"Jiya, aku sangat mencintaimu, bolehkah aku ikut denganmu?"
Kejadian 4 tahun lalu sungguh membuat Jack gila. Bahkan mengingat nya saja membuat Jack melelahkan air mata, di mana kekasih hatinya harus merenggang nyawa demi sebuah mawar konyol.
Kala itu, dalam cuaca cerah, kala Jack mengandeng tangan Jiya di tengah keramaian jalan. Mereka memutuskan untuk menjemput putri mereka yang baru memasuki sekolah dasar. Ya, bersama-sama, karena Jiya mengalami kelumpuhan permanen pad kaki kanannya — jadi kemanapun pergi perempuan itu selalu membawa tongkat bantu sementara satu tangannya berpegang pada lengan Jack.
Romantis.
Keluarga mereka mungkin menjadi salah satu kelurga paling harmonis di kota kecil itu, jika saja Jiya tidak pernah menginginkan buket mawar merah muda yang tengah di bawa seorang pengantin perempuan yang kebetulan lewat bersama mempelainya.
"Mas, aku pengen buket itu. Kamu gak pernah beliin aku buket bunga."
"Ya sudah, nanti aku beliin ya."
Jiya menggeleng, "Aku maunya buket bunga itu, Mas. Yang di bawa pengantin itu."
Pasangan bahagia itu tengah menyeberang jalan, di seberang di sebuah cafe, kerabat dan teman dari kedua pasangan bahagia itu melambai-lambai, bersorak senang atas kehadiran mereka yang di tunggu. Sementara Jack menatap kesal wajah istrinya yang murung.
Selalu saja begitu, bersikap kekanak-kanakan.
"Bagaimana aku selalu nurutin kemauan mu, Jiya! Gak mungkin aku mint buket bunga itu dari mereka, kan?"