Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepeda Misterius Buat Themel

4 Mei 2012   10:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:44 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13361263761441872888

Sepeda Misterius Buat Themel

Oleh: AK Basuki

Sepulang kerja, Tri keheranan melihat satu sepeda anak-anak yang masih baru dan mlipis teronggok di teras rumah. Kepalanya celingukan. Mungkin saja ada Sagrip, Themel atau Margono bisa dia tanyai. Tapi tidak ada orang. Sepi. Dengan penasaran, Tri mengambil dan membuka sebuah amplop biru yang terselip pada setang sepeda baru itu. Ternyata sebuah kartu ucapan bergambar "Hello Kitty". Tri hampir ketawa membaca tulisan di dalamnya. Begini isinya:

Terutnuk Teguh ......

Slamet ulang taun ya semoga panjag umur dan sekhat slau

Dari akunya

Gemini grill

Tulisannya memang acak-acakan dan bahasanya pun kacau, tapi Tri tidak yakin itu dikirim oleh teman sekolah Themel. Itu pasti kerjaan orang iseng.

"Guh! Teguh!" dipanggilnya Themel, tapi tidak ada jawaban dari rumah. Padahal Tri melihat sepatu sekolah anak itu tergeletak di atas keset depan pintu. Sambil menggerutu, diselipkannya lagi kartu ucapan yang tadi dibacanya dan membereskan sepatu Themel. Nanti saja, pikirnya. Kalau semua sudah di rumah biar dia tanyai. Untuk sementara sepeda itu dia biarkan saja.

Ketika dia sedang berganti pakaian, didengarnya suara Margono di halaman.

"Mbakayuuuu ... sepeda siapa iniiii?"

Tri melongokkan kepala lewat jendela kamar depan.

"Lha, mbuh. Dari tadi di situ. Katanya hadiah ulang tahun buat Teguh. Tapi wong Teguh itu lagi nggak ulang tahun, je."

Margono pun melihat kartu ucapan itu dan penasaran membukanya. Ngakak dia.

"Waduh, Themel punya penggemar!" katanya. Tri menjulurkan tangannya dan melemparkan botol parfum bekas ke arah Margono, tapi luput. Klonthang!

"Penggemar jidatmu itu!" makinya. Margono ngakak.

"Tek coba ya, Mbakayu?"

"Hissh! Jangan! Barang belum jelas jangan diubah-ubah."

"Lha, cuma dinaikin aja muter latar gitu masa nggak boleh?"

"Sampai jelas dulu itu barang punya siapa, baru boleh!" tegas Tri lalu pergi ke dapur. Tinggallah margono yang klepas-klepus merokok sambil mengamati sepeda anak-anak itu. Margono bukanlah Margono jika begitu saja manut sama orang. Belum lima menit Tri melarangnya, sudah dua menit dia melanggar. Santai saja dia duduk di jok dan tubuhnya sengaja dimentul-mentulkan untuk merasai per jok sepeda itu. Tubuhnya kecil, tentu saja sepeda anak-anak itu tidak jebol seperti jika misalkan Sagrip yang menaikinya.

Di dapur, telepon genggam Tri berbunyi. Sebuah nomor asing nongol di layar. Tri mengernyitkan dahi. Jarang telepon genggamnya itu ada yang menghubungi kecuali bapak atau teman-teman kerjanya. Suaminya sendiri, Sagrip, tidak pernah punya telepon genggam.

"Assalamu'alaikum ... halo?"

Diam sebentar lalu ada suara laki-laki, "Kum salam ... halo ... apa benar saya bicara dengan Tri-nya Sagrip?"

"Betul ... dengan siapa ini, Pak?" Sepertinya Tri tahu siapa pemilik suara itu, tapi dia ragu-ragu.

"Ini dengan seseorang, pokoknya."

"Mas Sairin, ya? Mas Bumpet?"

"Ha? Eh ... buk ... buk.. kaan ... saya Har ... Har ... Harno ..."

"Ah ... ini pasti Mas Bumpet. Iya apa ora? Lha wong suaranya kaya Pak RT dipencet hidungnya gitu," eyel Tri. Lalu telepon di seberang seperti berpindah tangan dan terdengar seseorang memaki di latar belakang, "Asem kecut! Ketahuan!"

Suara yang lain mengambil alih pembicaraan, "Halo!"

"Halo ... siapa sih ini? Kalau mau iseng jangan pas saya lagi masak, ya! Nanti aja kalau sudah beres!"

Yakin Tri ini kelakuan Bumpet. Sejak konfrontasi dengan suaminya beberapa waktu lalu, mungkin dia masih dendam dan akan melakukan sesuatu yang tidak mengenakkan. Dia harus waspada.

"Ssshh! Dengarkan saya dulu ... " kata suara di seberang dengan suara yang dibuat-buat berwibawa, "Sepeda di depan itu, yang masih baru itu, tahu apa maksudnya?"

"Mana kutangku. "

"Haduh ... baik, saya jelaskan ... sepeda itu adalah sepeda biasa, tapi sudah ditanam bom dalam bannya! Kalau rodanya tidak berputar, tidak apa-apa. Tapi sekali berputar, dia tidak boleh berhenti atau bom akan meledak dan membunuh pengendaranya."

Sontak Tri pucat.

"Situ jangan main-main, ya!"

"Lha, siapa yang main-main? Ini serius! Kikikikiki ..."

"Kalau memang serius, rugi apa buat saya-nya? Sayanya malah terima kasih, je, situnya sudah kasih tahu lebih dulu. Jadi nanti sayanya bisa bilang Themel supaya jangan naikin sepeda itu. Gampang, kan? Situ ngasih tahunya kecepetan, sih."

"Kecepetan gimana? Lha itu, kelihatan dari keker saya si Teguh lagi muter-muter naik sepeda."

Mbang jleger!

Tri langsung lari kalang kabut ke depan rumah. Orang yang meneleponnya ini pastilah mengamati rumahnya. Sekarang kalau dia mengatakan bahwa Themel sedang mengendarai sepeda itu, bisa jadi betul. Sampai di depan rumah, Tri lega tapi kekhawatirannya tidak hilang. Lega karena ternyata bukan Themel yang sedang bermain-main sepeda, khawatir karena yang bermain sepeda justru Margono, karib tersayang suaminya.

"Kepenak, Mbakayu! Nggowesnya enteng!" teriak Margono riang melihat Tri hanya bisa berdiri memandanginya dengan wajah pucat. Sepeda dibawanya berkeliling, bolak-balik, muter-muter di halaman yang luas.

Dengan jantung berdebaran, Tri berkata pada orang yang meneleponnya, "Cepat serahkan penawarnya!"

"Kikikikikikik ... penawar? Memangnya saya ngirim racun? Saya kan ngirim bom."

Tri menepuk jidat.

"Apa maunya situ?"

"Duit. Kalau anda bisa kasih saya duit 100 juta siang ini, bom itu akan saya matikan dari sini."

"Seratus juta? Untuk nyawanya Margono?"

"Nyawanya Teguh!"

"Lha, tapi itu yang lagi naik sepeda si Margono!"

"Hah?"

Diam, lalu ada suara dua orang bertengkar tidak jelas menyebut-nyebut nama Margono dan Teguh. Tri habis kesabaran.

"Itu Margono, bukan Teguh! Murahin sedikit tebusannya!"

"Eheheheh ... betul juga. Sasaran berganti. Karena itu Margono, baiklah, siapkan duit satu juta saja. Atau Margono bakalan meledak kaya mercon cengis ... kikikikikik  ..."

Tri mencoba untuk tidak panik. Kalau cuma sejuta, dia bisa ngutang dulu sama bapaknya. Tidak apa-apa jika utangnya jadi 57 juta ke bapaknya itu.Yang penting Margono selamat. Tapi dia masih sedikit ragu-ragu dengan ancaman itu dan mencoba mengulur waktu sambil berusaha mengorek keterangan sedikit-sedikit.

"Situ kerjasama dengan Mas Sairin, kan?"

"Maaf, saya sama sekali tidak mengenal atau bahkan bekerjasama dengan Bumpet. Saya seorang pembunuh gratisan. Hanya dengan Rp. 999.900 sudah bisa mendapatkan jasa saya."

"Katanya gratisan, kok masih bayar?"

"Namanya juga promosi."

"Lha, terus kok situ tau namanya Mas Sairin itu Mas Bumpet?"

"Saya bilang begitu tadi? Bohong kamu, ah."

"Sumpah, tadi situ ngomong begitu."

"Eh ... anu, je ... eh ... " orang itu gelagepan. "Pokoknya bukan! Anda sengaja mau memancing saya, ya?! tidak akan bisa. Siapkan uangnya! Satu jam lagi saya telepon untuk menentukan prosedurnya!" Telepon langsung ditutup. Tinggal Tri yang tegang setengah mati menyaksikan kepolosan Margono bermain-main dengan maut. Otaknya berpikir bagaimana untuk menyampaikan ancaman itu tanpa Margono harus menjadi panik yang ujung-ujungnya malah bubrah. Akhirnya diputuskannya untuk mengatakan langsung tanpa Margono harus menghentikan sepeda. Berlari-larilah Tri di samping Margono.

"Lha, kenapa Mbakayu malah jadi opas?"

"Kepingin olah raga, udah lama nggak jogging."

"Mau naik sepeda?" tawar Margono menekan rem di tangannya. Tri buru-buru menampar kepalanya. Plakk!

"Jalan terus, tapi jangan ngebut-ngebut!" katanya. Margono mengelus-elus kepalanya yang pedes dengan heran. Mbakayu Tri ini memang aneh, pikirnya.  Ya sudah, dia terus saja menggowes sepeda itu sambil sesekali meliriki mbak-mbak cantik yang berlari-lari di sampingnya itu.

"Umurmu berapa, Gon?" tanya Tri. Baru sebentar saja napasnya sudah terengah-engah. Wajahnya memerah. Keringatnya sudah mulai mengucur deras, presis seperti mahasiswi baru yang lagi diplonco.

"27."

"Punya pacar?"

"Ora."

"Sudah kaplak begitu kok nggak punya pacar. Nanti kalau masih ada umur, cepetan cari pacar. Manusia itu nggak tahu kapan mau mati."

"Mbakayu kok omongannya aneh?"

"Kalau sampai slamet, kamu harus bersumpah untuk selalu mendengarkan nasihat orangtua," Tri tetap nyerocos.

Margono yang merasa bingung dengan kelakuan Tri hanya berucap, "Nggih. Tapi slamet dari apa, Mbakayu?"

"Mbakayu minta maaf kalau selama ini suka galak sama kamu, Mas Sagrip juga. Themel, kecil-kecil begitu juga mungkin sering menyakiti perasaanmu, Mbakayu mintakan maaf buat semuanya."

"Lha, Mbakayu apa sebentar lagi mau mati? Kok omongannya aneh. Aku merkinding kiye," kata Margono sambil menekan rem.

Plakk!

Tangan Tri sigap menampar belakang kepala Margono lagi, "Jalan terus! Jangan sampai berhenti!"

"Baru minta maaf, sudah ngeplak lagi."

"Jalan terus pokoknya!"

Semakin bingunglah Margono. Di saat-saat genting itulah Sagrip kemudian datang dengan memanggul Themel di bahunya. Seperti lega dan bebannya lepas walaupun belum sepenuhnya merasa aman, Tri langsung menubruk suami dan anaknya itu lalu dengan panik berteriak, "Ada bom dalam ban sepeda! Kalau sampai sepedanya berhenti, bomnya meledak. Badan Margono bisa pecah, ususnya nanti diether-ether kucing sampai perapatan!"

"Apaaa?!" teriak Sagrip.

"Haaa?!" teriak Margono.

"What the hell ..." gumam Themel yang suka nonton film-film ngamrik.

Margono langsung panik mendengar kata-kata Tri itu. Reflek, kakinya langsung bertambah kencang menggowes pedal sepeda. Ngebut berputar-putar di halaman rumah presis seperti balap sepeda individual time trial di velodrome. Mulutnya berteriak, "Gimana ini, Brooo ...?! Waaaa ...!"

Sagrip menurunkan Themel dari bahunya yang langsung disambar Tri untuk dibawa menjauh ke jalan. Dahinya berkerut. Seumur hidup, Sagrip belum pernah mendengar ada bom bisa ditaruh dalam ban sepeda. Hubungannya dengan putaran roda, lagi. Presis film ngamrik saja. Dengan berani, dia kemudian berdiri di lintasan yang dilalui Margono. Saat Margono melewatinya, Sagrip menangkap tubuhnya yang kecil itu, merenggutnya paksa dari atas sepeda lalu melemparkannya ke rimbun tanaman teh-tehan. Tubuh Margono yang setipis kondom 25 itu temangsang dengan nyaman di sana. Gusraakkk! Sepeda maut itu sendiri terus melaju, menabrak undak-undakan teras rumah dan rubuh tergelimpang.

Hati-hati Sagrip mendekat dan memandangi roda sepeda bagian belakang yang masih berputar itu.

"Jangan dekat-dekat, Pak!" teriak Tri ngeri. Tapi Sagrip diam saja. Roda sepeda itu makin lama makin lambat putarannya dan berhenti sama sekali. Dalam hitungan detik, langsung terjadi gerakan-gerakan kecil pada jari-jari roda. Satu per satu mereka mulai berpatahan lalu saling menyambung dan terpelintir seperti akar beringin mengikat selingkaran roda. Lalu velg terbelah. Muncul sebuah benda mirip-mirip pentol jambu monyet yang menyala kelap-kelip.

Klethik! Klethak! Bregedheg! Brug! Prakk! Greges! Greges! Brebet! Plung! Klothak! Jleg! Jleg! Nut ... nut ... nut ...nut ...

Presis seperti robot-robot di film Transformer jika sedang berubah.

Lalu terdengar suara, "Hitung maju dimulai .. Satu .....!"

"Paaak!" teriak Tri.

"Broo!" teriak Margono.

"Son of a gun ..." gumam Themel.

"Dua .....!"

Sagrip mengangkat sepeda itu dengan tenang lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Langsung menuju kamar mandi.

"Dua setengah ...!" bom di sepeda itu masih menghitung. Sagrip tenang-tenang saja.

"Hampir tiga loh ...!" masih suara bom itu.

"Tiga apa nggak, hayooo?" suara bom itu malah nanya. Sagrip cekikikan sendiri. Bom gemblung, pikirnya.

"Udah ini? Tiga loh ya? Jangan nyesel!"

Tapi Sagrip sudah sampai di kamar mandi lebih dulu dan langsung menceburkan sepeda itu ke dalam bak mandi.

Byurr!

Terdengar suara 'psssh' dan keluar asap putih dari ban sepeda yang basah itu. Bomnya mejan. Sederhana sekali penanganannya. Seperti tidak terjadi apa-apa, Sagrip masih dengan ketenangan yang luar biasa kembali keluar. Sesampai di luar, dengan gaya keren dia berkata kepada Tri, Themel dan Margono yang menanti dengan harap-harap cemas, "Bom sudah dijinakkan."

Ucapan syukur dan kelegaan langsung menyambut. Tri memeluk Teguh dengan gembira, Margono memeluk pohon jambu.

"Kabar baiknya, hanya dengan mengganti roda belakangnya nanti, Teguh bakalan punya sepeda baru."

"Asiiikk ...!" sambut Themel gembira.

"Kabar buruknya, buat orang yang usil mengirim sepeda itu. Dia tidak akan bisa tidur tenang setelah ini."

Tangan Sagrip mengepal, tapi bibirnya tersenyum penuh arti. Tri jadi ngeri sendiri.

Cigugur, 4 Mei 2012

- sekali duduk, dalam beberapa waktu yang berbeda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun