Aku teringat dongeng-dongen Mbah tentang zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Ceritanya tentang Bengkulu tempoe doeloe. Nasehat-nasehatnya untuk menjaga diri sebagai perempuan. Pengajarannya agar perempuan harus menjadi tangguh dan mandiri agar tak terlalu tergantung pada lelaki (Mbah sudah ditinggal mati suaminya sejak 30 tahun yang lalu)...juga pesannya agar tak salah memilih pendamping hidup....termasuk bujukannya agar aku meninggalkan profesi jurnalisku untuk bekerja yang bisa  di rumah saja...
Segalanya ditujukan padaku. Untukku..., untuk kebaikanku....
Malam ini, aku menyadari bahwa Mbah menyayangiku. Mungkin memang tak sebesar cintanya pada kakakku...tapi tetap saja, Si Mbah menyayangiku. Aku harusnya tahu. Rasa sayang berlebih pada kakakku itu semata dipicu oleh meninggalnya 3 anak Mbah -saudara mamaku- yang semuanya laki-laki. Â Sayang, selama ini aku menolak memahami... Hatiku terlanjur dibutakan oleh iri hati.
Malam ini, aku berucap doa pada Tuhan, karena hanya Dia sajalah tempat mengadu sekaligus tempat penghiburan yang sejati. "Jika sudah saatnya Engkau mau memanggil Mbahku, mudahkanlah jalannya, Tuhan. Akhiri penderitaanya. Ampuni dosa-dosanya. Pastikan Engkau menyelamatkannya, Tuhan... Aku siap kehilangan Mbah untuk jumpa lagi kelak di hidup yang kekal. Amin"
Â
***
Jumat.,1 April '16
Â
Dear diary...
Mamaku bertanya pagi ini, "Kok Mbah tenang sekali tadi malam? Nyenyak sekali tidurnya. Nggak batuk, nggak sesak juga... Kamu apakan?"
"Oh., aku nyanyikan banyak lagu. Mbah kan kalau nidurkan anak kecil pasti pakai nyanyi..." jawabku.