"Mana kutangku. "
"Haduh ... baik, saya jelaskan ... sepeda itu adalah sepeda biasa, tapi sudah ditanam bom dalam bannya! Kalau rodanya tidak berputar, tidak apa-apa. Tapi sekali berputar, dia tidak boleh berhenti atau bom akan meledak dan membunuh pengendaranya."
Sontak Tri pucat.
"Situ jangan main-main, ya!"
"Lha, siapa yang main-main? Ini serius! Kikikikiki ..."
"Kalau memang serius, rugi apa buat saya-nya? Sayanya malah terima kasih, je, situnya sudah kasih tahu lebih dulu. Jadi nanti sayanya bisa bilang Themel supaya jangan naikin sepeda itu. Gampang, kan? Situ ngasih tahunya kecepetan, sih."
"Kecepetan gimana? Lha itu, kelihatan dari keker saya si Teguh lagi muter-muter naik sepeda."
Mbang jleger!
Tri langsung lari kalang kabut ke depan rumah. Orang yang meneleponnya ini pastilah mengamati rumahnya. Sekarang kalau dia mengatakan bahwa Themel sedang mengendarai sepeda itu, bisa jadi betul. Sampai di depan rumah, Tri lega tapi kekhawatirannya tidak hilang. Lega karena ternyata bukan Themel yang sedang bermain-main sepeda, khawatir karena yang bermain sepeda justru Margono, karib tersayang suaminya.
"Kepenak, Mbakayu! Nggowesnya enteng!" teriak Margono riang melihat Tri hanya bisa berdiri memandanginya dengan wajah pucat. Sepeda dibawanya berkeliling, bolak-balik, muter-muter di halaman yang luas.
Dengan jantung berdebaran, Tri berkata pada orang yang meneleponnya, "Cepat serahkan penawarnya!"