***
Selasa, 22 Maret 2016
Dear diary...
Hari kedua Pekan Suci Prapaskah.
Dan di sini aku sedang bete tingkat dew. Hari ini Si Mbah buat ulah lagi. Sore tadi, sekitar jam lima turun hujan. Intensitasnya nanggung. Lebat tidak, tapi terlalu deras untuk disebut gerimis. Coba tebak apa, Ry? Iyup. Benar sekali. Si Mbah mandi hujan di luar dengan asyiknya.
"Mbah, jangan hujan-hujanan. Dingin. Nanti rematiknya kumat," tegurku untuk ke-sejuta kalinya.
Dan, untuk ke-sejuta kalinya pula, jawaban bernada "ngeyel" yang sama terucap dari mulut Si Mbah. "Mana hujan? Cuma gerimis begini."
Ah. Si Mbah memang pecinta hujan. Sesuatu yang diwariskannya kepadaku. Memang tidak ada yang lebih nikmat dibanding menggigil di bawah guyuran airnya. Hanya saja, aku merasa tubuh renta yang semakin rapuh dimakan waktu itu jelas akan memburuk jika masih nekat mandi hujan. Bukan soal airnya, tapi angin dingin yang bertiup nakal itu pasti membuatnya sakit.
Tapi niat baikku itu sama sekali tak digubrisnya. Mbah tak mau dengar. Dia tetap hujan-hujanan meski kupaksa berteduh. Pada kaca mata Mbah, aku hanyalah cucu cerewet yang menghalangi kesenangannya.
*
Jumat, 25 Maret '16