*
Rabu, 30 Maret '16
Dear Diary...
Belum ada perkembangan tentang Mbah semalam. Dia masih sama gelisahnya dengan malam-malam sebelumnya.
Pagi tadi, mama masak sayur daun katuk dan kates muda, yang dicampur umbi mirip lengkuas yang disebut "Kunci". Baunya sangat khas dan menyengat. Aku tidak suka. Tapi itu sayur kesukaan Si Mbah.Resep turun temurun warisan keluarga di Jawa. Mama berharap Mbah bisa berselera makan dengan menghirup baunya.
Benar saja, Mbah yang selama ini hanya berbaring, jadi duduk begitu menghirup aroma kunci. Saat hendak makan, Mama membimbing Mbah mengucapkan Doa Bapa Kami. Ah, tapi rupanya Si Mbah tidak perlu dibimbing. Memori otaknya masih sama dengan sebelum sakit. Mbah akhirnya meneruskan Doa sendiri, bahkan latah melafalkan 12 butir Pengakuan Iman Rasuli (bentuk pengakuan iman umat Protestan anggota PGI).
Aku dan mama berpandangan lega. Setidaknya ada kemajuan. Lebih lega lagi ketika Si Mbah menghabiskan sayur kunci hingga dua mangkuk meski hanya kuahnya.
Sore harinya, perkumpulan Ibu-ibu dari Gereja menjenguk. Saat mereka berpamitan, Si Mbah bilang "Terima kasih ya, Nak. Mbah sudah tidak bisa membalas apa-apa lagi. Biar Tuhan sendiri nanti yang memberkati..."
Menjelang malam, sekitar jam tujuh kurang, aku mendengar Mbah menangis.
"Gusti Yesus... Hamba sudah tidak kuat lagi. Ampuni semua dosa dan kesalahan hamba, Gustiii... Ampuni hambamu ini...kasihanilah hamba yang berdosa ini..." ucapnya diantara isak.
Aku ingin masuk ke kamar Mbah dan memeluknya. Tapi tidak jadi. Air mataku sendiri mengucur deras tanpa sadar.