"Jack! Hei gila! Lihat! Ada api di kamar mu bodoh! Rumahmu bisa hangus!"
Mendengar teriakan perempuan gendut —tetangganya— Jack menoleh pada kamarnya yang telah berasap. Kedua manik membulat, i berjalan tergopoh-gopoh menghampiri kanvas dekat nakas yang telah terbakar. Panik, takut, Jack coba memadamkan api sendirian.
"Jiya! Aku akan melindungi mu!" Begitu banyak kanvas dengan lukisan Jiya tersimpan di atas lemari, dan semua terbakar api yang dengan cepat merembet.
Byuur!
Byuur!
Jack mengambil air dengan ember, menyirami api yang coba melahap wajah polos istrinya. Dan dalam beberapa kali siraman, Jack berhasil membasahi lantai kamar, juga memadamkan api berasal dari lilin yang ia nyalakan semalam. Hampir sebulan terpaksa memakai lilin karena listrik dipotong paksa, main belum mampu membayar beberapa tunggakan.
Berbaring di ranjang, Jack memejamkan mata sembari menetralisir pernafasan. Syukurlah, sebuah figura kecil dengan gambar Jiya bersama dirinya dan Sofia masih berhasil terselamatkan.
"Jack, bagaimana kalau pergi sekarang?"
"Tapi bagaimana? Aku masih hidup sampai sekarang."
"Jangan bernafas, aku akan menggenggam tanganmu."
Jack tersenyum, lantas menuruti apa yang dikatakan istirnya. Mereka saling memandang, duduk di sebuah padang rumput luas dengan cuaca cerah. Sebuah pohon rindang menjadi tempat berteduh, di iringi suara kicau burung, menambah kesan romantis dan Jack tak pernah ingin melepas kembali.