Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Reog

2 Agustus 2022   21:42 Diperbarui: 4 Agustus 2022   20:30 2039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Seniman menampilkan tari Reog Ponorogo. (ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF via kompas.com)

Riris membuka pintu restoran, menapakan kaki pada bahaya. Tempat itu ramai dipenuhi gemuruh sendok yang beradu dengan piring, serta suara orang-orang yang sedang berbincang. 

Ia menoleh ke kiri dan kanan, tubuhnya gemetaran dipenuhi peluh dingin. Perban menempel pada lengan, menutupi luka gigitan yang sakitnya mulai mereda.  

Ia memilih tempat ini untuk bertemu karena klien yang menyewanya tak akan bisa berkhianat. Terlalu banyak saksi mata jika mereka berani macam-macam.

Terang saja ia harus waspada. Kliennya bukan penjahat sembarangan. Mereka baru saja beroperasi selama dua tahun belakangan, namun dalam waktu sesingkat itu, mereka mampu menarik perhatian banyak orang, dari penjahat hingga pemerintah.

 Mereka menyebut dirinya 'Warok' kelompok yang terkenal di dunia bawah tanah karena punya satu tujuan, menjatuhkan negara ini. 

Matanya berkeliaran pada puluhan meja hitam yang membentang pada lantai marmer putih keruh, memenuhi ruangan berornamen klasik yang diterangi lampu merah yang menggantung pada langit-langit. 

Sejenak mata Riris menangkap tangan yang melambai pada meja di tengah ruangan. Jemari seorang pria yang berhiaskan sejumlah batu akik memanggilnya datang bergabung. Riris menelan ludah, lalu mendekat.

"Kau sendirian? Tidak biasanya." Ujar seorang pria sembari mengusap kumis anggun yang bersarang pada wajah dengan kain lembut berkilatan memantulkan cahaya lampu. 

Ia mengenakan jas abu-abu, kacamata coklat tebal terpasang mantap pada matanya, bak awan mendung yang menghadang sinar mentari. Sesaat kemudian ia memungulurkan tangan memberi isyarat agar Riris segera duduk di depannya.

"Teman-teman ku menunggu di luar. Lagipula ini tidak akan lama." Ujar Riris sembari meneguk minuman yang telah tersedia di meja.

"Baiklah," si pria mengangkat bahu, jemarinya menyimpul diatas meja, "Aku percaya kau membawa pesananku."

"Tunjukkan dulu uangnya." Jawab Riris.

Ia merogoh kedalam jas mengeluarkan papan fiber berwarna hitam seukuran telapak tangan. Pada sudutnya terdapat cap dari bank Wargayudha. Saat jemari si pria menyentuhnya, muncul angka digital berjumlah sepuluh juta Than, mata uang kerajaan mereka.

"Sesuai perjanjian, sekarang tunjukkan padaku benda itu." Ujarnya.

Riris melepaskan ransel dari punggungnya lalu melemparnya keatas meja. Ia menghadapkan benda itu pada sang klien lalu membukanya.

Wajah pria itu kaku, giginya bergemeretak melihat isi dari ransel.

"Ada yang salah?" Tanya Riris setengah ketakutan. Benda ini yang mereka cari bukan? Kenapa wajahnya mengeras penuh amarah seperti itu?

"Bukan masalah yang besar, tapi sepertinya kau berhutang sesuatu padaku."

"Apa maksudmu?" Tanya Riris kebingungan.

Si pria mengangkat gelas lalu meneguk minuman hitam pekat didalamnya.

"Kau berhutang cerita. Aku ingin mendengar cerita kalian di kuil itu." Ujar si pria.

"Aku tidak punya waktu untuk basa-basi. Topeng reog sudah didepan matamu. Berikan bayaranku, dan aku akan pergi dari sini." Protes Riris sembari menatapnya tajam.

"Jangan menentang ku perempuan sialan!" Bentak si pria tak ingin dibantah, "Hanya karena kuijinkan kau memilih tempat bertemu, kau pikir aku tidak bisa melukaimu? Dengan satu jentikan jari, aku bisa mengakhiri hidupmu dan adik pincangmu, mengerti kau?" Pria itu mengangkat tangan, berlagak menjentikkan jemarinya.

Riris tertegun tak mampu bersuara. Bibir bawahnya gemetar mendengar perkataan laki-laki itu. Darimana ia tahu tentang adiknya? Ia tidak boleh melawan, setidaknya sebelum uang itu belum berada ditangannya. Sedikit lagi, ia harus bersabar.

"Pikiran dengan baik, lalu ceritakan apa yang terjadi di tempat itu." Ujar si pria sambil menuangkan minuman ke gelasnya.

"Ka..kami," ujar Riris memutar jemarinya, "masuk kedalam kuil sesuai dengan instruksi kelompokmu, saat bulan purnama. Ada beberapa pasukan pemerintah yang berjaga, tapi itu bukan masalah untuk timku.

 Setelah masuk, kami menelusuri kamar-kamar di dalam kuil menggunakan peta yang kau sediakan. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan topeng reog ini pada ruangan utama kuil. Akan tetapi..." Riris kembali menelan ludah.

 Entah mengapa sakit kepala tiba-tiba menyerang kepalanya saat ia mencoba mengingat kembali penjarahan kuil yang timnya lakukan. Ia menggeleng kaku, berusaha melawan nyeri yang semakin lama semakin terasa.

"Lanjutkan." Perintah si pria sambil menuangkan minuman ke gelas Riris.

Secepat kilat, ia meneguk habis minuman itu. Sejenak kemudian, ia lanjut berbicara,

"Setelah mengambil topeng dari dinding kuil, sesuatu menyerang kami. Ribuan serangga seukuran jempol muncul dari balik dinding mengejar kami, seolah tak ingin benda itu kami bawa."

"Kutu." potong si pria.

"Apa?"

"Serangga yang menyerang kalian adalah kutu. Yah memang ukurannya sedik lebih besar. Tapi mereka tetaplah kutu."

"Kau sudah tahu, dan tetap mengirim kami kedalam jebakan itu?" Tanya Riris mengecutkan dahi.

"Kalian tim profesional bukan? Meski tidak ku katakan sekalipun, kau tetap berada disini, membawa topeng tanpa satupun korban jiwa." Jawab si pria.

Riris terdiam. Benar juga. Pria ini belum tahu kalau teman-temannya telah mati di kuil itu. Ia hanya bilang kalau mereka menunggunya diluar. Itu satu-satunya keuntungan yang ia miliki, bahwa dirinya tidak sendirian datang kemari.

"Tentu saja." Jawabnya singkat.

Senyum kecil menyimpul pada wajah si pria. Sesaat kemudian ia lanjut berkata,

"Ceritamu belum selesai. Kau melakukan sesuatu pada topeng ini, bukan begitu?"

"Aku tidak melakukan apa-apa pada benda terkutuk ini. Jangan banyak alasan kau, berikan saja bayaranku." Jawab Riris tak ingin memperpanjang percakapan mereka.

Si pria menghela nafas. Alisnya terangkat melewati kacamata yang ia kenakan. 

"Kau pernah mendengar legenda tentang topeng ini?" Tanya si pria.

Riris ragu menjawab. Namun sepertinya ia tidak punya pilihan selain meladeni pria dihadapannya.

"Aku pernah bersekolah, tentu saja aku tahu dongeng asal muasal kerajaan ini."

"Oh tapi itu bukanlah dongeng, wanita pencuri. Yah, meskipun ceritanya kurang akurat." Ia kembali meneguk minuman di gelasnya, "Alkisah, wilayah ini terbagi dan dikuasai oleh raja-raja di masa lalu. Para raja itu terus berperang demi memperluas wilayah kekuasaannya.

Salah satu dari raja tersebut ialah pendiri kerajaan kita, kerajaan Kediri. Orang tua itu tak ingin kehilangan wilayah kerajaannya karena perang, hingga menjodohkan putrinya, Songgolangit dengan penguasa lain.

Raja mengundang dua penguasa terkuat untuk meminang putrinya, raja Kelana serta raja Singobarong." Ujarnya.

"Sungguh, aku tidak ingin men_" jemari si pria terangkat, membungkam kalimat yang hendak keluar dari mulut Riris.

"Tanpa sepengetahuan sang raja, Songgolangit telah lebih dulu mencintai pria lain. Sebuah hubungan terlarang, jika dilakukan pada jaman sekarang.

Tak ingin kekasihnya di jual oleh ayahanda, pria itu membunuh raja Kediri. Tanpa seorang raja, kerajan Kediri sama halnya dengan kalah perang." Ujar si pria.

Riris mengecutkan dahi. Ini bukanlah legenda yang pernah ia baca waktu masih kecil, bahkan sangat berbeda. Pembunuhan raja Kediri? Hal seperti itu tidak ada dalam cerita. Namun ia terlalu takut untuk memotong penjelasan sang klien. Ia hanya bisa membiarkan orang ini bercerita.

"Pembunuhan itu menarik perhatian seorang dewa. Sang dewa sangat terkesan dengan apa yang dilakukan oleh si pria, hingga ia menampakan diri dan mengajukan perjanjian dengannya.

Sang dewa akan memberikan kekuatan agar kerajaan Kediri dapat tetap berdiri tanpa seorang raja, serta si pria dan putri Songgolangit akan bersama selamanya. Dan tanpa berfikir dua kali, pria bodoh itu menyetujui perjanjian dengan sang dewa. 

Ketika raja Kelana dan Singobarong membawa pasukan mereka ke Kediri, keduanya diserang oleh pasukan berkuda, Warok."

Seketika restoran itu hening tanpa suara. Mata setiap pengunjung dan pelayan terarah pada Riris. Tatapan dingin yang seolah memberi tanda bahwa ia tidak akan keluar dari tempat ini hidup-hidup.

Perlahan ratusan mata yang menatapnya berubah warna, merah laksana bara api yang menyala-nyala. Bunyi gemeretak tulang menggema di dinding restoran ketika tubuh para pengunjung  berubah bentuk. 

Pinggul, perut hingga kepala mereka masih menyerupai tubuh manusia, namun kaki mereka memanjang ke belakang lalu terbagi menjadi empat seperti kaki kuda dengan tiga cakar tajam di setiap ujungnya.

Jantung Riris berdegup kencang tak mampu menahan ketakutan yang meledak pada nuraninya. Ia ingin berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Namun ia sama sekali tidak bisa menggerakkan kaki yang seolah tak ingin mengikuti perintahnya.

"Seratus empat puluh siluman Warok," Riris menoleh pada si pria, "ialah hadiah yang diberikan oleh sang dewa pada pria itu, pada diriku."

"To..tolong jangan bunuh aku." Ujar Riris terbata-bata.

"Membunuhmu? Untuk apa aku melakukannya?" Jawab si pria sembari melepas kacamata. Dua bola mata penuh kehampaan menghiasi wajahnya. Begitu kelamnya, malam sekalipun tak akan mampu menandingi kegelapan pada tatapan laki-laki itu.

"Sampai dimana tadi? Ah, Kelana dan Singobarong tak mampu menandingi kebengisan pasukan Warok-ku. Keduanya memohon ampun dan berjanji akan melayaniku. Tentu saja aku menerimanya.

Dengan restu sang dewa, mereka berdua aku ubah menjadi senjata pamungkas yang terikat oleh perjanjian, seekor hewan setengah singa, setengah merak, sesuai dengan lambang kerajaan mereka." Si pria menjulurkan tangan dan menyentuh dahi Riris.

Riris meremas kepalanya, tiba-tiba saja kepala wanita itu diserang oleh sakit luar biasa hingga membuatnya jatuh tersungkur ke lantai. 

"Meski telah mengalahkan musuh terbesarku, aku tidak bisa memimpin kerajaan ini, sebab perjanjianku dengan dewa terkutuk itu membuat kerajaan Kediri harus berdiri tanpa seorang raja." Ujarnya tak menghiraukan penderitaan Riris.

"Namun perjanjian itu tidak berlaku untuk seorang ratu. Aku mempersembahkan tahta kerajaan Kediri pada kekasihku tercinta, Songgolangit. Berkat dirimu, hari ini aku akan kembali pada pelukannya." Ujarnya menatap Riris dengan tajam.

"Apa maksudmu?" Riris menoleh terengah-engah tak mengerti.

"Topeng reog yang kau bawakan padaku berisi dua hal. Kekuatan untuk menjelma menjadi Singolana, senjata ciptaanku serta jiwa kekasihku, Songgolangit. Keduanya kini berada dalam dirimu, Riris Anggara." Jelas si pria sembari tersenyum puas.

"Apa?"

"Aku berani bertaruh, kau pernah mengenakan topeng ini. Mungkin saat ingin keluar dari kuil itu. Kutu-kutu yang menyerang kalian tidak akan berani mendekatimu."

Riris tertegun. Itu benar. Topeng reog seperti memanggilnya saat ia terpojok di dalam kuil. Setelah memakainya, serangga itu berlari ketakutan seperti disiram air panas.

"Harusnya kau tidak melakukannya wanita bodoh." Si pria kembali menyentuh dahi Riris dengan telunjuknya. 

Serentak rasa sakit kembali menyerang berkali-kali lipat. Ia menjerit, seluruh tubuhnya bergetar bak tersetrum listrik. Pikiran Riris mulai kosong. Kesadaran perlahan meninggalkan dirinya.

Ia tidak ingin menderita lagi. Sudah cukup, ia ingin segera mati, meninggalkan Rangga.... 

Adik kecilnya akan hidup sendiri tanpa dirinya. Tidak, ia tidak boleh menyerah. 

Dengan susah payah Riris mengumpulkan keteguhan yang masih tersisa. Ia berusaha bertahan, melawan pengaruh kekuatan laki-laki itu.

"Kau butuh bantuan kami?"

Serentak suara itu mengagetkan Riris. Suara yang sama saat ia mengenakan topeng reog di kuil. Tanpa pikir panjang Riris merintih,

"Kumohon, tolong aku."

Tubuh Riris berhenti bergetar. Ia mengangkat kepalanya, seketika melayangkan cakar pada wajah si pria. Terkejut, laki-laki itu mundur beberapa langkah.

Perlahan tubuh Riris berubah. Rambutnya menghijau, lalu terbelah membentuk ribuan cabang yang terpola menyerupai bulu merak. Taring panjang muncul dari sela-sela giginya. 

Sesaat kemudian, Riris menjelma menjadi mahluk setengah singa, setengah merak, Singolana. Ia mengaum keras sembari mengepakan sayap meraknya, mengirimkan angin kencang kedalam ruangan restoran.

"Warok!" Seru si pria.

Seketika puluhan siluman menyerang Singolana. Cakar mereka beradu di udara menghadirkan kebuasan yang indah. Darah hijau para Warok membias pada lentera merah ketika hantaman cakar Singolana menembus kulit mereka.

Satu demi satu siluman berkaki empat berjatuhan. Singolana terus menerus menarikan tarian buas demi menghancurkan musuhnya. Tenggelam dalam insting, ia tidak menyadari bahwa sebuah belatih telah tertanam di dadanya.

Mahluk itu menoleh kebawah, mata hitam nan gelap tersenyum. Si pria menusukkan belatih itu lebih dalam membuat Singolana merintih kesakitan.

"Ingat janjimu Singolana!" Seru si pria sambil menebaskan belatih keatas, membelah kepala singa menjadi dua.

Tubuhnya tergeletak tak bergerak, tanda bahwa pertarungan telah berakhir.

Semenit berlalu. Si pria kembali mengangkat tangan. Matanya tajam terpaku pada tubuh Singolana. Ia berbisik merapal mantra.

Sejenak kemudian punggung mahluk itu terbelah. Dari dalamnya, seorang wanita bangkit berdiri, berselimut darah.

"Adinda Songgolangit, masih ingatkah padaku?" Tanya si pria pada wanita berambut panjang dihadapannya.

Wanita itu melirik jemari yang dibolak-balik, lalu memegang wajahnya.

"Maafkan aku, adinda. Harusnya aku memilihkan tubuh yang lebih cocok untukmu." Ujarnya menjelaskan mengapa kekasihnya terlihat berbeda.

Wanita itu menatapnya sejenak. Wajahnya melemas, lalu tersenyum ramah.

"Kakanda Pujang Anom, aku merindukanmu." Ujarnya menjulurkan jemari.

Secepat kilat Pujang Anom mengeluarkan kekasihnya dari tubuh singa. Bibir keduanya larut dalam kemesraan, terpadu oleh cinta sedarah kakak dan adik, cinta terlarang yang mereka sembunyikan dari ayahanda. 

"Apa kau sehat kakanda?" Tanya wanita itu.

"Selera humormu tidak pernah berubah, sayangku, selalu buruk." Jawab Pujang Anom sambil tersenyum. 

Tentu saja ia tidak baik-baik saja. Harga atas kekuatannya ialah penderitaan abadi. Ia selamanya akan berada diantara ambang neraka dan dunia, merasakan penderitaan fana serta nyata secara bersamaan. Sebuah nasib yang lebih buruk dari kematian.

Namun semua itu sepadan, semuanya rela ia lakukan jika ia bisa terus bersama dengan adik sekaligus kekasihnya.

"Sekali lagi, adinda. Sekali lagi akan kupersembahkan kerajaan ini padamu." Ujar Pujang Anom memantapkan hati.

"Aku menantikannya," jawab Song_ Riris sambil tersenyum dalam pelukan Pujang Anom.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun