Mohon tunggu...
Ravenz
Ravenz Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Halo guys.... Kalian suka baca cerita? Kalo suka tulisan Raven jangan lupa follow. Aku juga nulis di beberapa platform yang bisa kalian ikuti juga😉 Akun lain Novelme: Ravenz Karya karsa: https://karyakarsa.com/Ravenz IG: @myca_raven

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biar Ku Pergi Pada Cintaku

4 Februari 2022   13:14 Diperbarui: 4 Februari 2022   13:20 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jack menatap pantulan dirinya dalam cermin, rambut mulai memajang, wajah masam tak berekspresi. Mengusap wajah lelahnya, pria itu menoleh ketika seorang gadis berusia 12 tahun membuka pintu kamarnya, tersenyum sebelum kemudian memeluk sang ayah.

"Yah, kakinya masih sakit ya? Gak usah kerja dulu, nanti biar Om sama Tante datang ke sini kirim makanan buat Ayah, hmm?"

Perempuan manis berambut pendek itu berucap lembut, membuat seulas senyum mengembang di bibir Jack — dia begitu mirip dengan mendiang Bunda-nya, dan demi apapun … itu membuat Jack semakin gila.

"Engga, Ayah udah gak papa."

Sungguh, Jack begitu bangga melihat putri kecilnya tumbuh. Wajah tirus, bibir tipis, serta mata sipit yang menyerupai sang Bunda.

"Ya udah, nanti Sofia susul ayah di pasar, ya?" Jack mengangguk, mengelus lembut surai hitam putrinya sebelum kemudian memberi kecupan di kening — rutinitas pagi sebelum gadis itu berangkat sekolah.

Jack mengambil tas perkataan dan sebuah papa lukis dengan beberapa kanvas. Ya, inilah pekerjaan yang telah ia tekuni selama bertahun-tahun — sejak muda, kala Jiya masih berada di sampingnya, Jack menjadi seniman yang membuatkan lukisan sesuai pesanan, atau sekedar menjajakan karya di pasar.

Gambaran Jack sangat jauh dari kata buruk, itu bahkan sangat berseni. Namun takdir masih belum memihak, membuatnya terasingkan ke sudut pasar dengan uang yang hanya cukup untuk biaya sekolah Sofia dan makan seadanya — itupun biasnaya masih di bantu saudara.

"Heh paman! Apa kerajaanmu cuma menggambar perempuan cacat itu saja! Itulah kenapa karyamu tak pernah laku! Gambarlah yang lain!"

Jack menggeleng, mengabaikan ucapan pemuda yang meneriakinya, memilih tetap menggoreskan kuas di kanvas, membentuk setiap garis pada lukisan wajah istrinya dengan penuh cinta.

"Jiya, aku sangat mencintaimu, bolehkah aku ikut denganmu?"

Kejadian 4 tahun lalu sungguh membuat Jack gila. Bahkan mengingat nya saja membuat Jack melelahkan air mata, di mana kekasih hatinya harus merenggang nyawa demi sebuah mawar konyol.

Kala itu, dalam cuaca cerah, kala Jack mengandeng tangan Jiya di tengah keramaian jalan. Mereka memutuskan untuk menjemput putri mereka yang baru memasuki sekolah dasar. Ya, bersama-sama, karena Jiya mengalami kelumpuhan permanen pad kaki kanannya — jadi kemanapun pergi perempuan itu selalu membawa tongkat bantu sementara satu tangannya berpegang pada lengan Jack.

Romantis.

Keluarga mereka mungkin menjadi salah satu kelurga paling harmonis di kota kecil itu, jika saja Jiya tidak pernah menginginkan buket mawar merah muda yang tengah di bawa seorang pengantin perempuan yang kebetulan lewat bersama mempelainya.

"Mas, aku pengen buket itu. Kamu gak pernah beliin aku buket bunga."

"Ya sudah, nanti aku beliin ya."

Jiya menggeleng, "Aku maunya buket bunga itu, Mas. Yang di bawa pengantin itu."

Pasangan bahagia itu tengah menyeberang jalan, di seberang di sebuah cafe, kerabat dan teman dari kedua pasangan bahagia itu melambai-lambai, bersorak senang atas kehadiran mereka yang di tunggu. Sementara Jack menatap kesal wajah istrinya yang murung.

Selalu saja begitu, bersikap kekanak-kanakan.

"Bagaimana aku selalu nurutin kemauan mu, Jiya! Gak mungkin aku mint buket bunga itu dari mereka, kan?"

"Sstt! Tutup mulut kamu, Mas."

Jiya melepas pegangan pada lengan Jack, lalu melangkah menyebrang. Dengan susah payah sosok itu mengerjakan kaki dan tingkat bantu, mengambil sepucuk bunga mawar yang terjatuh dari buket. Menggeleng pelan, Jack lantas mempercepat langkah, mengejar pergerakan Jiya yang juga hendak menuju ke arahnya.

Ciiit.…

Bruaakk!!!

Tubuh ringkih Jiya terlempar sebelum kemudian terantuk tiang lampu jalanan. Darah mengucur dari bawah tubuhnya, mengejang di jalanan kering. Seketika tubuh Jack melemas, ia jatuh berlutut dengan air mata membanjiri pipi.

"Jiya!!!"

Sesal begitu mendalam, di mana takdir mengambil nyawa istrinya terlalu cepat, dalam sebuah kecelakaan konyol karena sepucuk bunga mawar. Dan di sanalah, awal kehancuran karir sang seniman yang pernah menggemparkan kota — "Prince of Charm," begitulah mereka menyebut.

"Bahkan setiap menggambar wajah perempuan itu dia selalu menangis, kadang juga tertawa sendiri. Dia benar-benar gila."

Sungguh, Jack tak ingin memperdulikan orang-orang itu jika hanya sekedar berkata. Namun hari ini, seorang lelaki kecil seumuran putrinya datang dalam sebuah kelompok kecil. Dan jangan lupakan Sofia yang juga turut datang untuk membantunya berjualan seperti biasa.

"Apa lukisan Ayah yang semalam udah jadi?" Jack mengangguk, menunjukan sebuah lukisan dengan wajah ibunya yang tengah tersenyum. Sofia menyentuh lembut kanvas itu sebelum kemudian menoleh pada sang ayah, tersenyum bangga.

"Bunda pasti suka kado ini."

"Tapi bunda mu kan sudah meninggal! Dia gak mungkin bisa lihat lukisan itu," kata salah satu anak, Jack seketika memasang wajah marah padanya. Menatap tajam.

"Lagian kami kasihan kalo kamu harus tinggal sama laki-laki gila kayak gini," kata anak lain sembari menunjuk jijik pada Jack.

"Ayahku tidak gila! Kalian yang gila!"

"Gambaran ayahmu yang paling terburuk di dunia! Apalagi wajah yang sama selalu di gambarnya ini lebih buruk daripada apel busuk!" Salah satu dari empat anak itu mengambil kanvas gambar dengan lukisan Jiya.

Jack beranjak, tapi kemudian Sofia lebih dulu melangkah mendekati teman-teman yang mendorongnya, memukul. Menggeleng, Jack melangkah mendekat ketika putri kesayangannya terbanting lemas.

"Dasar kalian!" Anak-anak itu kerap kali merundung Jiya yang terus menemaninya berjualan lukisan, tapi ia tak bisa banyak berbuat karena mereka adalah anak dari orang-orang penting kota ini. Namun di tengah teriknya siang ini, ketika salah satu anak berani merobek karyanya menjadi dua, Jack tak lagi menahan diri.

"Mati kalian!"

****

"Kak! Kamu gila!" Teriak adiknya yang kini tengah memeluk tubuh Sofia. Gadis itu berdiri dengan beberapa luka di wajah dan lengan. Beberapa luka seperti cambukan juga terlibat jelas, semakin menyayat hati Jack sebagai seorang ayah. Apa ia gagal?

Emosi meledak, Jack menghajar anak-anak yang berani menyakiti putrinya. Namun siapa sangka Dan —adiknya— justru menemukan Sofia dengan keadaan penuh luka.

"Aku mau tinggal sama Papa!" Tangis sofia.

"Engga! Dia gila Sofia! Ayo pergi sama Paman. Besok kita bawa ayahmu ke rumah sakit jiwa."

Dan menyeret Sofia keluar rumah, membawa gadis itu pergi dengan sebuah mobil. Kini tinggallah Jack sendirian, menatap gambaran yang kini terbelah dua.

"Jiya, biarkan aku pergi bersamamu."

Jack tak masalah bahkan jika semua orang menganggapnya gila, begitu juga adik kandungnya. Sofia seharusnya mendapat hidup yang lebih layak dengan keluarga kecil Dan yang lebih mampu daripada bersama Ayah gila yang selalu memanggil nama Bundanya dalam tidur.

"Sofia juga pergi."

Melangkah keluar, Jack duduk di ambang pintu yang langsung menjorok pada halaman — tanpa teras. Pria itu menatap kelap-kelip bintang di langit malam. Begitu cerah, dan sayangnya Sofia yang amat menyukai beda langit tak ada di sisinya untuk menikmati momen bersama.

"Ini salah Ayah."

Jack menunggu anaknya hingga pagi, tertidur dengan bersandar di ambang pintu, tapi gadis mungilnya tak kunjung pulang. Apa Dan menahannya? Namun itu lebih baik, karna kembali padanya sama saja kembali pada kesulitan.

"Jack, ayo pergi bersama. Biarkan Sofia mendapat hidup yang lebih layak, dan dia akan lebih mandiri."

Mengucek mata tak percaya, tapi Jack dengan jelas bisa melihat istrinya tersenyum di hadapan. Jika ini mimpi … sungguh, ia tak pernah ingin terbangun kembali.

Perlahan ia meraih tangan Jiya, menggenggam erat. Keduanya saling bertatapan, tersenyum. Namun ketika Jack bernajak untuk segera mengambil langkah, kakinya seolah terasa berat, lalu sebuah teriakan terdengar.

"Jack! Hei gila! Lihat! Ada api di kamar mu bodoh! Rumahmu bisa hangus!"

Mendengar teriakan perempuan gendut —tetangganya— Jack menoleh pada kamarnya yang telah berasap. Kedua manik membulat, i berjalan tergopoh-gopoh menghampiri kanvas dekat nakas yang telah terbakar. Panik, takut, Jack coba memadamkan api sendirian.

"Jiya! Aku akan melindungi mu!" Begitu banyak kanvas dengan lukisan Jiya tersimpan di atas lemari, dan semua terbakar api yang dengan cepat merembet.

Byuur!

Byuur!

Jack mengambil air dengan ember, menyirami api yang coba melahap wajah polos istrinya. Dan dalam beberapa kali siraman, Jack berhasil membasahi lantai kamar, juga memadamkan api berasal dari lilin yang ia nyalakan semalam. Hampir sebulan terpaksa memakai lilin karena listrik dipotong paksa, main belum mampu membayar beberapa tunggakan.

Berbaring di ranjang, Jack memejamkan mata sembari menetralisir pernafasan. Syukurlah, sebuah figura kecil dengan gambar Jiya bersama dirinya dan Sofia masih berhasil terselamatkan.

"Jack, bagaimana kalau pergi sekarang?"

"Tapi bagaimana? Aku masih hidup sampai sekarang."

"Jangan bernafas, aku akan menggenggam tanganmu."

Jack tersenyum, lantas menuruti apa yang dikatakan istirnya. Mereka saling memandang, duduk di sebuah padang rumput luas dengan cuaca cerah. Sebuah pohon rindang menjadi tempat berteduh, di iringi suara kicau burung, menambah kesan romantis dan Jack tak pernah ingin melepas kembali.

"Ayah! Ayah! Ayah kenapa! Buka mata!"

Jack spontan membuka mata kala dihadapannya terlibat Sofa tengah menangis, perempuan kecilnya itu duduk di tepi ranjang, mengusap air mata.

Beralih pada posisi duduk, Jack meneguk ludah kasar ketika aroma dari sisa pembakaran kembali menghantui pikiran. Ia sungguhan gila sekarang. Bahkan di depan Sofia tangisan tak tertahan, memunguti sisa dari setiap kanvas.

"Ayah gak papa? Kenapa bisa kebakaran?"

Itulah mengapa Sofia begitu ragu meninggalkan ayahnya sendirian, selain amat mencintai mendiang bunda-nya, Jack juga sangat ceroboh. Namun sedikitpun Sofia tak menganggap pria itu gila, baginya Jack hanya terjerat dalam sesal percintaan. Sofia bahkan pernah berfikir untuk hanya akan menerima cinta seorang pria yang bisa mencintainya seperti Jack mencintai Jiya.

"Ayah lupa matiin lilin."

"Ayah," Sofia memeluk Jack dari samping, "Om sama Tante bakal kirim Ayah ke rumah sakit jiwa. Tapi Sofia janji bakal sering jenguk Ayah. Jadi jangan takut, ya?"

Jack menggelelng, "Gak perlu repot. Papa mau pergi sama Mama, Sofia jaga diri baik-baik ya, Nak."

Menggeleng, Sofia semakin mengeratkan pelukan, "Apa maksud Papa?"

Hanya senyum yang di dapati Sofia sebagai balasan. Sementara Jack mengambil dua kanvas yang terobek sebelumnya, membawa keluar kamar untuk kembali di rekatkan dengan perekat bening.

"Maaf, Kado buat bunda jadi rusak gitu. Sofia janji bakal bikin gambar yang baru buat Papa, hmm?" Gadis itu coba menghibur sang ayah yang kembali muram.

Berjalan ke dapur, Jack mengambil sebuah botol kecil bening dengan isi obat tidur. Ia menyimpan untuk dirinya yang kerap kali mengalami gangguan tidur parah.

Jika pagi tadi di bangunkan tetangga, siang ini di bangunkan Sofia, sore nanti ia pasti bisa menyusul Jiya dengan sedikit rencana.

Memasukan kapsul kedalam gelas, Jack membuat dua minuman untuk dirinya dan Sofia.

"Minum itu, kita cuma butuh tidur sebentar. Gak bakalan mati," kata Jack mencoba menenangkan putrinya yang jelas terlihat ragu untuk meminum cairan bening dari gelas pemberiannya.

Pada akhirnya, ayah dan anak itu terlelap setelah meminum cairan yang telah terlarut obat tidur. Jack pada akhirnya bisa memegang tangan Jiya dengan tenang.

Di tempat baru ini … Jiya tak perlu memakai tingkat bantu untuk berjalan.

Di tempat baru ini … ia tak lagi di anggap gila. Karena hanya ia dan Jiya yang tinggal dalam dunia kebahagiaan itu.

Dengan tangan saling bertaut, keduanya berlari melewati bunga matahari yang tumbuh sepinggang Jiya, menikmati angin sepoi dan cuaca cerah.

Sementara pada kenyataannya, Dan serta istrinya dikagetkan keadaan rumah Jack yang begitu berantakan — kamar dengan bekas berantakan dengan dua sosok yang tertidur lelap.

"Kak! Bangun! Bangun!"

Dan coba membangunkan sang Kakak, tapi nihil. Justru Sofia yang terbangun karena mendengar suara rusuh. melihat wajah panik dua sosok di depannya, gadis itu menatap sang ayah yang telah memucat.

"Ayah! Ayah bangun!"

Jack pada akhirnya bisa menemui cinta yang selama ini terhalang dunia dan segala kesulitannya. Sementara tak ada cara lain bagi Sofia selain melepaskan kepergian sang Ayah. Ia tak akan tega melihat pria itu lebih lama di hina sebagai orang gila, juga menyaksikan bagaimana tubuh yang awalnya gagah nan kokoh itu semakin kurus dari hari ke hari.

"Sofia akan melanjutkan cita-cita Ayah sebagai pelukis. Dan selamanya di mata Sofia, ayah tak pernah nampak seperti pria gila."

Biarkan Ku Pergi Pada Cintaku

[Author Note]

Hai guys....

Kalo kalian berkenan atau pengen baca cerpen karya ku lebih banyak, bisa mampir di halaman karya karsa aku ya....

https://karyakarsa.com/Ravenz

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun