berhala untuk memecah persatuan bangsa.

       Mereka bisa hadir dengan mengaku sebagai para normal yang paling tahu tentang tuhan yang harus disembah dan dimuliakan. Juga fasih cerita tentang iman yang masih abstrak yang katanya bisa menjamin masuk surga. Bahkan golongan ini mungkin sama sekali sama sekali tidak pantang pura-pura mengaku sebagai malaikat.  Atau mengaku sebagai orang suci yang merasa paling benar dan paling berhak memaksa, memaki dan menuduh dengan keji seluruh penegak hukum negeri ini untuk menghukum gubernur-gubernur, polisi, jaksa dan hakim yang dilumuri fitnah apalagi jika hanya memaki seorang presiden di depan umum.

       Dan yang lebih hebat adalah peran tuyul-tuyul yang biasanya dipercaya orang suka mencuri duit orang-orang berduit secara “gaib.” Menjelang pilkada justru mereka menebar “amplop” di kalangan rakyat tertentu untuk membeli iman demi kapling surga yang dijanjikan. Tentu saja diiringi doa mohon agar mereka yang sembahyang di pura-pura atau kuil-kuil, tempat keramat dan candi-candi sudi menolak Ahok-Jarot.

       Pada hal surga maupun neraka tidak bisa dibeli dengan iman dan doa. Surga dan neraka hanya bisa didapat dengan amal baik atau amal buruk kepada sesama. Bukan amal baik kepada Tuhan. Tuhan tidak butuh amal baik manusia. Sebab DIA sendiri adalah sumber segala kebaikan. Tuhan hanya berharap umatnya mau bertaqwa dan pandai besyukur.

       Menyongsong Pilpres 2019.  Kalau bisa, gejala banyaknya ahli nujum menjual kekuasaan harus dihentikan. Kekuasaan bukan untuk dijual-belikan. Melainkan harus diberikan secara mana-suka atau suka-hati yang luber yang artinya harus diberikan secara luhur dan bersih.

       Karena "luber" yang awalnya berarti langsung umum bebas dan rahasia sudah tidak sesuai lagi dengan realita yang bisa dimanipulasi dengan ketinggian peradaban yang tampaknya tidak berpantang melakukan berbagai konspirasi memainkan kata-data-fakta untuk merubah daya berpikir sehat rakyat.

       Luber yang dipraktikan pada pilkada-pilkada belakangan umumnya sudah berubah wujud menjadi licik, usil, brengsek dan runyam. Karena hak berpolitik setiap pribadi rakyat yang harus dihormati, disucikan, dirahasiakan dan dilindungi negara ternyata boleh dikorek-korek dari otak, sampai dasar lambung perut, hingga tersisipi uang tuyul ke dalam dompetnya.

Waspadai penyesatan informasi menjelang pilpres 2019.

       Waspadai penyesatan informasi menjelang pilpres 2019. Sebab bisa merusak persatuan dan kesatuan bangsa yang mulai diakui dunia internasional tentang martabat, manfaat, nikmat dan keindahan keberadan N.K.R.I..

       Waspadai suara yang mengajak kembali menghidupkan negara nusantara yang tidak pernah ada. Atau kembali kepada kejayaan Sriwijaya, Majapahit atau Mataram yang cuma sekejap dalam kehidupan yang langgeng.

       N.K.R.I. adalah hidup abadi Rakyat Indonesia. N.K.R.I. sama sekali bukan seperti barang yang bisa dijual dengan harga mati yang tak berdaya diperebutkan, dilelang dan dipermainkan turunan beberapa penguasa kerajaan-kerajaan nusantara masa lalu yang tamak, korup, pendendam, salah asuh, banyak selir dan berdarah dingin.

       N.K.R.I. adalah hidup abadi Rakyat Indonesia yang senantiasa mampu menyempurnakan kejayaannya dengan kehormatan kemuliaan sebagai Bangsa Indonesia yang berpancasila karena bertuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa .

       Harus diterima dan disadari bahwa N.K.R.I. bisa semakin kabur atau samar wujudnya bila Pancasila kian tak dikenal maknanya. Meskipun merah-putih tetap dikibarkan; lagu Indonesia Raya tetap dinyanyikan, bahasa Indonesia tetap dipercakapkan dan rupiah cuma diganti-ganti gambarnya. Tetapi apa artinya bila bangsa dan negara N.K.R.I. tidak mengenal Apa dan Siapa Tuhan Yang Maha Esa yang ada dalam dalam Pancasila sebagai sila pertama.

Raja Arab Saudi mau lebih dekat dengan Tiongkok yang komunis?

       Orang Tiongkok sangat mungkin tidak akan mau sembunyi-sembunyi merayap ke Indonesia, karena negaranya kebanjiran dolar dari negara Arab. Kerajaan Arab agaknya lebih suka dan percaya kepada Tiongkok yang komunis yang tidak bertuhan dari pada dengan Indonesia yang berpancasila tapi selalu ramai dan gaduh dengan penistaan, penyesatan dan perselisihan faham-faham dalam agama.

       Ada pejabat negara yang menyatakan PKI sudah tidak ada karena memang dilarang ada di N.K.R.I.. Dan diperkuat pula oleh pernyataan pejabat negara yang lain yang terkesan menyatakan bahwa PKI benar-benar sudah tidak ada yang diakui oleh bekas orang-orang PKI sendiri. Tetapi pernyataan ini seperti bisa diolah untuk dipertentangkan.  

       Tetapi harus diakui bahwa mungkin masih ada pihak berkepentingan yang dengan keberadaan PKI untuk dimanfaatkan aromanya. Maka keberadaannya masih sering dipegunjingkan di mana saja.

       Bisa dianalogikan. Majapahit sudah tidak ada dan turunan penguasa Majapahit pun pasti mengakui bahwa Majaphit benar-benar sudah tidak ada.

Isu “makar”

       Isu “makar” cukup santer disuarakan di dalam dan dari luar sana. Ada yang berteriak-teriak membantah, ada yang tampak panik dan gelisah dan mungkin ada yang mulai bertanya-tanya tentang kemungkinannya.

       Tetapi panglima TNI terkesan menegaskan bahwa “makar” dalam bentuk apa pun tidak akan pernah bisa terjadi di N.K.R.I.. Karena kesigapan dan kepekaan insting POLRI mencium sinyal bahaya dari mana pun tidak seperti radar yang dibuat untuk kepentingan manusia.

Ribuan tebaran karangan bunga untuk Basuki-Jarot?  

       Informasi nyata dan jelas yang membuat seluruh dunia terpukau adalah ada ribuan tebaran karangan bunga yang indah yang dikirim oleh pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok yang tidak terbilang jumlahnya. Bukan dari Jakarta saja tetapi juga dari berbagai tempat dari luar Jakarta bahkan luar negeri, menyambut kekalahan terhormat Ahok-Jarot di Pilkada DKI Jakarta 19 April 2019. Alih-alih juga sebagai pengakuan dan kesaksian dunia kepada Anis-Sandi yang memenangkannya dengan sangat terhormat.

       Maaf. Kalau boleh penulis merenungi dan menduga. Jangan-jangan yang demikian adalah wujud Salaamun qaulan min rabbir rahiimi kepada seluruh Bangsa Indonesia umumnya. Terutama kepada warga Jakarta khususnya.

       Karena punya sosok-sosok seorang Basuki Tjahaya Purnama, Djarot Saiful Hidayat, Anis Baswedan dan Sandiaga Uno. Pertarungan mereka patut diteladani Bangsa Indonesia. Karena pertarungan itu terpaksa dilakukan demi menaati undang-undang. Dan menjunjung tinggi etika bernegara—demokrasi.  Warga Jakarta harus waspada jangan sampai Anis-Sandi juga hanya seperti Ahok-Jarot sebagai "pengkhianat" bagi penghuni liar warga Jakarta.

Rencana pindah ibukota

       Dalam ramalan pujangga jawa Ronggowarsito. Bahwa ada tujuh satrio piningit. Dengan sebutan masing-masing dari satu sampai yang ketujuh.

       Yang keenam disebut sebagai Satrio Boyong Gapuraning Projo. Dan satrio piningit ketujuh adalah Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu.

       Penulis mengaku bukan penganut kepercayaan atau keyakinan apap pun. Tetapi berusaha menghargai dengan mencoba memahami pemikiran-pemikiran orang-orang masa lalu yang tetap ada hingga saat ini karena dituliskan.

       Dalam penafsiran penulis yang disebut satrio piningit adalah seseorang laki atau perempuan yang terjaga dengan sangat kokoh sehingga sangat “dibatasi—diawasi,” segala perilaku dan perbuatannya. Tentu saja orang yang bersedia sangat dibatasi dan diawasi kebebasannya adalah seorang pemimpin—presiden.  Terutama agar tidak sempat berselingkuh dalam hal atau bentuk apapun dengan siapapun.

       Yang mungkin agak perlu diduga adalah keberadaan Satrio Piningit yang keenam yang disebut Satrio Boyong Gapuraning Projo yang mungkin bisa diartikan secara harafiah pemimpin yang memindahkan ibu kota negara. Terkait dengan rencana pemindahan pusat pemerintahan—ibu kota,  N.K.R.I.  oleh presiden ketujuh—Presiden Jokowi.

       Penulis menduga. Mungkin ramalan Ronggowarsito yang meleset, atau penulis yang gagal total menafsirkan ramalan tersebut.

Kisruh de-pe-de.

       Belum lama ini terjadi hiruk-pikuk di Senayan. Sungguh memprihatinkan. Karena mereka itu diberi kehormatan oleh rakyat daerah masing-masing sebagai wakil daerah. Bukan sebagai wakil rakyat yang serba berbeda dengan latar belakang politik.

       Yang perlu dipertanyakan apakah mereka tidak mengerti dengan peranan mereka sebagai wakil daerah-daerah dari negara yang berpancasila?

       Penulis menduga kekisruhan tersebut mungkin sebagai ekses dari keberadaan Ka Em Pe dan Ka I Ha yang sudah tidak lagi jelas keberadaannya di Em Pe Er. Hal tersebut agak serupa dengan ketuk palu Fahri Hamzah yang sangat mungkin cuma pertunjukan dari sebuah adegan dari drama ikatepe.

       Kapeka memang harus “diawasi” jangan sampai terjatuh karena kekuatannya.   Musuh kapeka banyak sekali dan bermacam-macam.  Dan sangat mungkin musuh-musuhnya secara “cerdik” berusaha untuk membenturkan pemerintah yang memberantas korupsi dengan kapeka.   Mari ditonton saja anomali hak angket ikatepe yang kelihatan "seksi"  tetapi mungkin impoten.

       Mari kita berdoa bersama Tuhan. Sebab Tuhan juga berharap agar warga Jakarta segera dapat menikmati kehidupan yang terbebas dari kemacetan, kekumuhan, kemiskinan dan kemunafikan.

       Tuhan juga berharap. Warga Jakarta segera memiliki Jakarta yang berudara segar yang dialiri banyak sungai yang jernih di tengahnya. Sebab mengurus Jakarta sama sekali bukan urusanNYA apa lagi urusan presiden. Urusan DKI Jakarta "mutlak" urusan warga Jakarta dan Pemda DKI.

       Apalagi urusan demonstrasi-demonstrasi di Jakarta yang sering teriak-teriak membawa-bawa namaNYA. Semuanya bukan urusan Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua urusan dan tanggung jawab kaum ulama dan umat beragama yang konsekwen dengan tuntunan agama yang dianut.

      

       Demikian. Terimakasih kepada yang telah sempat membaca tulisan ini.  Diiringi salam bahagia sejahtera bagi seluruh warga Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun