Ketika raja Kelana dan Singobarong membawa pasukan mereka ke Kediri, keduanya diserang oleh pasukan berkuda, Warok."
Seketika restoran itu hening tanpa suara. Mata setiap pengunjung dan pelayan terarah pada Riris. Tatapan dingin yang seolah memberi tanda bahwa ia tidak akan keluar dari tempat ini hidup-hidup.
Perlahan ratusan mata yang menatapnya berubah warna, merah laksana bara api yang menyala-nyala. Bunyi gemeretak tulang menggema di dinding restoran ketika tubuh para pengunjung  berubah bentuk.Â
Pinggul, perut hingga kepala mereka masih menyerupai tubuh manusia, namun kaki mereka memanjang ke belakang lalu terbagi menjadi empat seperti kaki kuda dengan tiga cakar tajam di setiap ujungnya.
Jantung Riris berdegup kencang tak mampu menahan ketakutan yang meledak pada nuraninya. Ia ingin berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Namun ia sama sekali tidak bisa menggerakkan kaki yang seolah tak ingin mengikuti perintahnya.
"Seratus empat puluh siluman Warok," Riris menoleh pada si pria, "ialah hadiah yang diberikan oleh sang dewa pada pria itu, pada diriku."
"To..tolong jangan bunuh aku." Ujar Riris terbata-bata.
"Membunuhmu? Untuk apa aku melakukannya?" Jawab si pria sembari melepas kacamata. Dua bola mata penuh kehampaan menghiasi wajahnya. Begitu kelamnya, malam sekalipun tak akan mampu menandingi kegelapan pada tatapan laki-laki itu.
"Sampai dimana tadi? Ah, Kelana dan Singobarong tak mampu menandingi kebengisan pasukan Warok-ku. Keduanya memohon ampun dan berjanji akan melayaniku. Tentu saja aku menerimanya.
Dengan restu sang dewa, mereka berdua aku ubah menjadi senjata pamungkas yang terikat oleh perjanjian, seekor hewan setengah singa, setengah merak, sesuai dengan lambang kerajaan mereka." Si pria menjulurkan tangan dan menyentuh dahi Riris.
Riris meremas kepalanya, tiba-tiba saja kepala wanita itu diserang oleh sakit luar biasa hingga membuatnya jatuh tersungkur ke lantai.Â