Mohon tunggu...
Ravenz
Ravenz Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Halo guys.... Kalian suka baca cerita? Kalo suka tulisan Raven jangan lupa follow. Aku juga nulis di beberapa platform yang bisa kalian ikuti juga😉 Akun lain Novelme: Ravenz Karya karsa: https://karyakarsa.com/Ravenz IG: @myca_raven

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Rewind

31 Januari 2022   11:28 Diperbarui: 31 Januari 2022   15:24 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rewind — cerpen ditulis oleh Ravenz/Gambar olahan pribadi

Elsa menatap malas kerumunan murid di depannya. Seorang gadis berambut hitam lurus tengah terbaring tak berdaya, pingsan.

Brukk!

Seorang pemuda berbadan tinggi menyenggol tubuh kurus Elsa hingga terantuk tembok. Dengan kesal ia balas menendang kaki sosok itu dengan kedua tangan berkacak pinggang, menatap nyalang.

"Woi, jangan mentang-mentang gue kurus ya, terus lho bisa seenaknya dorong-dorong!"

"Sorry sorry," pemuda itu berucap tanpa menoleh, membuat Elsa semakin kesal pada sosok manis yang terbaring di sana,” Merry, sahabat dari kekasihnya yang bernama Abin.

"Kok Merry bisa pingsan, sih? Tadi waktu jalan sama kamu masih baik-baik aja, kan?" Tanya seorang yang baru muncul setelah pria yang menyenggol Elsa tadi berlalu menggendong Merry. Ya, namanya Jack dan dia adalah kekasih Merry.

"Mana ku tau, dia kan emang sering pingsan, kayak gak tau aja," Elsa melipat tangan di depan dada, menatap malas pada wajah kecemasan si kekasih yang terlihat jelas.

"Kenapa?" Elsa berujar, "Sana ke UKS, liat sahabatmu itu. Kelas ku bentar lagi di mulai, duluan ya."

Elsa berjalan mendahului Abin, tanpa menoleh atau melambai. Berbeda dengan reaksinya dulu, ketika Abin masih dalam fase pendekatan, Elsa begitu manja dan manis. Namun sekarang, ketika mereka berpacaran dan tau lebih banyak tentang satu sama lain ... yang ada hanya rasa muak. Sungguh.

"Bodoh, kenapa juga aku harus perduli sama Merry. Aku gak pernah kenal dia sebelum Kak Abin kenalin aku sama perempuan penyakitan itu. Huh, udah punya pacar, masih aja banyak tingkah," gerutu Elsa sembari berjalan menuju kelasnya yang mulai terlihat.

Bagi Elsa, siang ini begitu buruk dan menyebalkan. Merry menghampiri dirinya, mengajak untuk ke perpustakaan bersama dengan sedikit memaksa. Mereka tak cukup dekat sebenarnya, tapi sejak Elsa berpacaran dengan Abin, mereka mengenal satu sama lain,” tak lebih.

Masih kelas 1 SMA, punya senyum tipis yang begitu manis, mata sipit yang memuaskan cahaya lembut nan hangat, juga tubuh langsing ideal yang menjadi idaman semua murid perempuan — tentu saja berbeda dari Elsa yang kurus tanpa bentuk.

🥀🥀🥀🥀

"Elsa!"

Hampir berjalan keluar gerbang sekolah, Elsa mengehentikan langkah, lalu menepi alih-alih menghalangi jalan murid lain yang juga punya urusan sepulang sekolah.

Jack berjalan mendekat dengan Merry memegang tangannya, berjalan sedikit di belakang dengan wajah menunduk.

"Kenapa? Mau minta maaf?" Elsa mengungkit perihal dirinya yang terdorong tadi. Namun sayangnya Jack tak merasa bersalah.

"Harusnya lo yang minta, lo tuh gak punya kasihan banget jadi orang, udah tau Merry pingsan, kenapa lo malah diem aja, cuma ngelihatin?"

Elsa mengedarkan pandangan, jengah. Ia muak dengan sikap lemah Merry yang menyita seluruh perhatian — termasuk atensi Abin yang harusnya menjadi milik Elsa sebagai pacar.

"Terus? Kan lo juga tau sendiri semua orang bantuin dia?! Terus aku harus sempit-sempitan sama mereka gitu?"

Memang Elsa bersalah, ia mengabaikan ketika sosok yang berada di sampingnya itu mendadak terjatuh.

"Udah kak, lagian kak Elsa gak salah. Yang penting sekarang Merry gak papa," Merry berucap dengan suara lembut yang membuat Elsa semakin iri. Sebagai pacarnya saja, Abin sering mengatai Elsa cempreng dan menjuluki nya 'speaker rusak' keterlaluan.

"Beb, ayo pulang," Elsa pasti sudah menampar laki-laki di belakangnya karena kaget. Namun mengenali suara serak itu, Elsa hanya menoleh, mengeratkan pegangan pada jemari yang saling bertaut. Abin melingkarkan tangan di pinggang Elsa dari belakang, menyandarkan dagu di pundak pacarnya.

"Ya udah ayo, langsung ke rumahku aja ya," Abin mengangguk.

Sudah sejak beberapa bulan lalu, ketika Abin berkunjung ke rumah Elsa, entah dapat keberuntungan darimana ia dengan mudah mendapat restu. Dan hari ini saja ... karena ada urusan keluarga, Abin di beri kepercayaan untuk menjaga Elsa semalam.

"Gue cabut guys," Abin berucap, "Nanti jangan cari aku di rumah, aku nginep tempat Elsa."

"Ok."

Namun belum sempat Elsa melangkah bersama Abin, pacarnya itu melepas tautan tangan mereka, berjalan mendekati Merry, mengusap darah yang keluar dari hidung bangir sahabatnya.

Tak hanya Abin, Jack pun panik. Keduanya sepakat membawa Merry ke rumah sakit terdekat, bicara seolah tak ada Elsa di sana. Sungguh, perempuan bertubuh ringkih itu terabaikan.

"Bahkan kamu gak noleh sama sekali, kak? Kamu gak khawatir sama aku? Cih, payah."

🥀🥀🥀🥀

"Kira-kira ... sampe kapan kita bakal tetep bareng kayak gini, Kak?" Elsa menikmati pelukan Abin yang duduk di sebuah padang rumput. Pemuda itu memeluk kekasihnya fair belakang, membiarkan gadis itu bersandar manja sembari memainkan jemarinya.

"Selamanya."

"Beneran? Kakak bakalan sayang sama Elsa aja? Cinta sama Elsa aja? Janji?"

Abin mengangguk, lalu meraih jari kelingking Elsa dengan tautan jari kelingkingnya yang sedikit lebih besar.

Bohong. Elsa yang kini tengah menangis di atas ranjangnya menggeleng kasar, mengacak rambut pendeknya. Wajah sembab, mata memerah. Duduk dengan lutut terlipat di depan dada, perempuan itu kembali menyembunyikan wajah — tersedu.

Beberapa saat menunggu, masih tak ada pesan dari Abin. Padahal pemuda itu sudah janji akan menginap, dan sampai senja berakhir, apa masih sibuk dengan sahabatnya dan mengabaikan sang pacar yang menangis sendiri?

Warna Jingga tak lagi terlihat di langit barat, di luar begitu gelap dan mungkin akan turun hujan. Tidak, Elsa akan sangat benci rasa dinginnya, apalagi mengingat Abin akan membuatnya semakin sedih.

"Kak Abin beneran lupa sama janji buat Elsa?"

Perempuan itu bertanya-tanya, tapi tak juga mau mengirim pesan pada yang lebih tua —gengsi— memilih menghabiskan mie di meja makan, menikmati suasana dingin sendirian. Sepi.

Air mata mengalir, menatap mie yang ia siapkan di hadapan. Bukan menu spesial seperti yang dibuat bundanya saat Abin datang, tapi itu cukup untuk membuat momen kebersamaan mereka lebih hangat — harusnya.

"Elsa, maaf aku gak bisa temenin kamu malam ini. Merry harus di operasi--"

Brakkk!

Panggilan terputus, Elsa melempar ponselnya ke tembok hingga benda benda pipih itu tak lagi menyala, bahkan kini memiliki retakan parah di layar. Bahkan hanya dengan melihat benda pipih ber-casing couple dengan milik Abin itu saja membuat nafsu makan Elsa hilang. Di tambah mendengar suara sang kekasih yang hanya mengkhawatirkan Merry. Elsa muak. Muak sekali.

🥀🥀🥀🥀

Abin menggenggam tangan Elsa, memohon pada pacar mungilnya itu agar memaafkan. Namun kembali menghempaskan tangan, Elsa berbalik.

"Kenapa? Kenapa kita harus berkahir kayak gini? Kakak bilang kita bakal selamanya? Kakak bilang bakal cinta sama aku selamanya?"

Abin menghela nafas panjang, ketika Berpacaran dengan Elsa, ia memang harus menerima bahwa perempuan berbibir tipis itu sebenarnya sangat manja, posesif dan kekanak-kanakan.

"Lalu mau kamu gimana?" Abin memeluk dari belakang.

"Kita putus," Abin terbelalak kaget, membalik paksa tubuh Elsa, lalu memaksakan pandangan, "Tapi ... Elsa minta, kita gak usah musuhan, hiks. Kita temenan aja."

"Apa harus putus? Apa kamu udah gak bisa maafin Kakak?" Abin mengusap lelehan air mata yang membanjiri pipi Elsa.

"Maaf kak, aku mau kita putus."

"Ya udah kalau itu maunya kamu," Abin meraih jari kelingking Elsa untuk kesekian kalinya, "Kakak janji, kita gak akan musuhan. Dan walaupun udah putus, kakak masih bakalan sayang sama kamu, Elsa. Jaga diri baik-baik, hmm?"

Hari itu Elsa mengangguk, lalu berjalan pergi meninggalkan Abin lebih dulu. Namun Abin bukan pria romantis yang akan mengejar dan memeluk Elsa untuk terakhir kali sebagai pacar, ia lebih memilih berbalik dan mengabaikan hari buruk ini ... yang terpenting besok Abin bertekad untuk melakukan yang terbaik.

Waktu berlalu cepat, dengan Elsa dan Merry yang tak lagi berstatus sebagai kekasih. Dan lagi ... janji yang diberikan Abin kali terkahir tak terwujud.

Kesal, sedih, kecewa, marah, semua emosi seolah menyatu dalam jiwa yang terbakar setiap kali melihat Abin berjalan di depan koridor kelas atau sekedar berpapasan ketika menuju kantin. Mereka masih diam. Sekali Elsa tersenyum, pemuda itu membalas sebelum kemudian bergegas pergi. Kenapa?

"Hiks, dia bohong lagi sama gue. Dia gak ada tepati janjinya sama sekali, hiks. Payah banget gue percaya sama omongan buaya darat macam Abin," di sebuah bangku pojok di kantin, Elsa mencurahkan kesedihannya pada dua teman terdekat yang hanya bisa mengelus lembut pundaknya sembari menuturkan sedikit nasehat.

"Kami gak pernah tau kalau kak Abin sepayah itu. Udah gak papa putus, penting lo bisa ngerasa bebas dan gak terbelenggu sama dia mulu," Elsa mengangguk, setuju dengan ucapan temannya.

Menyuapkan beberapa sendok nasi kedalam mulut, ketiga perempuan itu menoleh pada Abin yang tanpa ba-bi-bu langsung duduk di samping Elsa, memberikan bagian telur rebus ya pada si manis yang masih sembab — ini kebiasaan sejak dulu, Abin tidak suka telur rebus, tapi tetap memesan itu untuk sekedar diberikan pada Elsa.

"Makan yang banyak, Elsa," setelah menepuk pucuk kepala Elsa, pemuda itu berlalu. Semudah itu? Untuk mengembalikan semburat merah muda di pipi Elsa, untuk membuat Elsa kembali berdebar? Untuk membuat hati kecil Elsa berteriak meronta menginginkan pelukan hangat Abin?

Elsa sangat Iri melihat Abin yang seolah begitu santai meski mereka baru putus, apa Elsa tak memiliki arti selama ini? Baiklah, maka sahabat memang lebih berharga daripada Elsa sebagai pacar.

🥀🥀🥀🥀

Ting ... tong....

Elsa berdecak sebal, kedua orang tuanya sedang pergi, jika tidak ia tidak perlu repot berjalan menuruni tangga dari kamarnya untuk sekedar melihat siapa yang datang.

"Siapa?"

Tak melihat siapapun, Elsa mengernyit melihat sebuah kado berbentuk hati merah dengan hiasan pita kuning dengan ucapan "Selamat hari valentine."

Bukanya mengambil, gadis itu hanya berkacak pinggang, menoleh kesana-kemari, mencair si pengirim — Jika belum jauh, Elsa ingin memukulnya dengan pegangan sapu sampai patah kaki. Tak salah lagi, pasti Abin adalah pelakunya. Pemuda itu dengan tidak tau diri masih mengirimkan hadiah setiap kali Elsa ulang tahun, setiap tanggal hari jadian mereka dulu, setiap hari valentine — selama 4 tahun ini.

Elsa tak perduli, lagipula ... hari itu terlalu menyakitkan untuk di kenang. Ketika Abin meninggalkannya tanpa menoleh sedikitpun, tanpa menghawatirkan keadaanya yang tinggal sendirian di rumah.

"Elsa? Kenapa kamu tendang kado nya? Lihat tulisannya, itu buat Bunda dan Ayah, pasti itu kado yang nenek bilang kemarin."

Kedua manik mata Elsa membulat kala mendapati sang Bunda yang berjalan memasuki gerbang dengan barang belanjaan di keranjang. Memungut pelan kado itu, Elsa meneguk ludah kasar.

"Bener, ini dari nenek. Elsa kira...."

Bunda tersenyum, meletakan belanjaan di teras, lalu menghampiri putrinya yang duduk di lantai sembari membuka kado yang ternyata berisi coklat khas buatan nenek.

"Elsa," Bunda mengelus lembut rambut pendek putrinya, gaya yang masih tak berubah sejak beberapa tahun lalu, "Cowok juga bisa capek. Dia gak bakal perjuangin kamu selama-lamanya. Abin udah berjuang selama 4 tahun ini, dan kamu gak kasih dia respon sama sekali. Jadi kalo dia berhenti, kamu jangan nyesel. Bunda pengen Elsa buat keputusan terbaik."

Sepeninggal bundanya, Elsa beranjak keluar gerbang. Ini hari valentine, dan harusnya di tengah hari ini kado dari Abin sudah sampai untuk dia tendang dan diinjak-injak. Namun mana? Apa pria itu sudah lelah dengan Elsa? Dan apa Elsa mengharapkan kado itu?

Sial. Daripada gerah dan tercekik kenangan, lebih baik Elsa pergi mencari minuman segar di deret pertokoan. Namun sialnya, hari yang katanya penuh kasih sayang ini semua pasangan seolah berlomba memperlihatkan siapa yang paling romantis, dan Elsa yang naif berjalan sendirian dengan wajah muram.

"Eh, Elsa!"

Merasa pundaknya di tepuk, Elsa menoleh dan mendapati seorang pria familiar tersenyum dengan tangan sibuk menggendong anjing Pomeranian bercorak hitam putih — menggemaskan.

Elsa berfikir sebentar, berusaha keras mengingat siapa pemuda itu, "lo Eden?" Akhirnya ia berucap ragu.

"Masa lupa temen sekelas sendiri? Padahal dulu kita di pasangin gitu di sekolah, masa lupa?"

"Habisnya lo sekarang kelihatan beda. Dulu Eden yang suka ngejar-ngejar aku, tiap hari lewat depan rumah aku kayak paparazi tuh kurus kering perasaan deh?"

Eden terkekeh pelan, "Yuk masuk cafe, aku traktir deh. Ngobrol bentar gak papa kan ya? Aku soalnya dah lama emang pengen ketemu kamu."

"Cieee ... jangan bilang lo masih suka sama gue," goda Elsa dengan nada bercanda.

Elsa mengikuti langkah Eden, lalu duduk berseberangan dengan pemuda itu. Keduanya hanya memesan minuman, tapi bahkan ketika minuman itu telah tersaji, keduanya masih sing bungkam.

"Umm ... tadi lu mau ngomong apa?" Elsa akhirnya membuka obrolan, ia begitu benci kecanggungan yang mendadak.

"Itu, tentang dulu yang gue suka diem-diem merhatiin kamu, sama sering lewat depan rumah kamu itu sebenernya aku gak pernah ada perasaan sama kamu."

"Terus?" Elsa memiringkan kepala, penasaran, "Semua pasti ada alesannya, kan?"

"Iya," salah satu tangannya mengusap lembut bulu anjing, tersenyum tipis, pria itu menatap Elsa, "Permintaannya Abin."

"Maksud lo pa?"

"Kamu tau, kan? Aku sepupunya Abin, dia sering traktir dan bantu aku saat lagi susah keuangan. Jadi, aku ngerasa gak enak dan harus balas Budi. Dia bilang semua impas, asal dia mau aku bantu dia jagain kamu."

"Lo jangan songong ya!" Elsa beranjak dari duduknya, "Jangan bilang lo kayak gini cuma karena di suruh Abin, iya?"

Eden menggeleng pelan, "Engga. Abin itu cinta sama kamu. Masa kamu masih belum ngerti juga. Waktu itu pas kamu di tinggal orang tua kamu sendirian, dia emang lagi nungguin Merry di rumah sakit, karna apa?"

Elsa yang hampir beranjak pergi akhirnya berbalik, kembali duduk di kursinya. Memang otak mengajaknya keluar untuk tak lagi berurusan dengan Abin, tapi hati masih menjerit memanggil nama pria yang selalu ia rindukan.

Pada akhirnya penyesalan menghampiri, meluruhkan air mata deras membasahi pipi. Benar apa yang dikata ibunya, pria pasti punya rasa lelah untuk mengejar tanpa diberi respon sama sekali.

Di hari Valentine itu, Elsa tau alasan Abin meninggalkannya hari itu. Jack adalah pewaris utama keluarga, ia selalu sibuk dengan dunia seputar perbisnisan bahkan sebelum mereka lulus SMA. Sementara Abin, ia mengemban janji pada keluarga joengin untuk menjaga sahabatnya yang memang memiliki kelainan lah fisik. Dan Elsa tau ... Abin selalu mencintainya, Abin selalu memikirkannya, Abin selalu mengkhawatirkannya.

"Terus sekarang, Abin di mana? Hiks, dia gak ada ngasih kado valentine buat aku kayak tahun-tahun lalu," tangis Elsa.

"Hari ini dia mau ngelamar ceweknya. Mungkin itu yang terbaik buat dia."

Waktu seolah terhenti, hati teriris. Elsa membeku dalam diam. Terlambat, ia terlalu bodoh untuk menyadari betapa Abin mencintainya selama ini. Sungguh, Elsa menyesali mengapa fakta itu datang terlalu lama.

Tak bisa menahan tangis, Elsa berlari pergi keluar cafe tanpa perduli pada Eden. Persetan dengan orang-orang yang melihatnya keheranan, sekali ia berhenti untuk mengusap air mata yang menggenang di peluk mata atau membiarkan benda bening itu mengalir bebas membasahi pipinya.

Sakit. Sangat sakit. Bahkan setiap langkah yang ia ambil seolah tak lagi berarti. Elsa hanya butuh Abin. Dan ketika hati begitu hancur, bagi Elsa tempat paling nyaman untuk menangis adalah kamarnya. Dan dengan berlari perempuan itu kembali pulang.

Saking sedihnya, Elsa mengabaikan mobil hitam yang terparkir di halaman rumahnya.

"Cih, pasti nenek sama bibi datang bagi-bagi kue sama coklat. Hiks. Kalo ketauan nangis bisa malu, tapi mau gimana lagi, hati Elsa udah terlanjur sakit."

Elsa melangkah masuk tanpa memperdulikan beberapa orang di ruang tamu yang tengah berkumpul. Pandangan juga sedikit kabur karena air mata. Hanya satu yang terpikir di benak Elsa, 'Ia harus cepat pergi dari sana.'

"Elsa! Heh, kok gak sopan banget sih ada tamu malah nyelonong tanpa permisi," mata ayahnya.

Elsa masih tak menghentikan langkah, justru menghentak kesal melipat tangan di depan dada — tepat seperti bocah TK yang tengah merajuk ketika minta dibelikan permen.

"Elsa, saya datang buat ngelamar kamu."

Deg.

Suara itu ... saking rindunya, apa Elsa berhalusinasi? Masih tak menoleh, tapi perempuan itu terdiam mematung.

"Elsa," Abin kembali memanggil, "Kamu beneran gak mau duduk bareng saya? Kamu beneran gak mau ngasih saya kesempatan?"

Air mata kembali mengalir, kedua telapak tangan Elsa mengepal erat, tapi langkah tak tertahan untuk berbalik, lalu memeluk Abin yang tengah duduk di depan orang tuanya.

"Kenapa kamu nangis, Elsa?" Tanya mama Abin, membuat gadis itu memperbaiki posisi duduk, melepaskan pelukan Abin.

"Soalnya kata Eden, kak Abin mau ngelamar ceweknya," Elsa berucap polos.

"Ya kan kamu cewek kakak, hmm? Maaf, kakak selama ini gak bisa jadi yang terbaik buat kamu, tapi kakak pengen berusaha jadi yang terbaik buat kamu. Mau engga nerima lamaran kakak?"

Air mata mengalir, membasahi pipi Elsa. Abin sedikit panik, menyeka wajah mantan kekasihnya yang memerah. Entah ia marah atau malu? Sementara ke empat orang tua yang menyaksikan itu hanya tertawa ringan.

"Kenapa kakak tanya lagi! Kakak udah tau jawabannya!" Elsa memukul dada bidang Abin.

"Gimana kakak bisa tau kalau kamu aja belum ngomong."

"Iya! Elsa mau! Elsa janji gak akan nakal dan lebih pengertian lagi, kak Abin juga harus janji buat selalu cinta sama Elsa."

Malam itu ... mereka resmi merubah status, dari mantan kekasih menjadi tunangan. Elsa sebenarnya mengungkit tentang Merry, tapi Abin merasa tugasnya telah selesai karena sahabatnya itu kini telah resmi menikah dengan Jack. Sekarang, gilirannya untuk kembali mendapatkan Elsanya.

Abin memang payah dalam mengungkapkan emosi dan perasaan, tapi ia mampu meyakinkan dengan tindak perbuatan.

"Ayo kita ulangi semua ... dari awal."

The end.

Halo temen-temen.

Kenalin, namaku Raven. Aku suka banget bikin cerpen kayak gini, kalo kalian suka dan nyaman bacanya, kalian bisa follow akun ku ini. Kalian juga bisa ikutin halaman karya karsa aku [ https://karyakarsa.com/Ravenz ]

Kebetulan banget, kalo kalian suka baca — aku juga nulis di Novelme dengan nama akun "Ravenz" kalian mungkin penasaran dan pengen baca novelku yang berjudul "Istri Muda Seumuran Anakku."

Bye....

Sampe jumpa di cerpen lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun