Saya tahu, kami tidak ditakdirkan bersama. Orientasi seksual bukanlah satu-satunya jurang pemisah antara kami. Masih ada tembok perbedaan keyakinan yang sejak semula ada. Meski begitu, bahkan sampai detik ini pun, saya tidak pernah sanggup membencinya walau setetes.
Bagaimana sanggup membenci jika Arya masih sama baik dan manis seperti dulu? Arya benar-benar seperti candu. Dengannya saya tenang dan damai, tanpanya saya sakaw.
Tapi efek buruk jangka panjangnya jelas nyata. Ketergantungan saya pada sosok Arya menjadikan saya terpuruk sedemikian rupa. Meski sudah berulang kali coba menambatkan hati pada orang lain, pada akhirnya sia-sia. Karena dari awal saya tidak percaya kalau akan ada lelaki lain yang mampu mengerti saya seperti dia.
Pada akhirnya, semua rasa frustrasi dan keputusasaan itu hanya diluapkan dalam pertanyaan klise pada Tuhan :
"Kenapa kami harus bertemu dan saya diizinkan mencintainya sedemikian dalam kalau tidak ditakdirkan bersama?"
Move on?
Pffftt! Sungguh 2 kata itu cuma mudah diomongkan tapi sangat sulit dicapai. Faktanya, butuh waktu nyaris 8 tahun untuk saya benar-benar terbebas dari seorang Arya. Terbayang tidak, dalam kurun waktu tersebut berapa liter air mata yang sudah saya produksi untuk meratapi kisah kami?
Epilog
Arya tidak tahan dekat-dekat saya terlalu lama sejak pengakuan malam itu. Yah, dimaklumi. Mana ada manusia yang betah dekat-dekat orang yang tahu rahasia terbesarmu?
Kurang dari 3 bulan kemudian, Arya resign lalu pindah ke kota X. Iya. Dia kembali sekota dengan Ryan.
Di sisi lain, saya sama tidak tahannya. Setiap sudut kota seperti mengingatkan saya pada Arya. Terlalu banyak kisah dan kenangan kami terserak di setiap lorongnya. Bahkan aroma tubuhnya seperti menyatu dengan udara yang saya hirup. Menyesakkan!