Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sepinggan Kebahagiaan 1

4 Maret 2011   14:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:04 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tribute to: Reni Purnama dan Arif Hidayat


Biar kusaksikan benih itu bertumbuh

pada pertanda di wajahmu

Agar dendam cinta esok hari

akan dihapus senja ke sekian kali


Benarkah bila,

kepalsuan tak lagi hilir mudik

pada hidup yang juga palsu

bahagia pun begini?

Hanya samar suara, jauh meluncur angkasa;

ajak pula aku!

Perempuan itu duduk di depan cermin, menegaskan dirinya berkali-kali bahwa itu bukanlah mimpi. Bibirnya tersenyum. Beberapa perempuan tersenyum-senyum pula di belakangnya, salah satunya mulai mengerjakan rambutnya.

"Mbak Gadis kelihatan bahagia sekali. Positif. Saya suka," kata perempuan paruh baya yang mengerjakan rambutnya.

Gadis, perempuan itu, tersenyum.

"Saya hanya bahagia, Bu," katanya.

"Saya paham. Hari ini memang milik mbak Gadis."

Gadis tersenyum, matanya bercahaya menatap wajahnya di dalam cermin.

*****

Chapter I :    Cinta yang terlalu muda

"Aku suka kau!" teriak Gadis saat itu, saat Damar untuk pertama kalinya membangunkan mimpi-mimpi liarnya pada kenyataan bahwa ada keindahan yang mungkin dimiliki oleh seorang lelaki dan keindahan itu telah benar-benar mempesonanya.

Damar, seorang pemuda cemerlang yang terpaut umur cukup jauh dengannya itu hanya tertawa.

"Maksudmu apa, Anak Kecil?" tanyanya sambil menyorongkan wajahnya lebih dekat ke wajah Gadis dengan sikap jenaka. Gadis bergeming. Bibirnya cemberut, tapi benar-benar dinikmatinya momen itu, momen di mana wajah Damar sangat dekat dengan wajahnya hingga bisa dirasakannya napas Damar menyapu keseluruhan wajahnya. Dadanya bergetar aneh.

"Aku bukan anak kecil! Sebentar lagi aku pun akan menyusulmu ke bangku kuliah!"

Damar mengacak-acak rambut gadis dan tertawa kembali. Gadis semakin jengkel, bibirnya yang mungil dan merah itu semakin cemberut, kaki kanannya menjejak-jejak tanah.

"Apanya yang lucu? Kenapa ketawa?"

"Ya, aku tahu sebentar lagi kau sudah menjadi semakin besar dan jadi anak kuliahan, karena itu belajarlah yang baik."

"Aku akan belajar dengan baik kalau kau mau jadi pacarku!"

"Hei..apa hubungannya dengan itu?" tanya Damar keheranan. Wajahnya yang tampan terlihat sangat mempesona di mata Gadis, memabukkannya.

"Aku akan belajar dengan baik kalau kau mau jadi pacarku!" tegas Gadis bersungguh-sungguh.

Damar tertawa.

"Kau mau jadi pacarku, Anak Kecil?"

"Ya, tapi aku bukan anak kecil!"

"Ssst..kau mulailah dengan belajar mengatur intonasi suaramu. Kau pikir aku tuli?"

Gadis membalikkan tubuhnya dengan kesal. Lelaki di depannya benar-benar membuatnya kehilangan kontrol diri.

"Sudahlah," kata Damar, "aku mau tidur. Sepertinya kau mabuk. Seharusnya kau tidak minum siang-siang begini, apalagi kau belum cukup umur."

Damar berbalik dan membuka pagar rumah kos yang ditempatinya.

"Damar! Aku tidak minum! Kita belum selesai!" jerit Gadis mengejar. Dia sudah kepalang basah dan harus diselesaikannya saat itu juga.

Damar tidak memperdulikannya. Ditutupnya pagar dari dalam, menguncinya dan tersenyum. Matanya menatap Gadis dengan tajam.

"Hentikan sikapmu yang kekanak-kanakan itu. Tidak ada hujan tidak ada angin bisa-bisanya kau melantur."

"Aku tidak melantur! Hei, Damar! Kita belum selesai, jangan masuk dulu!"

Damar benar-benar tidak memperdulikannya lagi. Tinggallah Gadis dengan kejengkelannya. Kaki kanannya menjejak-jejak tanah.

"Pengecut! Aku tahu sebenarnya kau pun suka aku! Lihat saja, sampai di mana kau bisa berpura-pura mengacuhkanku!" Gadis berteriak-teriak hingga Damar masuk ke dalam rumah dan hilang dari pandangannya.

Dengan nekat, Gadis memanjat pagar rumah yang tidak begitu tinggi itu sambil masih tetap berteriak-teriak, kacau sekali. Beberapa kawan serumah kos Damar bermunculan dari pintu karena penasaran dengan apa yang tengah terjadi.

"Kau, Anwar! Suruh Damar keluar dulu baru kalian bisa tidur siang dengan tenang!" kata Gadis setelah melompat turun dan berhasil masuk ke pekarangan rumah kos itu.

Anwar hanya nyengir. Dia sudah sangat maklum dengan kelakuan Gadis dan malah merasa lucu.

"Masuk aja, Dis! Siapa tahu nanti kau dikenalin dengan perempuan yang sedang ada di kamarnya," bisik Anwar pada Gadis, tentu saja dia bergurau.

Kawan-kawan yang lain yang menyaksikan peristiwa itu tertawa. Gadis geram dan langsung berlari menuju kamar Damar yang kebetulan tidak terlalu jauh dari serambi. Digedornya pintu kamar itu.

"Damar!"

Tidak ada jawaban.

"Damar!"

Masih tidak ada jawaban. Gadis sangat kesal akhirnya ditendang-tendangnya pintu kamar itu dengan ujung sepatunya.

"Aku tunggu di sini sampai kau keluar! Aku pernah ikut lomba ketahanan berdiri lama sepanjang jam pelajaran di sekolah, jadi jangan meragukan kekuatanku!"

Terdengar tawa dari Anwar dan kawan-kawan satu kos Damar yang lain yang pada saat itu justru telah berkumpul di ruang tengah, menontonnya.

"Lomba ketahanan berdiri? Disetrap karena nggak ngerjain PR aja, kali!" celetuk seseorang yang dilanjutkan tawa yang makin ramai.

"Diam kau, Jangkrik!" maki Gadis pada Nanang yang baru saja nyeletuk.

"Hahai...jangkrik katanya..memang Gadis tahu jangkrik itu seperti apa?"

"Tahu! Itu yang buat minum!"

Kawanan pencela Gadis itu terdiam semuanya, berpikir.

"Wah...itu cangkir, kali!" akhirnya Anwar berteriak sambil tertawa dan menghembuskan asap rokoknya.

"Cangkir itu kelapa yang masih kecil!" teriak Gadis lagi dengan jengkel.

"Cengkir, kali!"

"Cengkir itu gila!

"Haha..itu kenthir, kali!"

Gadis tidak perduli lagi dan tidak ingin menanggapi lagi candaan mereka. Karena lelah berteriak-teriak hingga otot lehernya serasa mau putus dan mencoba menggedor pintu kamar Damar akhirnya dia terduduk di depan pintu yang tertutup itu dengan tangan bersidekap di dada dan bibir yang cemberut.

Kawanan penggodanya kemudian bubar satu-satu dan masuk ke kamar masing masing karena tahu, dengan posisi seperti itu, Gadis sangat-sangat berbahaya jika diganggu. Keadaan menjadi sunyi, hanya sayup-sayup terdengar alunan musik cadas yang melantun dari salah satu kamar kos di sana.

Gadis masih dengan posisinya. Ada alasannya kenapa dia sangat berkeras untuk mengucapkan perasaannya pada Damar hari ini. Sepulang sekolah tadi, dilihatnya Damar sedang berbincang-bincang dengan seorang perempuan, mungkin kawan satu kampusnya, dengan sangat mesra. Gadis menjadi panas dan tidak ingin didahului oleh perempuan cantik itu, karena itu otak remajanya berpikir sangat sederhana. Baginya, siapa yang mengatakan perasaannya dalam urutan yang pertama pastilah akan keluar sebagai pemenangnya.

Gadis lalu bangkit dan beranjak menuju sofa, satu-satunya yang ada di rumah kos itu dan telah pula berlubang dan reot. Dia akan menunggu Damar keluar, walau apapun yang terjadi. Seragam sekolahnya belum diganti, dia tidak perduli, dia hanya akan menunggunya.

Sepertinya dia tertidur sebentar dan terbangun ketika tiba-tiba Damar telah berada di sampingnya dan mengguncang-guncang bahunya.

"Bangun!" katanya.

Gadis kaget dan langsung bangkit sambil memandang Damar dengan tajam. Bibirnya yang merah dan mungil itu cemberut, kedua tangannya bersidekap di dadanya kembali, aksi ngambek. Masih diingatnya perlakuan Damar tadi.

"Pengecut!" katanya seperti hendak menangis, matanya berkaca-kaca.

Damar tertawa dan menarik hidung Gadis dengan gemas. Anehnya, Gadis diam saja, hanya memang bibirnya makin cemberut dan air mata benar-benar jatuh di pipinya.

"Pulanglah, sudah sore. Kau belum ganti seragam," bujuk Damar sambul mengusap air mata di pipi Gadis.

"Biarin!"

"Nanti ayah dan ibumu mencari."

"Biarin!"

"Kau bisa dimarahi nanti."

"Biarin!"

"Kau pasti belum makan."

Gadis diam. Memang perutnya sangat lapar sekarang. Damar yang mengamatinya tertawa. Lucu sekali tingkah Gadis yang kekanak-kanakan itu menurutnya.

"Ayolah, aku punya makanan di kamarku. Tapi setelah itu kau harus pulang."

Lenyaplah cemberut di wajah Gadis. Kedua mata indah dan belia yang tadi berlinang air mata itu membelalak dan bersinar-sinar gembira. Damar sangat perhatian padanya, pikirnya. Bukankah itu satu tanda dia membalas cintanya?

"Ayolah," ajak Damar.

"Kalau tidak digendong, aku tidak mau!" kata Gadis nakal dan berpura-pura masih dalam kemarahan.

"Ah, jangan macam-macam!"

"Aku tidak mau kalau tidak digendong!"

"Ya terserahlah," sahut Damar akan meninggalkannya kembali ke kamarnya.

"Dan tidak akan pulang ke rumah!"

Damar berbalik. Dengan gemas dia akhirnya mengalah dan membiarkan Gadis naik ke punggungnya. Dia tahu sifat Gadis. Jika dia mengatakan tidak akan pulang, dia benar-benar tidak akan pulang. Damar bergidik ngeri membayangkan ayah dan ibu Gadis akan mencari anaknya yang nakal itu dan pasti menemukannya di sini dan justru akan membuat mereka berpikir macam-macam kepadanya.

"Janji, setelah ini kau pulang," kata Damar pada Gadis yang sudah naik ke punggungnya.

"Iya, janji. Tapi kau juga harus jadi pacarku."

"Hush! Sudah, tidak usah bicara tentang itu lagi."

Gadis tersenyum-senyum riang dan menjatuhkan kepalanya di bahu Damar, kedua lengannya merangkul leher.

"Aku sayang Damar," bisiknya ke telinga Damar.

Damar hanya diam, tapi bagi Gadis itu adalah penerimaan yang tulus dari lelaki itu dan membuat hatinya membesar sebesar gunung.

Itulah awal ungkapan rasa Gadis pada Damar, lelaki yang benar-benar telah mengetuk hati remajanya untuk sesuatu yang baru pertama dirasakannya. Cinta. Sesuatu yang membuatnya tersenyum sepanjang hari jika mengingat lelaki tampan yang baik dan sederhana itu. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya; apakah benar perasaannya itu yang jikalau dia bercermin pada pagi hari dan mendapati tanda-tanda itu pada wajahnya, kemudian dia hanya akan tertunduk dan tersipu tanpa tahu harus berbuat apa.

Dia yakin itu cinta pertamanya.

Bersambung.....

Cigugur, Maret 2011

Pemain


Arif Hidayat : Damar


Reni Purnama : Gadis


Suri Nathalia : Suri

Pemain Cadangan Yang Batal Main


Mamar : Banci 1


Ramdhani Nur : Banci 2


Naim Ali : Banci 3


Dede Udud : Setan 1


Roni 82 : Setan 2


Om Kopi : Baby Sitter Suri


SR Wijaya : Baby Sitter Suri


Ayla Kyailala : Cewek Bocor


ArisKurniawanBasuki: Cowok ganteng

Sutradalang

Asep Sunandar Sunarya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun