Arya tampak berpikir. Namun kemudian menatap saya lekat-lekat, "Ok, terus?"
Entah bagaimana, saya mendadak gugup. "Te... terus..., ya udah. Gitu aja. Gue cuma pengen lo tahu..."
"Mau nyoba pacaran?"
"EHH? Emang bisa?" Saya kaget.
"Ya nggak tahu. Makanya kita coba dulu, baru ntar sama-sama tahu kita bisa apa nggak..."
Dan begitulah kami resmi jadian. Meski kalau diingat-ingat rasanya nggak ada yang berbeda antara sebelum dan sesudah kami pacaran. Arya tetaplah Arya. Yang selalu manis, baik, lembut, peka, dan teramat perhatian pada saya.
Arya itu pacar, namun juga sekaligus sahabat, kakak, guru, dan support system terbaik saya. Oh iya, meskipun pendiam, ternyata dia juga bisa jadi partner gila-gilaan yang teramat asyik. Tak satu pun ada acara nge-date yang kami rencanakan. Semuanya spontan.
Arya itu nggak tertebak. Arya itu penuh kejutan. Sungguh pasangan sempurna untuk Ara yang sangat mudah bosan.
Semuanya berjalan baik. Semuanya tampak indah. Semuanya sempurna. Bahkan drama dan percikan kecil yang kadang muncul terasa seperti bumbu yang menjadikan hubungan kami terasa begitu sedap.
Sampai suatu ketika, malapetaka itu muncul dalam wujud orang ketiga.
Ryan, Abdi Negara Tampan dari Kota X
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, Arya itu bukan tipe manusia emosional. Dia teramat pandai mengontrol diri serta emosi. Namun, pada Januari tahun itu ... saya melihat ada yang berubah dalam diri seorang Arya.