Waktu berlalu cepat, dengan Elsa dan Merry yang tak lagi berstatus sebagai kekasih. Dan lagi ... janji yang diberikan Abin kali terkahir tak terwujud.
Kesal, sedih, kecewa, marah, semua emosi seolah menyatu dalam jiwa yang terbakar setiap kali melihat Abin berjalan di depan koridor kelas atau sekedar berpapasan ketika menuju kantin. Mereka masih diam. Sekali Elsa tersenyum, pemuda itu membalas sebelum kemudian bergegas pergi. Kenapa?
"Hiks, dia bohong lagi sama gue. Dia gak ada tepati janjinya sama sekali, hiks. Payah banget gue percaya sama omongan buaya darat macam Abin," di sebuah bangku pojok di kantin, Elsa mencurahkan kesedihannya pada dua teman terdekat yang hanya bisa mengelus lembut pundaknya sembari menuturkan sedikit nasehat.
"Kami gak pernah tau kalau kak Abin sepayah itu. Udah gak papa putus, penting lo bisa ngerasa bebas dan gak terbelenggu sama dia mulu," Elsa mengangguk, setuju dengan ucapan temannya.
Menyuapkan beberapa sendok nasi kedalam mulut, ketiga perempuan itu menoleh pada Abin yang tanpa ba-bi-bu langsung duduk di samping Elsa, memberikan bagian telur rebus ya pada si manis yang masih sembab — ini kebiasaan sejak dulu, Abin tidak suka telur rebus, tapi tetap memesan itu untuk sekedar diberikan pada Elsa.
"Makan yang banyak, Elsa," setelah menepuk pucuk kepala Elsa, pemuda itu berlalu. Semudah itu? Untuk mengembalikan semburat merah muda di pipi Elsa, untuk membuat Elsa kembali berdebar? Untuk membuat hati kecil Elsa berteriak meronta menginginkan pelukan hangat Abin?
Elsa sangat Iri melihat Abin yang seolah begitu santai meski mereka baru putus, apa Elsa tak memiliki arti selama ini? Baiklah, maka sahabat memang lebih berharga daripada Elsa sebagai pacar.
🥀🥀🥀🥀
Ting ... tong....
Elsa berdecak sebal, kedua orang tuanya sedang pergi, jika tidak ia tidak perlu repot berjalan menuruni tangga dari kamarnya untuk sekedar melihat siapa yang datang.
"Siapa?"