"Sstt! Tutup mulut kamu, Mas."
Jiya melepas pegangan pada lengan Jack, lalu melangkah menyebrang. Dengan susah payah sosok itu mengerjakan kaki dan tingkat bantu, mengambil sepucuk bunga mawar yang terjatuh dari buket. Menggeleng pelan, Jack lantas mempercepat langkah, mengejar pergerakan Jiya yang juga hendak menuju ke arahnya.
Ciiit.…
Bruaakk!!!
Tubuh ringkih Jiya terlempar sebelum kemudian terantuk tiang lampu jalanan. Darah mengucur dari bawah tubuhnya, mengejang di jalanan kering. Seketika tubuh Jack melemas, ia jatuh berlutut dengan air mata membanjiri pipi.
"Jiya!!!"
Sesal begitu mendalam, di mana takdir mengambil nyawa istrinya terlalu cepat, dalam sebuah kecelakaan konyol karena sepucuk bunga mawar. Dan di sanalah, awal kehancuran karir sang seniman yang pernah menggemparkan kota — "Prince of Charm," begitulah mereka menyebut.
"Bahkan setiap menggambar wajah perempuan itu dia selalu menangis, kadang juga tertawa sendiri. Dia benar-benar gila."
Sungguh, Jack tak ingin memperdulikan orang-orang itu jika hanya sekedar berkata. Namun hari ini, seorang lelaki kecil seumuran putrinya datang dalam sebuah kelompok kecil. Dan jangan lupakan Sofia yang juga turut datang untuk membantunya berjualan seperti biasa.
"Apa lukisan Ayah yang semalam udah jadi?" Jack mengangguk, menunjukan sebuah lukisan dengan wajah ibunya yang tengah tersenyum. Sofia menyentuh lembut kanvas itu sebelum kemudian menoleh pada sang ayah, tersenyum bangga.
"Bunda pasti suka kado ini."