"Selamanya."
"Beneran? Kakak bakalan sayang sama Elsa aja? Cinta sama Elsa aja? Janji?"
Abin mengangguk, lalu meraih jari kelingking Elsa dengan tautan jari kelingkingnya yang sedikit lebih besar.
Bohong. Elsa yang kini tengah menangis di atas ranjangnya menggeleng kasar, mengacak rambut pendeknya. Wajah sembab, mata memerah. Duduk dengan lutut terlipat di depan dada, perempuan itu kembali menyembunyikan wajah — tersedu.
Beberapa saat menunggu, masih tak ada pesan dari Abin. Padahal pemuda itu sudah janji akan menginap, dan sampai senja berakhir, apa masih sibuk dengan sahabatnya dan mengabaikan sang pacar yang menangis sendiri?
Warna Jingga tak lagi terlihat di langit barat, di luar begitu gelap dan mungkin akan turun hujan. Tidak, Elsa akan sangat benci rasa dinginnya, apalagi mengingat Abin akan membuatnya semakin sedih.
"Kak Abin beneran lupa sama janji buat Elsa?"
Perempuan itu bertanya-tanya, tapi tak juga mau mengirim pesan pada yang lebih tua —gengsi— memilih menghabiskan mie di meja makan, menikmati suasana dingin sendirian. Sepi.
Air mata mengalir, menatap mie yang ia siapkan di hadapan. Bukan menu spesial seperti yang dibuat bundanya saat Abin datang, tapi itu cukup untuk membuat momen kebersamaan mereka lebih hangat — harusnya.
"Elsa, maaf aku gak bisa temenin kamu malam ini. Merry harus di operasi--"
Brakkk!