Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dear Mantan, Masih Gay 'Kah Dirimu?

19 Februari 2020   23:18 Diperbarui: 19 Februari 2020   23:13 3939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kadang, bekas luka bisa membuat kita terlihat keren di kemudian hari. Bahkan sekalipun itu terukir jauh di dalam hati."

Namanya Arya. Tentu saja bukan nama asli. Tapi mari sebut saja begitu biar tidak dituduh membeberkan rahasia seseorang. Arya itu sebenarnya cowok biasa saja. Baik tampang, otak, penampilan, isi dompet ... semuanya biasa. 

Tapi jika ada kontes cowok paling peka dan paling mengerti cewek, maka saya berani jamin Arya juaranya. Saat hampir sebagian besar cowok menganggap PMS sang pacar adalah fase paling misterius sekaligus mengerikan tiap bulannya, tidak demikian dengan Arya. 

Arya selalu mampu menghadapinya dengan luar biasa kalem. Dia bak sudah amat terlatih menghadapi mood swing cewek (baca : saya) separah apapun. Tak peduli walau kadang harus dimaki atau dibentak sedemikian rupa, ketenangannya tak sedikit pun luntur. 

Saya ingat, dulu paket dalam bungkus kresek berisi pembalut, obat pereda nyeri haid, plus cokelat atau es krim selalu rutin sampai di pintu kosan saya setiap bulannya. Tanpa pernah saya minta. Tanpa pernah saya suruh. Sampai sekarang, saya tidak tahu bagaimana caranya dia bisa tahu jadwal tamu bulanan saya, padahal kami tidak pernah membahasnya.

Yang pasti -setidaknya di mata saya-, Arya adalah manusia yang dianugerahi Tuhan dengan kontrol emosi paling hebat, sumbu sabar paling panjang, serta perhatian dan kelembutan hati paling sempurna. 

Saya tidak melebih-lebihkan lho. Sampai detik saya mengenalnya waktu itu, memang belum pernah ada seseorang yang memperlakukan saya dengan begitu manis dan penuh kasih seperti dia. Bahkan orang tua dan kerabat dekat pun masih kerap hilang sabar menghadapi kelabilan saya.

Arya tidak. Dia berbeda. Dia adalah ketenangan, yang mampu mendamaikan setiap sendi kehidupan seorang Ara yang begitu penuh gejolak di masa itu. 

Witing Tresno Jalaran Soko Kulino ...

Saya dan Arya adalah teman sekaligus rekan kerja. Kami dipertemukan di satu perusahan yang sama. Dalam banyak hal, lelaki yang 5 setengah tahun lebih tua dari saya itu benar-benar seperti berada di kutub berbeda. 

Saya pecicilan dan meledak-ledak, dia pendiam. Saya childish, dia dewasa. Saya benci dangdut, dia maniak dangdut. Saya mageran, dia senang sekali jalan kaki. 

Saya suka nonton bola, dia tidak suka pertandingan olahraga apapun. Saya makhluk nocturnal, dia morning person.  Saya Kristen KTP, dia muslim yang teramat taat (at least kalau dilihat dari kebiasaannya sehari-hari yang tidak pernah meninggalkan salat, rajin puasa sunnah, dan pilih mengaji di sela-sela waktu luangnya).

Bisa dikatakan, 90% segenap aspek hidup kami bertolak belakang. Hampir sebagian waktu kami dihabiskan untuk mendebatkan apa saja. Saling membenturkan pemikiran yang sudah berseberangan dari sononya. Pada akhirnya, memang hanya dua hal yang mendamaikan kami : buku dan durian.

Mungkin karena dari awal sudah tahu kami ini demikian berbeda satu sama lain, lama kelamaan jadi bosan berselisih. Di antara rekan sekantor yang lain, kami berdua malah yang paling akrab dengan segala ketidak-cocokan yang ada. 

Oh iya, saya perhatikan, sikap Arya dalam memperlakukan saya begitu berbeda. Jauh lebih manis, jauh lebih lembut ketimbang sikapnya ke teman cewek kami yang lain. Padahal saat itu saya lagi tomboy-tomboynya. Teman-teman cowok yang lain menganggap saya bagian dari mereka, saking sangar dan machonya saya saat itu.

Saya tidak pernah tahu kapan persisnya saya jatuh hati pada Arya. Pokoknya tahu-tahu sudah sayang saja. Susahnya, rasa itu ternyata sudah terlanjur dalam. 

Enggan menyimpannya sendiri, saya pun nekat menyatakan rasa. Meski tak mau berekspektasi atau berharap apa-apa. Toh, sudah tahu, terlalu banyak jurang perbedaan di antara kami. 

Saya juga tidak mau perasaan saya tersebut mengubah keakraban kami di kemudian hari. Tidak, saya tidak mau. Niat saya murni sebatas memberi tahu saja.

"Ar, gue sayang lo...," ucap saya.

"Ok. Thanks ...," sahut Arya sambil lalu.

Saya diam sejenak, sebelum akhirnya kembali bicara dengan nada lebih serius. 

"Arya. Gue sayang lo. Lebih dari teman. Lebih dari sahabat. Gue enggak tahu wujud cinta sebenarnya itu kaya' mana. Tapi gue nggak pernah ngerasain ini sama cowok manapun. Jadi mungkin ... mungkin, gue cinta lo, Ar ..."

Arya tampak berpikir. Namun kemudian menatap saya lekat-lekat, "Ok, terus?"

Entah bagaimana, saya mendadak gugup. "Te... terus..., ya udah. Gitu aja. Gue cuma pengen lo tahu..."

"Mau nyoba pacaran?"

"EHH? Emang bisa?" Saya kaget.

"Ya nggak tahu. Makanya kita coba dulu, baru ntar sama-sama tahu kita bisa apa nggak..."

Dan begitulah kami resmi jadian. Meski kalau diingat-ingat rasanya nggak ada yang berbeda antara sebelum dan sesudah kami pacaran. Arya tetaplah Arya. Yang selalu manis, baik, lembut, peka, dan teramat perhatian pada saya. 

Arya itu pacar, namun juga sekaligus sahabat, kakak, guru, dan support system terbaik saya.  Oh iya, meskipun pendiam, ternyata dia juga bisa jadi partner gila-gilaan yang teramat asyik. Tak satu pun ada acara nge-date yang kami rencanakan. Semuanya spontan. 

Arya itu nggak tertebak. Arya itu penuh kejutan. Sungguh pasangan sempurna untuk Ara yang sangat mudah bosan.

Semuanya berjalan baik. Semuanya tampak indah. Semuanya sempurna. Bahkan drama dan percikan kecil yang kadang muncul terasa seperti bumbu yang menjadikan hubungan kami terasa begitu sedap. 

Sampai suatu ketika, malapetaka itu muncul dalam wujud orang ketiga. 

Ryan, Abdi Negara Tampan dari Kota X

Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, Arya itu bukan tipe manusia emosional. Dia teramat pandai mengontrol diri serta emosi. Namun, pada Januari tahun itu ... saya melihat ada yang berubah dalam diri seorang Arya.

Ya, dia masih tetap Arya yang kalem dan tenang di depan umum, namun kali itu, saya bisa merasa ada kegelisahan besar yang dia sembunyikan. Arya mulai sering menyendiri.

Arya sering menjauh kala mengangkat telepon, dan selalu berbicara dengan nada tak sabar pada seseorang. Belum pernah saya mendengarnya berbicara begitu pada siapapun sebelum ini. Sekali waktu, saya juga pernah memergokinya melamun dengan mata berkaca di belakang kantor kami.

Saya mengingat-ingat, kapan tepatnya Arya jadi demikian aneh begitu. Kalau tidak salah sudah beberapa waktu, tepatnya setelah dia kembali dari masa cutinya akhir tahun lalu. 

Arya sempat cerita, waktu cutinya dihabiskan untuk menemani seorang teman lama dari kota X yang kebetulan sedang berlibur. Saya sempat lihat foto liburan mereka di Facebook.  Dari FB pula saya tahu teman Arya itu. Seorang cowok ganteng bernama Ryan.

Arya sudah lama kenal Ryan sejak keduanya masih sama-sama kuliah bertahun-tahun lalu. Saat ini, Ryan merupakan abdi negara di salah satu instansi pemerintahan sembari menyelesaikan S2-nya.

Yang mengherankan saya, mengapa selepas cuti yang bersamaan dengan kembalinya Ryan ke Kota X, Arya benar-benar menjadi seperti orang lain? Saya bahkan sempat merasa Arya seperti sengaja menghindari saya karena malas ditanya-tanya.

Jujur, selama ini saya sudah sempat curiga kalau Arya itu tidak normal, dalam artian orientasi seksualnya menyimpang. 

Pembawaan Arya itu terlalu gemulai untuk ukuran laki-laki pada umumnya. Plus dalam beberapa kali kesempatan, saya juga pernah memergoki Arya menatap dalam-dalam seorang pria di tempat-tempat yang pernah kami kunjungi bersama.

Tapi saat itu, saya tidak berani berspekulasi terlalu jauh. Zaman itu, LGBT belum booming seperti sekarang. Saya tidak pernah punya cukup bukti maupun pengetahuan untuk sekadar menduga-duga. 

Namun kian hari, keanehan Arya kian nyata. Bahkan di satu momen, Arya sampai membentak ketika saya tanya Ryan itu siapa dan saya bilang saya nggak suka Arya terlalu sering menelepon Ryan.

"Dengar ya Ara! Ryan itu sahabat gue. Orang penting dalam hidup gue. Lo kenal gue berapa tahun sih? Lo itu nggak tahu apa-apa soal gue. Ryan yang tahu! Apa haknya lo larang-larang gue telepon Ryan?"

Meski setelahnya Arya seperti langsung tersadar dan buru-buru meminta maaf, kecurigaan saya makin hari makin subur dan subur saja. 98% saya sudah yakin kalau mereka berdua ada hubungan spesial. Sisa 2%-nya hanya menunggu konfirmasi dari salah satu dari mereka.

Lalu pada suatu malam, saya berhasil menyudutkan Arya untuk bicara 4 mata. Dan ... yah. Singkat cerita, Arya mengaku. 

Bahwa dirinya adalah penyuka lelaki. Bahwa dia sempat jadi korban pelecehan saat masih remaja. Bahwa Ryan adalah BF(boyfriend)-nya sejak masih kuliah dulu. 

Bahwa Arya meninggalkan Kota X kembali ke kampung halamannya (kota kami saat itu), semata karena ingin bertobat dan ingin meninggalkan kehidupan kelamnya. Termasuk meninggalkan Ryan. 

Bahwa Arya mengaku sungguh-sungguh menyayangi saya yang menurutnya mengingatkan akan sosok mendiang adiknya. Bahwa menurutnya dia sudah berusaha sekuat tenaga dan melakukan segala cara untuk bisa mencintai perempuan.

Namun pada akhirnya, Arya memang  tidak bisa membohongi diri sendiri. Dia belum sanggup menghapus jejak Ryan dari hatinya. Dari hasrat terdalamnya.

"Ra. Sekarang lo tahu aslinya gue. Inilah gue, Ra. Cowok yang lo sayang. Cowok yang selalu lo puji baik dan manis di depan orang-orang, aslinya begini. Gue nggak tahu, apa buat minta maaf ke lo pun masih layak atau nggak. Tapi satu hal, Ra. Kalau setelah ini lo nggak mau kenal gue lagi, gue paham ..."

Malam itu, hati saya remuk. Meski sudah menduga dan mempersiapkan diri sebelumnya, namun mendengar pengakuan langsung dari Arya tetap semenyakitkan itu ternyata.

Dan malam itu juga, saya juga menyadari sesuatu yang lain, bahwa Ryan bukan orang ketiga dalam hubungan kami. Justru sayalah orang ketiganya.

Move On, Tak Semudah Itu, Fergusso!

Hubungan kami berakhir. Tentu saja. Namun perkara berhenti mencintai atau pindah ke lain hati ternyata menjadi babak perjuangan tersendiri di hidup saya.

Tidak ada yang lebih menyakitkan ketimbang berusaha membenci sesuatu atau seseorang yang sebelumnya sangat kita cintai. 

Saya tahu, kami tidak ditakdirkan bersama. Orientasi seksual bukanlah satu-satunya jurang pemisah antara kami. Masih ada tembok perbedaan keyakinan yang sejak semula ada. Meski begitu, bahkan sampai detik ini pun, saya tidak pernah sanggup membencinya walau setetes.

Bagaimana sanggup membenci jika Arya masih sama baik dan manis seperti dulu? Arya benar-benar seperti candu. Dengannya saya tenang dan damai, tanpanya saya sakaw. 

Tapi efek buruk jangka panjangnya jelas nyata. Ketergantungan saya pada sosok Arya menjadikan saya terpuruk sedemikian rupa. Meski sudah berulang kali coba menambatkan hati pada orang lain, pada akhirnya sia-sia. Karena dari awal saya tidak percaya kalau akan ada lelaki lain yang mampu mengerti saya seperti dia. 

Pada akhirnya, semua rasa frustrasi dan keputusasaan itu hanya diluapkan dalam pertanyaan klise pada Tuhan :

"Kenapa kami harus bertemu dan saya diizinkan mencintainya sedemikian dalam kalau tidak ditakdirkan bersama?"

Move on? 

Pffftt! Sungguh 2 kata itu cuma mudah diomongkan tapi sangat sulit dicapai. Faktanya,  butuh waktu nyaris 8 tahun untuk saya benar-benar terbebas dari seorang Arya. Terbayang tidak, dalam kurun waktu tersebut berapa liter air mata yang sudah saya produksi untuk meratapi kisah kami?

Epilog

Arya tidak tahan dekat-dekat saya terlalu lama sejak pengakuan malam itu. Yah, dimaklumi. Mana ada manusia yang betah dekat-dekat orang yang tahu rahasia terbesarmu?

Kurang dari 3 bulan kemudian, Arya resign lalu pindah ke kota X. Iya. Dia kembali sekota dengan Ryan.

Di sisi lain, saya sama tidak tahannya. Setiap sudut kota seperti mengingatkan saya pada Arya. Terlalu banyak kisah dan kenangan kami terserak di setiap lorongnya. Bahkan aroma tubuhnya seperti menyatu dengan udara yang saya hirup. Menyesakkan!

Berselang beberapa bulan, saya menyusul resign dan pilih memulai hidup baru di Palembang. Berharap bisa membuka lembaran baru.

Apa saya berhasil melupakan Arya? Tidak. Tidak mungkin jika dia terlanjur menorehkan luka paling dalam sekaligus paling keren yang pernah ada di hati saya. Lagipula, saya juga tidak berniat melupakannya kok.

Kalau tidak salah ingat, kami terakhir jumpa sekitar 5 tahun lalu saat dia ke Palembang. Iya. Hubungan kami masih sangat oke. Kami bahkan masih berteman baik sampai sekarang. Keren sih memang, tapi kalau dipikir mungkin itu juga dulu yang membuat proses move on berlangsung begitu lama. 

Kabar baiknya, semuanya sudah berlalu sekarang. Saya sudah berdamai dengan semua itu. Juga saya sudah punya tambatan hati yang baru. 

Arya dan semua yang pernah terjadi di antara kami biarlah tetap hidup dalam memori. Bagaimana pun, dia adalah lelaki yang paling berjasa mengajari saya tentang cinta.

Oh iya, dalam waktu dekat, ada kemungkinan saya akan jumpa lagi dengan Arya. Belum tahu sih, bakal seperti apa pertemuan kami kelak. Bingung juga mau membahas apa. Tapi kalau benar saat itu tiba, akan ada satu pertanyaan yang pasti terlontar dari mulut saya: 

Dear mantan, masih gay kah dirimu? 

***

Tulisan ini dibuat dengan rasa terima kasih pada mantan terindah yang pernah ada, dan diikutsertakan pada event Blog Competition Estafet sebagai bagian dari Tim Pempek Lenggang dari Palembang.

"Pempek Lenggang oi Pempek Lenggang

Pempek untuk orang tersayang

Pempek Lenggang oi Pempek Lenggang

Makan sikok pastilah Kenyang.."

Salam Pempek Lenggang : 

Arako, Elly Suryani dan Grant Gloria Kesuma

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun